Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Gian Christo Yuhendi | Bayangan di Ujung Senja

Cerpen Gian Christo Yuhendi




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Senja mulai merayap di desa kecil itu. Cahaya jingga menyapu hamparan sawah, sementara burung-burung kembali ke sarangnya. Di beranda rumah panggung sederhana, Raina duduk termenung, tatapannya kosong menatap langit yang mulai gelap.


Biasanya, Raina dikenal ceria. Namun, sejak ayahnya pulang dari perantauan dua bulan lalu, dia berubah. Pendiam, sering melamun, bahkan menghindari teman-temannya. Ibunya, Bu Sinta, mencoba bertanya, tetapi Raina hanya tersenyum kecil dan berkata semuanya baik-baik saja.


Malam itu, ketika desa mulai sunyi, Raina mendengar suara bisikan di kamarnya. Suara lirih yang terdengar dari kejauhan. Awalnya ia mengira hanya imajinasinya, tapi suara itu semakin nyata.


"Raina... tolong aku..." suara itu bergetar, seperti berasal dari dalam dinding kamarnya.


Jantung Raina berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan lampu dan melihat sekeliling. Tidak ada siapa pun. Tapi ketika matanya tertuju pada cermin tua di sudut ruangan, hawa dingin langsung menyergapnya.


Malam berikutnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas. Raina memberanikan diri mendekati cermin. Ada rasa takut yang menyesakkan dadanya, tetapi juga rasa penasaran yang semakin besar.


"Siapa di sana?" bisiknya pelan.


Pantulan di cermin berubah. Samar-samar, muncul sosok gadis berambut panjang dengan wajah pucat. Matanya tampak kosong dan penuh kesedihan.


"Tolong aku..." suara itu kembali terdengar.


Raina terkejut dan langsung mundur. Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Keesokan paginya, ia mencoba menceritakan hal ini pada sahabatnya, Bayu. Bayu adalah anak kepala desa, terkenal pemberani dan cerdas.


"Mungkin kamu cuma ngelindur, Rain," kata Bayu sambil mengunyah gorengan yang dibawa Raina.


"Aku yakin ini bukan mimpi, Bay. Aku merasa ada sesuatu di cermin itu," jawab Raina serius.


Bayu berpikir sejenak lalu mengangguk. "Oke, malam ini kita selidiki. Aku ke rumahmu."


Malam pun tiba. Bayu datang tepat waktu. Mereka duduk di kamar Raina, menunggu sesuatu terjadi. Jam menunjukkan pukul dua belas malam ketika suara itu kembali terdengar.


"Raina... bantu aku..." bisikan itu lebih jelas dari sebelumnya.


Mereka saling berpandangan. Dengan keberanian yang tersisa, Raina mendekati cermin tua itu. Di dalam pantulannya, ia melihat sosok gadis pucat dengan mata penuh kesedihan.


"Siapa kamu?" tanya Raina dengan suara bergetar.


"Namaku Sari. Aku dulu tinggal di rumah ini. Aku tak bisa pergi... sebelum seseorang menemukan kebenaran," suara di dalam cermin terdengar lirih.


Bayu menelan ludah. "Kebenaran apa?"


"Aku dibunuh... oleh seseorang yang masih ada di desa ini. Tolong temukan jasadku," jawab Sari, suaranya hampir seperti hembusan angin.


Mereka terdiam. Siapa yang tega melakukan ini? Dan kenapa jasadnya belum ditemukan?


Sejak malam itu, Raina dan Bayu mulai mencari tahu tentang Sari. Mereka bertanya pada orang-orang tua di desa. Salah satunya adalah Pak Wiryo, penjaga makam desa.


"Sari? Ya, aku ingat. Dia menghilang tiga puluh tahun lalu. Dulu orang-orang bilang dia kabur, tapi aku nggak pernah percaya. Aku curiga dia dibunuh, tapi nggak ada bukti," ujar Pak Wiryo sambil menghisap rokoknya.


Mereka mulai mencari tahu lebih dalam. Raina menemukan buku harian tua di loteng rumahnya. Isinya adalah tulisan tangan seorang gadis yang mencurahkan ketakutannya. Dalam salah satu halaman, ada kalimat yang membuat bulu kuduk Raina meremang.


"Aku tahu rahasianya. Aku takut. Jika aku hilang, tolong temukan aku."


Dengan informasi itu, mereka mulai mencari di sekitar rumah Raina. Tiga hari kemudian, di kebun belakang rumahnya, mereka menemukan sesuatu—tulang belulang terkubur di bawah pohon mangga tua.


Penyelidikan pun dilakukan. Kepala desa dan polisi datang untuk menggali lebih dalam. Akhirnya, terungkap bahwa Sari adalah seorang pekerja rumah tangga yang dibunuh oleh majikannya karena mengetahui rahasia gelap keluarga tersebut. Setelah sekian lama, akhirnya keadilan bisa ditegakkan.


Namun, kejadian aneh tidak berhenti. Suatu malam, Raina mendengar suara langkah di koridor rumahnya. Ia mengira itu ibunya, tapi ketika dilihat, tidak ada siapa-siapa.


"Bayu, aku merasa ada yang masih mengawasi," ujar Raina saat mereka bertemu esoknya.


"Apa mungkin pelakunya masih ada di desa?" tanya Bayu.


Rasa takut kembali menyergap Raina. Mereka memutuskan untuk mencari tahu siapa keluarga majikan Sari dulu. Setelah bertanya kepada beberapa tetua desa, mereka menemukan nama yang mencurigakan—Pak Rengga, saudagar kaya yang kini sudah tua renta.


Dengan hati-hati, mereka menyelinap ke rumah Pak Rengga, berpura-pura ingin membeli hasil kebunnya. Di dalam rumahnya yang besar dan penuh barang antik, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku—sebuah potret keluarga lama, dengan wajah Sari berdiri di belakang seorang pria muda yang ternyata adalah Pak Rengga di masa mudanya.


"Jadi dia pelakunya..." bisik Raina.


Namun, saat mereka hendak pergi, Pak Rengga muncul di belakang mereka. "Kalian mencari sesuatu?" suaranya berat dan dingin.


Dengan gugup, Bayu menjawab, "Tidak, Pak. Kami hanya tertarik dengan sejarah desa."


Pak Rengga menatap mereka lama sebelum akhirnya berkata, "Jangan mencari apa yang seharusnya tetap terkubur."


Malam itu, Raina kembali mendengar suara di cerminnya. Kali ini, suara Sari lebih tenang. "Terima kasih telah membantuku... tapi kamu harus berhati-hati... dia tidak akan diam saja."


Raina mengerti. Kasus ini belum benar-benar berakhir. Masih ada seseorang yang ingin menutup kebenaran.


Esok harinya, Raina mendapat kabar mengejutkan. Pak Rengga ditemukan meninggal di rumahnya. Polisi menyatakan penyebabnya serangan jantung, tapi Raina dan Bayu tahu ada sesuatu yang lebih dari itu.


"Apa menurutmu ini kebetulan?" tanya Raina.


Bayu menggeleng. "Tidak ada yang kebetulan."


Senja kembali datang, membawa ketenangan yang sudah lama hilang dari rumah itu. Meski kejadian itu telah berlalu, Raina tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, kini dia lebih berani, lebih kuat, dan lebih menghargai arti sebuah kebenaran.


Tetapi satu pertanyaan masih tersisa di benaknya—apakah ini benar-benar sudah berakhir?


Saat Raina kembali ke kamarnya, ia melihat cermin itu untuk terakhir kalinya. Sekilas, ia melihat pantulan Sari yang tersenyum tipis. "Terima kasih... banyak atas bantuannya, aku harap kita bisa bertemu kembali…" kata Sari sebelum menghilang perlahan.


Raina menarik napas dalam-dalam. Dia tahu, meski misteri ini sudah terungkap, bayangan masa lalu tak akan pernah benar-benar hilang.


Pesan: Cerita ini mengajarkan bahwa kebenaran harus diperjuangkan, walaupun sering kali menyakitkan dan berisiko. Keberanian dan keingintahuan adalah kunci untuk mengungkap misteri yang tersembunyi. Jangan takut untuk  mencari jawaban, karena keadilan akan selalu menemukan jalannya.


Terima kasih telah membaca cerpen saya, maaf saya apabila ada kesalahan kata…