Cerpen Husain Abdurahman Marwan
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pagar Laut Misterius
Desa Karang Biru selalu dikenal sebagai desa nelayan yang damai nan tentram. Lautnya luas, hasil tangkapannya melimpah, dan kehidupan di sana sederhana namun penuh kebersamaan. Nelayan bangun sebelum matahari terbit, berlayar dengan perahu kayu mereka, dan kembali sebelum senja dengan ember penuh ikan. Itu adalah ritme kehidupan yang sudah berlangsung turun-temurun.
Namun, semua berubah ketika sebuah pagar laut misterius tiba-tiba muncul di perairan mereka.
Pagar yang Menghalangi
Suatu pagi, Pak Darma, seorang nelayan tua yang sudah puluhan tahun melaut, mendayung perahunya lebih jauh dari biasanya. Namun, betapa terkejutnya dia ketika mendapati sebuah pagar bambu tinggi dan berlapis-lapis membentang di tengah laut. Pagar itu berdiri kokoh, memanjang sejauh mata memandang, seolah membelah laut menjadi dua bagian.
Pak Darma segera kembali ke pantai dan memberitahu nelayan lainnya. Mereka pun pergi bersama untuk melihatnya. Semakin dekat mereka ke pagar itu, semakin jelas bahwa ini bukanlah proyek kecil. Bambu besar tertanam di dasar laut, dan ada tanda larangan melintas yang tergantung di beberapa titik.
"Siapa yang membangun ini?" tanya Budi, seorang nelayan muda yang baru beberapa tahun mengikuti jejak ayahnya sebagai pencari ikan.
"Tidak ada yang tahu," jawab Pak Darma. "Tapi yang jelas, ini tidak untuk kita."
Hari-hari berikutnya, pagar itu menjadi perbincangan seluruh desa. Para nelayan mencoba mencari jawaban dari pemerintah setempat, tetapi mereka hanya mendapat jawaban yang mengambang. Ada yang bilang itu proyek konservasi laut, ada juga yang mengatakan itu untuk kepentingan bisnis. Namun, tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana pagar itu akan menguntungkan masyarakat.
Yang mereka tahu, pagar itu hanya membawa kerugian.
Hasil Tangkapan Menurun
Dampak dari pagar laut itu segera terasa. Biasanya, para nelayan bisa bebas melaut dan mencari ikan di berbagai titik. Namun, kini mereka tidak bisa mendekati area di sekitar pagar.
"Biasanya di sini banyak ikan," keluh Pak Darma saat menebarkan jala di luar batas pagar. "Sekarang, kosong."
Budi dan beberapa nelayan muda mencoba mencari jalur lain, tetapi hasilnya sama saja. Seolah-olah ikan-ikan telah terperangkap di balik pagar itu.
Hari demi hari, pendapatan mereka semakin menurun. Mereka yang dulunya bisa membawa pulang cukup ikan untuk dijual di pasar kini hanya mendapat sedikit. Beberapa keluarga bahkan mulai kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, yang paling menyakitkan bukan hanya kehilangan hasil tangkapan, tetapi juga tuduhan yang tiba-tiba muncul: ada yang mengatakan bahwa para nelayan sendirilah yang membangun pagar itu.
Tuduhan Tak Berdasar
"Aku mendengar dari pejabat desa bahwa pagar itu dibangun oleh nelayan sendiri," kata salah satu warga desa pada sebuah pertemuan.
"Tidak masuk akal!" seru Budi. "Untuk apa kami membangun sesuatu yang justru merugikan kami sendiri?"
Namun, rumor itu menyebar dengan cepat. Beberapa nelayan dipanggil untuk diperiksa oleh aparat setempat, seolah-olah mereka terlibat dalam proyek yang tidak pernah mereka ketahui.
"Tidak ada bukti bahwa kami melakukannya," kata Pak Darma saat dimintai keterangan.
Namun, tetap saja, tuduhan itu membuat kehidupan mereka semakin sulit. Banyak pembeli ikan dari desa sebelah yang mulai ragu untuk membeli dari mereka, takut terlibat masalah.
Mencari Kebenaran
Merasa ada yang tidak beres, para nelayan mulai menyelidiki sendiri. Mereka bertanya kepada pekerja pelabuhan, pemilik kapal besar, hingga orang-orang di pemerintahan desa. Hingga akhirnya, mereka menemukan jawabannya.
Seorang pegawai pemerintah yang enggan disebutkan namanya akhirnya buka suara. "Pagar itu dibangun oleh seorang pengusaha besar yang bekerja sama dengan pemerintah setempat. Mereka ingin menguasai perairan ini untuk budidaya ikan untuk kepentingan mereka."
"Jadi mereka ingin mengusir kita?" tanya Budi dengan marah.
"Secara tidak langsung, ya. Mereka ingin kalian menyerah dan pindah ke tempat lain," jawab pegawai itu.
Para nelayan geram. Laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka telah diambil begitu saja tanpa pemberitahuan, apalagi persetujuan.
Mereka pun sepakat untuk bertindak.
Perlawanan Nelayan
Suatu malam, para nelayan berkumpul di pantai. Mereka membawa obor dan spanduk bertuliskan tuntutan mereka: "Bongkar Pagar Laut!"
Esok paginya, mereka mendatangi kantor pemerintah desa, menuntut penjelasan. Di sana, mereka bertemu dengan seorang pria berjas rapi—pengusaha yang selama ini berada di balik proyek tersebut.
"Jadi, kalian datang menuntut?" katanya dengan senyum dingin.
"Apa hakmu membangun pagar di laut kami?" tanya Pak Darma.
"Laut ini bukan milik siapa pun," jawab si pengusaha. "Tapi sekarang, aku sudah mendapat izin untuk menggunakannya. Kalian hanya perlu beradaptasi."
"Beradaptasi?" Budi mendekat dengan marah. "Kami tidak bisa menangkap ikan lagi karena pagar ini!"
"Itu bukan urusanku," kata pengusaha itu santai. "Jika kalian ingin tetap mencari ikan, silakan pergi ke tempat lain."
Jawaban itu memicu kemarahan. Para nelayan semakin gencar menggelar protes. Mereka menggalang dukungan dari warga desa dan meminta bantuan dari organisasi lingkungan.
Berita tentang pagar laut itu mulai tersebar ke media. Wartawan datang meliput, dan desakan publik semakin besar.
Pemerintah pusat akhirnya turun tangan. Setelah serangkaian investigasi, pagar itu dinyatakan ilegal dan harus dibongkar.
Kemenangan Rakyat
Proses pembongkaran pagar itu tidak mudah, tetapi akhirnya dilakukan. Para nelayan bersorak saat bambu-bambu raksasa itu ditarik keluar dari laut mereka.
Namun, perjuangan mereka tidak berakhir di situ. Beberapa nelayan memilih untuk memperjuangkan kompensasi atas kerugian yang mereka alami selama berbulan-bulan akibat proyek ilegal tersebut. Sementara itu, yang lain mulai mendiskusikan cara agar kejadian serupa tidak terulang.
"Kita harus lebih waspada," kata Pak Darma kepada para nelayan muda. "Kita harus lebih aktif dalam menjaga laut kita. Jangan sampai ada yang mengambilnya lagi tanpa izin."
Budi mengangguk setuju. Ia tahu, perjuangan mereka belum selesai. Tapi setidaknya, mereka sudah menang dalam satu hal: mereka telah membuktikan bahwa laut bukan milik segelintir orang, melainkan milik mereka yang hidup darinya.
Malam itu, mereka mengadakan syukuran sederhana di pantai. Api unggun dinyalakan, dan para nelayan kembali bercerita, tertawa, serta merayakan kemenangan mereka. Laut yang telah mereka perjuangkan kini kembali menjadi milik mereka. Ombak pun berdesir lembut, seolah mengiringi semangat mereka yang tidak akan pernah padam.
Di kejauhan, Budi menatap laut dengan senyum kecil. Kini ia tahu, mereka bukan sekadar nelayan. Mereka adalah penjaga laut, pejuang yang akan terus melindungi rumah mereka dari siapapun yang ingin merebutnya.
hikmah yang kita bisa petik adalah banyak di negeri kita pemerintah yang mementingkan uang akan tetapi mereka tidak memikirkan rakyat,tak sedikit juga banyak pemerintah yang patuh akan aturan. kita pelajaran yang kita bisa dapat kan adalah jangan mau tunduk dengan sesuatu yang bisa menyebabkan harga diri kita jatuh kita harus membela sampai titik darah penghabisan.