Friday, March 21, 2025

Cerpen Khairul A. El Maliky | Nelayan Itu Menjilati Presiden

Cerpen Khairul A. El Maliky




“Bagaimana dengan respons masyarakat setelah rencana pemagaran laut itu?” tanya seorang lelaki dalam sebuah ruangan gelap dengan diterangi lampu 5 watt sehingga ruangan tersebut terasa lebih mirip ruang interogasi imigran ilegal. Wajah lelaki itu sama sekali tidak kelihatan dengan jelas sehingga orang yang duduk di hadapannya itu tidak tahu siapakah lelaki tersebut. Tetapi, dari suaranya yang familiar dan sering terdengar di berbagai berita di televisi, lelaki itu tahu bahwa lelaki yang duduk di depannya itu adalah seorang penguasa. 


“Para nelayan langsung kalang kabut, Pak,” jawab lelaki itu merespons. “Pendapatan mereka menurun drastis dengan cepat. Dan sekarang, mereka kesulitan  mendapatkan ikan.” 


Mendengar laporan dari lelaki tersebut, orang yang mengajaknya berbicara itu tertawa dengan senang. Ia seakan bahagia melihat rakyat kecil tertindas. Lalu, asap tebal keluar dari mulut lelaki tersebut sehingga ruangan itu penuh dengan asap rokok. 


“Apakah Bapak sudah tahu apa yang harus Bapak lakukan selanjutnya?” 


“Saya sudah tahu, Pak,” lelaki itu mengangguk. 


“Kerjakan.” 


“Siap, Pak.” 


“Dan ini, imbalan atas apa yang telah Bapak kerjakan,” lelaki itu melemparkan sebuah amplop gemuk di atas meja. Kedua mata lelaki itu berbinar-binar melihat amplop berisi segepok uang yang menari-nari sambil tersenyum menggodanya. “Dan ingat, jangan sampai para nelayan tahu akan hal ini.”


“Baik, Pak,” lelaki itu mengangguk sambil menyambar amplop tebal tersebut. Girang hatinya saat mengambil uang dari pekerjaan yang telah ia lakukan atas perintah dari orang tersebut. 


“Sekarang, Bapak boleh pulang. Gunakan uang tersebut buat anak dan istri Bapak. Bukankah Bapak sedang membutuhkan uang?”


“Benar sekali, Pak. Orang miskin seperti saya selamanya akan butuh uang.” 


“Hmmm ...” 


Lalu, lelaki itu bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan persis ruang penyiksaan narapidana tersebut. 


***


Sejauh mata memandang, yang terbentang di utara laut Pulau Jawa hanyalah pagar terbuat dari bambu. Pagar-pagar itu telah diuruk dengan pasir yang diambil dari tambak para petani tambak yang kehilangan mata pencahariannya. Konon, tambak-tambak tersebut telah berganti nama dengan cara yang licik. Entah bagaimana pemiliknya diminta untuk tanda tangan di atas secarik surat yang mereka sendiri tidak tahu apa isinya. Yang jelas, mereka hanya disuruh memberikan tanda tangan atau cap jempol, kemudian di surat tersebut nama pemilik surat tanah langsung berganti sehingga mereka bukan tuan tanah lagi. Hal ini sejak dulu memang sering terjadi. Penyebabnya adalah tidak sedikit dari petani itu buta huruf. Mereka tidak bisa membaca. Para petani itu hanya bisa berhitung, namun mereka selalu dikelabui oleh para tengkulak. Mereka masih sering rugi saat menjual ikan hasil tangkapan mereka. Sama halnya dengan para petani padi atau jagung. Mereka hanya menanam, namun mereka tidak pernah mendapat untung. Coba bayangkan, negeri ini yang katanya tanah merah surga, negeri yang gemah ripah loh jinawi hingga saat ini masih mengimpor beras dari negeri jiran. Lebih parahnya lagi, beras impor itu masih saja dikorupsi dan dioplos dengan beras berbatu. Padahal, dulu pada masa Orde Baru, negeri ini sempat menerima penghargaan dari FAO atas prestasinya sebagai negara yang mengekspor beras ke luar negeri. Entah bagaimana pada akhirnya, negeri ini kini justru menjadi negara yang bergantung pada hasil pertanian luar negeri. 


“Apa yang harus kita lakukan, Kang?” tanya Pak Umar kepada Pak Sahid. 


“Kita harus demo kepada presiden,” jawab Pak Sahid, seorang nelayan yang kemarin diuber-uber oleh preman yang menjaga proyek di laut itu. 


“Apakah kita tidak salah jika berdemo kepada presiden yang sekarang sementara yang melakukan ini adalah presiden sebelumnya? Seharusnya kita berdemo kepada presiden sebelumnya. Dia harus bertanggung jawab atas semua ini. Jika dia tidak mau bertanggung jawab, maka seluruh nelayan akan menderita. Mereka akan kehilangan mata pencaharian,” ujar Pak Umar yang  lebih kritis. Meskipun ijazah yang dimilikinya cuma ijazah SD, namun ia bukan orang yang mudah dibodohi.


“Saya tahu kalau semua ini adalah rencana busuk presiden sebelumnya. Tapi kita juga harus tahu, bahwa dia sangatlah kuat. Kita bisa mati konyol jika berani-berani melawan dia.” 


“Apakah dia Firaun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan sehingga kita takut melawannya? Apakah dia memiliki tentara yang sangat besar sehingga dia bisa menindas kita? Bukankah dia sama-sama manusia seperti kita yang juga makan nasi?” 


“Dia memang manusia, tapi dia sudah ditakdirkan menjadi seorang penguasa.” 


“Bila kita takut melawan dia, maka selamanya dia akan menindas kita, Kang. Apakah sampean mau anak cucu kita menjadi pengangguran hanya gegara laut kita dijadikan kavlingan para pengusaha asing? Ingat, Kang! Dari dulu, nenek moyang kita dengat keras menolak eskpansi yang dilakukan  oleh penguasa Tiongkok. Apakah sampean tahu, bagaimana Prabu Kertanegara, penguasa Singasari mempermalukan utusan Kubilai Khan?”


Para raja terdahulu memang tidak pernah menolak modernisasi. Sejak dulu bangsa kita adalah bangsa yang modern. Betapa tidak, sejak zaman kerajaan Saloka Nagara, kita telah memiliki armada laut yang terlatih dan kuat sehingga bangsa kita tidak mudah dijajah oleh bangsa asing. Begitu juga ketika masa Kerajaan Taruma Nagara, Kerajaan Kutai Nagara hingga Kerajaan Majapahit, bangsa kita telah menunjukkan kepada bangsa luar bahwa bangsa kita adalah bangsa yang paling ditakuti. Maha Patih Gajah Mada bahkan, telah menunjukkan Sumpah Palapa-nya dengan menguasai sebagian negara di Asia Tenggara. Tidak sedikit negara-negara penjajah seperti Inggris, Amerika, Belanda, Portugis dan Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte yang ciut dan merasa gentar saat hendak menghadapi pasukan Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada. 


“Kita seharusnya memiliki jiwa pemberani seperti para leluhur kita, Kang. Kita harus melawan penguasa yang zalim! Kita harus melawan para penindas,” kata Pak Umar menyalakan api di dada sahabatnya itu. 


Maka keesokan harinya, di hadapan ratusan nelayan yang tinggal di bawah garis kemiskinan, Pak Sahid berdiri di atas sebuah panggung. Ia tampak gagah berani seperti Bung Tomo saat membakar semangat juang para pahlawan Surabaya. 


“Saudara-saudaraku, mulai saat ini, kita harus bangkit melawan para penguasa zalim! Kita harus melawan para penindas yang merupakan antek-antek presiden sebelumnya! Jangan sampai kita terus-menerus berdiam diri seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya! Sebab, jika kita diam, maka kita akan dianggap sebagai rakyat yang bodoh. Jangan sampai kita terus-menerus diumpani dengan segala bantuan yang merupakan cara licik para penguasa untuk selalu menguasai tanah leluhur kita. Maka, mari kita rampas dan ambil kembali tambak dan laut kita yang telah mereka curi dan mereka jual kepada para pengusaha Tiongkok! Dan ingat, orang-orang Tiongkok sama halnya dengan para pendatang Arab yang menjajah dengan cara menjual agama. Tujuan mereka sama, yaitu ingin mengusir kita dari tanah kita sendiri!” Pak Sahid berpidato dengan sangat bersemangat sekali, sehingga membuat para nelayan miskin bersorak seperti para pejuang '45. 


Lalu, di bawah komando Pak Sahid, para nelayan yang tanah dan lautnya telah dirampas oleh penguasa untuk dijual kepada para pengusaha Tiongkok yang dikenal dengan nama 9 Naga, melakukan long march menuju Istana Presiden. Mereka menuntut presiden baru agar segera menindaklanjuti kasus pemagaran laut tersebut. Mereka juga menuntut presiden memerintahkan kepada menteri terkait agar mengembalikan tambak para pemilik sah  yang telah dirampas secara tidak sah oleh pemilik perusahaan. Dan mereka juga menuntut presiden agar segera mencabut pagar laut sehingga para nelayan bisa menangkap ikan. Jika presiden tidak segera mengindahkan tuntutan mereka, maka mereka akan menggalang persatuan untuk melengserkan presiden dari kursinya. 


“Kepada Bapak Presiden, kami meminta agar Bapak segera menindaklanjuti kasus pagar laut yang dipasang di sepanjang laut utara Pulau Jawa. Rakyat telah menderita dan kini semakin menderita karena para nelayan tidak bisa pergi melaut. Jangan sampai membuat rakyat semakin marah. Jangan sampai membuat rakyat melakukan kudeta. Kami juga memohon agar Bapak Presiden segera memanggil menteri terkait agar mengembalikan tanah dan tambak para nelayan yang telah dirampas. Yang terakhir, kami juga meminta kepada Bapak Presiden agar berani membongkar pagar laut yang telah menghalangi akses jalan para nelayan. Jangan sampai para nelayan kehilangan mata pencarahariannya gara-gara Bapak tidak berani bertindak dengan tegas. Apakah Bapak Presiden berani melakukan ini demi membela rakyat Bapak sendiri?” 


***


“Tangkap dan culik orang itu!” perintah lelaki yang duduk di kursi dalam ruangan remang-remang itu kepada orang suruhannya. “Dia telah mengkhianati rencana kita untuk menjual negara ini kepada pihak Tiongkok.” 


“Siap, Pak!” 


Lelaki itu sangat marah dan murka terhadap lelaki tersebut. Betapa tidak, ia telah gagal untuk melanjutkan kursi kekuasaannya untuk priode ketiganya. Dan untuk menancapkan taring-taring ketamakannya ia langgar semua konstitusi yang berlaku di negara ini. Ia kendalikan semua hakim, jaksa, bahkan Kapolri agar bisa mewujudkan ambisinya. Sebab jika ia tidak melakukannya, maka apa yang selama satu dekade ini yang menjadi rencananya akan menjadi amburadul. Ia akan mudah diadili oleh rakyat sehingga menyebabkan dirinya serta keluarganya menjadi penghuni penjara. Ia memang kelihatan seperti orang lemah, namun otaknya sangat licik. Ia juga pandai memutarbalikkan fakta. Dan, ia licin seperti belut. Saat ini, ia sedang merencanakan sesuatu yang sangat besar, yaitu melengserkan seorang ketua partai yang telah memungutnya dari pinggir kali. 


Tak perlu butuh waktu yang lama untuk menemukan lelaki itu. Kini, lelaki kurus itu telah berada di hadapan orang tersebut. 


“Apa yang telah Bapak lakukan?” lelaki itu marah. 


“Maafkan saya, Pak,” kedua kaki lelaki itu bergetar. 


“Bapak tentu tahu apa ganjaran yang harus diterima oleh seorang pengkhianat?”


“Pak, tolong maafkan saya,” kata lelaki kurus yang tidak lain adalah Pak Sahid. “Anak saya masih kecil-kecil dan membutuhkan biaya sekolah, Pak.” 


“Bawa orang ini di tempat yang paling terpencil, dan habisi dia!” 


Nelayan itu memohon-mohon sampai menangis darah pada lelaki tersebut. Tetapi, dosa pengkhianatan yang telah ia lakukan sulit diampuni. Lalu, lelaki itu pun menunjukkan wajahnya di bawah sorot lampu 5 watt sehingga jelaslah siapa dia. Mulyono, nama lelaki itu. 


Sejak itu, penjilat itu menghilang dan tak pernah kembali lagi. Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi kecuali satu orang, yaitu lelaki yang tak lain mantan pemimpin negeri kita itu. 


Probolinggo, Februari 2025


______


Penulis

Khairul A. El Maliky, pengarang novel, lahir dan besar di Kota Probolinggo, 5 Oktober 1986. Pernah belajar di kota Pekanbaru, Riau. Bukunya yang telah terbit berjudul Akad, Pintu Tauhid, dan Kalam Kalam Cinta (Penerbit MNC, 2024). Dua buku terbarunya masih proses terbit. Di sela kesibukannya mengarang novel, ia juga aktif sebagai guru Sastra Indonesia. Untuk pembelian buku bisa melalui: mejaredaksiimajinasiku@yahoo.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com