Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Abdul Hafezd Mubarak | Bukit Kakek Cucu Laut

Cerpen Abdul Hafezd Mubarak



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Bagi Kakek, usaha itu dimulai dari melakukan apa yang dibisa, menggunakan apa yang dipunya. Saat Kakek duduk di kelas dua SMP, ibunya meminta dia untuk berhenti bersekolah karena tidak lagi ada biaya, dan sebagai gantinya ibunya akan membuatkan Kakek sebutir telur rebus untuk makan malam. Dia lantas menolak tawaran itu, dan meminta agar dibelikan telur bulat yang belum dimasak saja, yang kemudian dia tumpangkan pada ayam betina milik tetangganya yang kebetulan sedang mengeram. 


Setelah telur itu menetas, Kakek mengasuh anak ayamnya dengan sabar dan telaten, memberinya makan secara teratur dengan nasi yang sengaja dia sisakan dari piring makannya sendiri, atau beras ceceran yang dipungutnya dari pasar, atau serangga seperti belalang dan jangkrik dan lipan yang dia tangkap atau temukan, juga padi dan jagung yang diam-diam dia keduk dari hasil panen yang oleh pemiliknya dibiarkan terjemur di pinggir jalan tanpa pengawasan, sehingga anak ayamnya pun tumbuh besar dengan sehat, bugar, bahagia, menjadi ayam jago kokoh dan tinggi dan tidak kenal rasa takut, dengan paruh dan taji sekeras paku serta cakar-cakar tajam seperti pedang, yang dengan gagah berkokok lantang di tengah gelanggang, di atas serakan bulu, darah, bahkan bola mata lawan-lawan sabungannya. Ayam jagonya itu memenangkan Kakek banyak uang hadiah, dan bahkan lebih banyak uang taruhan, yang dia kumpulkan hingga cukup untuk menyewa tanah, membangun kandang ayam, dan membeli anak demi anak ayam jantan, yang lalu dibesarkannya dengan lebih sabar dan telaten sehingga di usia sembilan belas tahun, Kakek telah memiliki peternakan spesialis ayam jago sabungan yang terkenal sampai ke luar kabupaten, yang kemudian dia jual, dan menggunakan uang hasil penjualannya untuk melanjutkan sekolahnya hingga memperoleh ijazah SMA, menikahi istrinya yang pertama, serta memperbaiki rumah, dan membeli sawah, yang sebagian hasil panennya selalu dia sembunyikan untuk kemudian dijual pada saat ada serangan hama atau kekeringan, dengan harga yang lebih mahal, atau dua kali lipat dari biasa, yang pada akhirnya membuat Kakek kaya, lalu membeli lebih banyak sawah, memperbesar rumah, dan dipilih menjadi kepala desa, jabatan yang selama dua periode dia jalankan dengan penuh amanah, dengan mengayomi anak-anak kecil serta menghormati orang-orang tua dan berbuat baik pada semua yang berada diantaranya, dengan membantu warga yang kesusahan, dan melaporkan warga pendukung komunis ke tentara, dan kemudian pada tahun ke sebelas dia menjabat, sebuah perusahaan tambang datang ke desanya dan ingin mencukur bukit-bukitnya untuk mengeruk batu kapur dan pasir kuarsa.


Menyadari kalau perbukitan itu belum memiliki sertifikat kepemilikan, Kakek menggunakan kewenangan, jaringan, kenalan, hutang budi, bahkan harta pribadi, untuk segera menyertifikatkan bukit-bukit tersebut atas namanya sendiri, agar desa dan bukit-bukitnya terlindung dari kerusakan karena kegiatan penambangan, dan hanya memberikan izin pada perusahaan itu untuk menambang di tiga bukit saja, dan menggunakan uang yang dibayarkan perusahaan kepadanya untuk memperbaiki jalan, renovasi mesjid raya, dan menikahi istrinya yang kedua, yang akhirnya memberinya anak laki-laki setelah istri pertamanya hanya melahirkan dua anak perempuan, dan dari tiga anaknya itu Kakek mendapatkan empat orang cucu, yang mana salah satunya, yaitu Arga cucu laki-laki satu-satunya, sudah lebih sebulan ini menginap di rumahnya, menghabiskan harinya dengan keluar masuk hutan perbukitan dan menonton video di telepon pintarnya, atau membuat ribut dapur dengan penggiling biji kopinya hanya untuk menyeduh kopi keruh pahit tak bergula, yang mana sejak lahirnya dibiayai Kakek untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah unggulan sampai akhirnya bergelar sarjana teknik kimia dari Institut Teknologi Bandung, dan segera diterima bekerja di sebuah perusahaan tambang batu bara di Sumatra, yang ditinggalkannya setelah kurang dari dua tahun bekerja, dengan alasan karena tidak ingin berpartisipasi dalam kegiatan serakah yang merusak lingkungan hidup, yang dia sertai juga dengan deklarasi kalau dia sebenarnya selalu ingin menjadi barber, atau dulunya dikenal dengan sebutan tukang cukur, yang kemudian dilanjutinya bukan dengan membeli gunting dan sisir dan pisau cukur, malah membayar pendaftaran mahal ke program kursus barber profesional, hanya untuk lulus tepat di tengah PPKM sehingga tidak diterima bekerja di manapun dia melamar, dan terpaksa menganggur di rumah orang tuanya sampai lebih sebulan yang lalu, saat dia muncul di halaman rumah Kakek lengkap dengan ransel, koper, dan headphone nirkabel, dan berkata kalau dia ingin memulai usaha penjualan bambu, hanya saja dia tidak tahu apa-apa tentang menanam bambu, juga tidak punya sebatang bambu pun untuk dijual.


Dan sudah tentu Kakek tahu kalau yang dimaksud cucunya dengan bambu adalah rumpun lebat berderetan yang tumbuh menjulang memenuhi kaki, punggung, dan pinggang bukit-bukitnya, yang sudah tentu pula dia akan dengan senang hati berikan kalau cucunya itu berani meminta, yang sekarang lebih dari sebulan tinggal bersama tapi masih tidak pernah berbicara mengenai itu dengannya, dan lebih memilih sibuk dengan telepon pintar dan penggiling kopi dan bangun malam dan tidur pagi, sampai pagi tadi saat rumah mendadak terasa sepi karena kakek tidak mendengar cucunya itu dimana-mana, dan saat senja masih tidak tampak batang hidungnya, Kakek pun cemas dan menelepon kedua istrinya, yang menjawab kalau mereka tidak tahu Arga pergi kemana. 


Kakek pun segera mengambil senter dan bergegas melangkah keluar rumah, dan hampir bertabrakan dengan cucunya yang muncul bergegas naik teras, dengan wajah berminyak dan baju kotor bau keringat dan kulit merah-merah penuh miang, dan Kakek bertanya tentang keadaan cucunya itu, dan Arga menjawab kalau dia ingin cepat-cepat mandi terlebih dahulu, jadi Kakek duduk menunggunya di ruang makan sambil menonton siaran berita, sampai Arga muncul, hampir bersamaan dengan kedatangan istri kedua Kakek, yang membawakan makan malam, dan mereka bertiga pun makan bersama sambil mendengarkan cerita Arga bahwa selama ini dia sibuk keluar masuk hutan bukit untuk menandai lokasi rumpun bambu yang akan ditebang sekaligus memetakan rute untuk pengangkatan, dan seminggu belakangan dia membimbing dan mengawasi orang-orang sewaan dalam menebang, memotong, serta menyiapkan batang-batang bambu agar mudah diangkat dan dimuat ke dalam truk pengangkutan, sesuai dengan yang dipelajarinya dari video-video daring yang selama ini ditontonnya, yang membuat semua pekerjaan berjalan hampir tanpa kendala dan mereka biasanya dapat memenuhi tiga mobil truk setiap harinya, dan berhubung mereka membawa empat mobil truk untuk hari terakhir ini, Arga jadi turut serta bekerja sampai senja, memotong dan mengangkat bambu sampai semua truk penuh terisi. Istri Kakek lalu bertanya berapa banyak uang yang didapatnya, dan Arga menjawab ringan sepuluh juta, yang membuat Kakek tersedak dan batuk-batuk, yang membuat Arga menjelaskan kalau uang sepuluh juta itu bersih untuknya, karena biaya-biaya mulai dari sopir dan pekerja dan peralatan sampai angkutan, semuanya ditanggung oleh pihak pembeli, yang dijawab Kakek dengan sebuah dehaman parau, yang memaksa Arga untuk menjelaskan lebih lanjut kalau batang-batang bambu itu akan digunakan untuk membangun pagar-pagar pembatas di area lepas pantai Laut Jawa, sebagai penanda tempat yang nantinya akan ditimbun dengan pasir dan batu, menjadi area reklamasi baru, yang diatasnya akan dibangun kawasan pemukiman elit, yang mana atas jasanya sekarang Arga telah dijanjikan satu unit, yang ditanggapi Kakek dengan sehembusan nafas, yang sepertinya menyulut emosi cucunya sehingga Arga mulai berkhotbah tentang kerja keras dan kepercayaan dan rasa malu dan penghargaan yang membuat Kakek menyulut rokoknya dan menulikan telinganya dan membiarkan pikirannya berlanglang ke angkasa.


Dan esok hari cucu laki-lakinya itu pun pamit pergi. 


Kakek berdiri di halaman sampai dia hilang dari pandangan, lalu melangkah menuju dapur untuk mengambil sepatu botnya, dan melihat mesin penggiling biji kopi di atas meja, yang membuatnya menggeleng pelan lalu mengambil sebuah kantong plastik hitam dan membungkuskannya ke mesin itu dan menyimpanya di dalam lemari. Kakek lalu keluar menuju kandang kuda, lalu menyikat bulunya dan memasang pelana dan berkendara masuk hutan perbukitan. Kejadian kemarin malam sudah tidak lagi di pikirannya. Lagipula bambu sangat cepat tumbuhnya, tapi mungkin dia akan membakar sebagian besar tunggul-tunggul bambu yang tersisa, beserta tumbuh-tumbuhan lain disekitarnya, dan meminta bantuan warga untuk membuka ladang. Dia dengar menanam singkong adalah program pemerintah sekarang.


***