Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Adam Choili Tegar Nugraha | Harun dan Siti

Cerpen Adam Choili Tegar Nugraha 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Di sebuah daerah kecil yang dipenuhi ketidakpastian, Pak Harun melangkah mantap di jalanan berdebu. Langit kelam di atasnya terasa berat, seakan menanggung beban yang sama dengan dirinya. Ia tahu, perjuangan ini belum berakhir. Bersama teman-temannya, ia akan menuntut hak-hak para nelayan yang telah dirampas.


Dahulu, laut adalah rumah kedua bagi mereka. Setiap pagi, nelayan berangkat dengan perahu sederhana, pulang membawa ikan yang cukup untuk menghidupi keluarga. Hidup memang tak selalu mudah, tetapi mereka masih bisa bertahan. Anak-anak berlari di sepanjang pantai, menyambut kepulangan ayah mereka dengan tawa riang. Namun, semuanya berubah ketika pagar bambu raksasa dibangun di tengah laut. Pagar itu memisahkan mereka dari mata pencaharian. Tak ada lagi laut yang bisa dijangkau, hanya batas yang tak terlihat tapi sangat nyata—kemiskinan yang semakin mengikat erat. Pagar itu ada karena seseorang mengklaim bahwa laut bisa dibeli, seolah-olah kehidupan nelayan hanya sekadar angka dalam laporan keuangan.


Pemicu awalnya terjadi ketika seorang investor kaya dari kota datang dengan gagasan "modernisasi wilayah pesisir." Ia mengklaim bahwa laut di sekitar desa nelayan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan wisata eksklusif dan perikanan industri. Dengan dalih investasi, ia bekerja sama dengan beberapa pejabat lokal yang korup, lalu perlahan menguasai perairan. Nelayan yang awalnya diberi janji pekerjaan dan kehidupan lebih baik, malah menemukan diri mereka diusir dari laut yang telah mereka kenal sejak lahir.


Suatu hari, tanpa pemberitahuan jelas, sekelompok pekerja datang dengan kapal-kapal besar, menanam tiang-tiang bambu di tengah laut, membentuk pagar raksasa yang membentang sejauh mata memandang. Dalam waktu singkat, jalur nelayan menuju laut tertutup. Mereka protes, tetapi aparat yang berpihak pada pemodal menanggapi dengan dingin. “Ini proyek legal,” kata mereka, meskipun tidak ada nelayan yang pernah diajak bicara atau diberikan pilihan.


Para nelayan tak tinggal diam. Pada hari pertama pemasangan pagar, mereka mendayung perahu ke lokasi dan mencoba menghentikan para pekerja. "Laut ini milik semua orang!" teriak Pak Harun. Namun, pekerja-pekerja itu hanya menunduk, menghindari kontak mata. Mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan.


Ketegangan meningkat ketika aparat berseragam datang ke lokasi. 


"Mundur! Ini proyek resmi!" seru salah satu petugas. 


Nelayan tak bergeming. Beberapa dari mereka mencoba menarik bambu yang telah ditanam, namun, seketika itu juga aparat mendorong mereka mundur. Bentrokan kecil tak terhindarkan. Pak Harun sendiri hampir terjatuh ke laut saat seorang petugas mendorongnya ke belakang. "Kami hanya ingin mencari nafkah!" serunya dengan suara bergetar, tetapi tidak ada yang peduli.


Hari-hari berikutnya, pagar itu semakin tinggi. Nelayan mulai kehilangan harapan. Mereka tak bisa melaut, tak bisa mencari ikan, dan harus bergantung pada sisa tabungan yang makin menipis. Anak-anak mereka mulai kekurangan makanan. Di beberapa rumah, tangis anak-anak yang kelaparan mulai terdengar. Siti, istri Pak Harun, harus menghemat beras dan mencari cara agar makanan cukup untuk beberapa hari ke depan. Ia hanya bisa berharap suaminya menemukan jalan keluar.


Di sebuah desa kecil di pinggir jalan, Siti duduk di dekat jendela, matanya tak lepas dari jalanan sepi. Setiap langkah yang terdengar dari kejauhan membuat jantungnya berdebar. Sinta, putri kecilnya, berbaring di lantai dengan pensil warna di tangannya. 


"Ibu, kapan Ayah pulang?" tanyanya polos, tanpa tahu seberapa berat beban yang sedang ditanggung sang ayah.


Pak Harun mengepalkan tangannya. Ia tak bisa lagi menunggu. Bersama teman-temannya, ia melangkah ke kantor aparat, berharap keadilan masih ada. 


"Kita harus berani! Kita hanya menuntut apa yang menjadi hak kita!" serunya, dan yang lain mengangguk. 


Namun, di depan kantor yang mereka datangi, pintu tetap tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda akan dibuka. "KAMI HANYA INGIN KEADILAN!" suara mereka menggema, tapi hanya sunyi yang menjawab. Dinding-dinding bisu seolah menatap mereka tanpa rasa.


Seorang petugas akhirnya keluar, wajahnya datar. "Silakan ajukan permohonan secara resmi," katanya singkat, lalu kembali masuk. Pak Harun memandang teman-temannya dengan putus asa. 


"Kita sudah mengajukan berkali-kali!" sahut seorang nelayan dengan suara bergetar.


Tapi pintu itu tetap tak terbuka. Rasa frustrasi dan keputusasaan menyelimuti mereka. Beberapa nelayan duduk di trotoar dengan wajah tertunduk, menggigit bibir menahan marah yang sudah lama terpendam.


Keesokan harinya, Pak Harun duduk di sebuah warung kecil di tepi pantai, menatap laut yang telah terkurung pagar bambu raksasa di tengah laut. Pagar itu membatasi perahu-perahu nelayan, membiarkan mereka hanya bisa menatap mata pencaharian yang tak bisa mereka sentuh. 


"Kita tidak bisa terus begini," gumamnya. 


Ia mengeluarkan ponsel tua dari sakunya, menatap layar sejenak, lalu mengetik pesan kepada seorang jurnalis yang pernah meliput kehidupan para nelayan. 


Jurnalis itu menerima pesan Pak Harun dengan serius. Ia segera menghubungi stasiun televisi nasional dan meminta izin untuk mengangkat kasus ini. Tak mudah, karena banyak pihak yang berusaha menutupi berita ini. Beberapa pengiklan besar yang memiliki kepentingan di proyek itu bahkan mengancam akan menarik dana jika berita ini disiarkan. Namun, dengan kerja keras, berita tentang penderitaan para nelayan akhirnya tayang di televisi nasional. Dalam tayangan itu, terlihat wajah-wajah lelah nelayan, pagar bambu yang membatasi mereka, serta wawancara dengan Pak Harun dan beberapa nelayan lain.


Berita itu mengguncang opini publik. Banyak pihak mulai menekan pemerintah untuk bertindak. Namun, ketika pihak berwenang mulai menyelidiki siapa yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar bambu itu, tak ada yang mau mengaku. Para pengusaha saling menyalahkan, pejabat daerah menghindari pertanggungjawaban, dan tidak ada satu pun pihak yang mau mengaku sebagai pemilik pagar tersebut.


Sementara mereka saling lempar tanggung jawab, pemerintah pusat akhirnya ikut turun tangan. Sebuah keputusan diambil—pagar bambu akan dibongkar perlahan tapi pasti.


Suatu pagi, alat berat mulai didatangkan. Satu per satu batang bambu dicabut, membuka kembali jalur ke laut. Namun, prosesnya lambat. Banyak birokrasi yang harus dilalui, banyak kepentingan yang masih berusaha menghambat. Pak Harun dan para nelayan hanya bisa mengamati dari kejauhan, tak yakin kapan mereka benar-benar bisa kembali melaut dengan bebas.


2025.