Biru, lautan luas
yang tak terhingga
Biru, sumber
keuntungan bagi seluruh manusia
Biru, tempat
ketenangan jiwa yang lelah akan hidup
Hembusan ombak pantai membawa suara riuh laut ke pedesaan
kecil yang terletak di pesisir pantai, nama desa tersebut adalah Desa
Panglipuran. Suara canda tawa anak remaja mengisi kesunyian rumah. Gelak tawa
riang menandakan ada keluarga bahagia di suatu pedesaan tersebut, sang ibu
memasak makanan nikmat untuk keluarganya, ”Nirla, ayah, makan dulu ibu sudah
masak makanan yang kalian suka” panggil sang ibu.
“Iya bu, ibu makannya jangan duluan ya! Tunggu Nirla dan
ayah supaya kita dapat makan bersama” ucap ayah, mereka bergegas menuju ruang
makan bersama. Setelah sampai di meja makan mereka langsung menyantap makanan
yang sudah disiapkan, Nirla menyantap dengan lahap hingga tersedak. Ayah panik,
ia segera mengambil air minum untuk Nirla. “Kamu makannya santai saja La jangan
terburu-buru” ucap ayah. Nirla mengangguk paham. Lalu, Nirla pun melanjutkan
makanan yang tersisa.
Langit sudah mulai gelap, Nirla bergegas menuju kamarnya.
Ayah dan ibu masih duduk di teras sambil menikmati angin pantai malam. Ayah
menceritakan kejadian yang dialaminya saat menangkap ikan di laut. Belakangan
ini, laut seolah berubah. Gelombang lebih tinggi, angin yang bertiup lebih
kencang, dan banyak nelayan yang mulai takut untuk berlayar. Mereka menganggap
laut marah. Beberapa dari mereka mengusulkan untuk memasang pagar laut-struktur
besar yang akan membatasi ombak besar mendekati desa. Tetapi, ayah tidak
setuju, ia tak bisa membayangkan sesuatu yang begitu besar menghalangi laut dan
kampung halamannya. Menurut ayah, laut adalah kebebasan entah dari aspek
ekonomi atau sebagai cara seseorang menenangkan jiwanya, bukan sesuatu yang
perlu dihadang oleh pagar. Gumam ayah kesal. Ibu menenangkan ayah, dan mereka
masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
Sumbul matahari memasuki celah jendela yang sedikit
terbuka, ayah terbangun dengan sinar matahari yang menusuk matanya. Ibu dan
Nirla sudah sarapan, tersisa ayah yang belum sarapan. Sesudahnya ayah
menyiapkan sepeda ontelnya untuk mengantar Nirla ke sekolah dan pergi bekerja,
sebelum berangkat mereka berpamitan terlebih dahulu dan memulai perjalanan hari
ini.
Sesampainya di sana, “Pak Tarno! Perahu sudah siap untuk di
kendarai, cepat naik ke perahu sebentar lagi akan berangkat” Tarno adalah nama
asli ayah, Pak Tarno mempersiapkan apa saja yang akan dibawa. Ia bergegas
menuju perahu lalu menyalakan mesin dan siap berlayar untuk mencari kebutuhan
pokok keluarga dan masyarakat. Di sana perahu Pak Tarno terombang-ambing oleh
gelombang laut, hal itu sudah biasa dia alami tetapi semakin lama gelombang
semakin tinggi. Karena merasa tak aman, Pak Tarno dan rekannya pergi menuju
daratan untuk mengamankan diri. Benar saja, gelombang laut sudah berbahaya
untuk di kunjungi, untung saja Pak Tarno dan rekannya dapat menanggapi dengan
cepat jika tidak mereka akan mati tenggelam. Karena hanya mendapatkan sedikit
tangkapan, alhasil Pak Tarno mendapatkan sedikit uang hari ini,”Yasudahlah hari
ini dapat segini yang penting masih bisa membeli bahan masakan, ya sekarang
waktunya menjemput Nirla!! Semangat Tarno, kamu bisa membahagiakan keluarga
kecilmu meskipun hari ini hanya sedikit.” Pak Tarno menyemangati dirinya sendiri
dan bergegas menuju sekolah Nirla.
Sesampainya pak Tarno di sekolah, ia melihat anaknya sedang
berlari menuju dirinya, Nirla tersenyum karena ayah menjemputnya lebih awal,
Pak Tarno melihat sedikit lebam pada tubuh Nirla, “Nirla, mengapa di tubuhmu
terdapat lebam?” Tanya Pak Tarno. Nirla menjawab dengan tenang, “Oh ini, tadi
Nirla bermain kejar-kejaran dengan teman. Makanya ada sedikit lebam tapi sudah
di obati sama guru Nirla, jadi ayah tidak perlu khawatir!” Setelah mendengar
penjelasan Nirla mereka berdua pun pulang ke rumah.
Langit senja hadir di ujung pantai, seorang gadis kecil
terduduk di pasir sambil menangkupkan kepalanya di lutut. “Akankah senyumanku kembali?” Tanyanya. Merekalah
yang jahat menyekap batin yang diam bersedu.
Katanya, yang sia-sia akan menjadi makna, berterus terulang
suatu saat henti. Namun pada akhirnya itu kata kiasan saja. Tangisan kecil mengisi
kekosongan emosi, ia menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sedih.
Seorang Pria tua langsung memeluk tubuh gadis tersebut.
“Nirla, ini Ayah nak. Ayah di sini, menangislah sampai
sedihmu hilang nak” ucap sang ayah. Nirla hanya bisa menangis dipelukan
ayahnya, “Ayah, tubuh kecil ini mencari cara agar tetap bisa bernafas, oksigen
yang di hirup bercampur dengan debu. Debu bercampur dengan darah, sampai
mengalir ke tubuh yang sudah mulai rentan. Lemahnya diri ini seperti tidak
diberikan nyawa” tutur kata Nirla menusuk hatinya berkali-kali lipat, “Ayah
selama ini Nirla korban bully dan lebam yang ayah lihat tadi siang itu bekas
pukulan, ayah, maaf. Nirla tidak jujur ke ayah. Mereka membully Nirla karena
mereka merasa dirinya adalah yang paling sempurna dari segi ekonomi.” Saat tahu
Nirla adalah korban bully, Pak Tarno terkejut dan memeluk Nirla dengan erat.
Laut menjadi saksi dua insan yang bersedu.
Beberapa hari kemudian, hari berjalan seperti biasa bedanya
Nirla tidak lagi bersekolah ia memutuskan untuk belajar di rumah dan membantu
ibu melakukan pekerjaan rumah saat ayah tidak ada. Pak Tarno menjalankan
kerjanya sama seperti dulu, ia melihat gelombang laut semakin membesar dan para
nelayan enggan untuk berlayar, banyak dari mereka mengusulkan untuk memasang
pagar laut. “Apa mungkin membangun pagar laut?” Gumam Pak Tarno kepada dirinya
sendiri saat mendengar rencana itu. Ada yang setuju dengan pendapat pagar laut
untuk melindungi desa, tetapi Pak Tarno dan sebagian nelayan tua merasa aneh
dengan pendapat yang disampaikan. Laut bukanlah suatu musuh yang perlu
dihalangi.
”Pak Tarno, semakin ke sini gelombang laut tak dapat di
prediksi, terkadang gelombangnya kecil, tetapi bisa juga mendadak besar. Kita
harus mencegah air laut memasuki desa kita.” Ucap salah satu warga, Pak Tarno
memikirkan perkataan dari warga tersebut. Ia tahu jika itu niat baik tetapi ada
sesuatu yang salah dengan pendapat tersebut, “Tapi pak kalau kita memasang
pagar laut bukankah itu menjadi batasan kami untuk mencari ikan lebih banyak?
Pak, semakin sedikit hasil tangkapan kami, semakin sedikit pula penghasilan
kami,” jawabnya pelan namun tegas. Semua orang terdiam, suara Pak Tarno membawa
suasana yang berbeda.
Hari berlalu, dan keputusan tetap diambil. Mereka mengadu
kepada Pak Kades untuk memasangkan pagar laut dan Pak Kades setuju tentang hal
itu. Pagar laut mulai dibangun. Struktur kayu bambu mulai memanjang di sepanjang
pantai, seperti dinding yang memisahkan desa dengan laut. Penduduk merasa lega,
namun ada kekosongan yang tak dapat diungkapkan. Pak Tarno mencari pekerjaan
lain untuk menghidupkan keluarga kecilnya itu, ia membuka dan membuat di pasar.
Awalnya usaha kecil itu sepi tetapi hari demi hari usaha yang dilakukan semakin
ramai. Pak Tarno tak menyangka bahwa penjualannya itu dapat mengubah ekonomi
keluarganya. Pak Tarno dapat membeli rumah baru dan memberikan fasilitas yang
layak untuk keluarga.
“Alhamdulillah yah, kita bisa meningkatkan ekonomi kita.
Terima kasih yah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghidupkan keluarga
ini, tanpa ayah kita tidak bisa merasakan kenikmatan hidup seperti ini.” Ucap
sang ibu, mereka menangis haru dengan usaha yang dilakukan.
Terhanyut dalam asa
Di sisa-sisa cahaya
Bahagia pasti ada
Di balik derita
Hidup ini berjalan seperti lagu.
Pak Tarno mendatangi Desa Panglipuran-yang ia tempati saat
menjadi nelayan, para warga berbincang atas kedatangan Pak Tarno. Ia melihat
banyak potongan bambu yang menjadi sampah akibat hantaman ombak kencang, laut
semakin tidak bisa di prediksi. Jika tidak ada pagar laut, mungkin desa ini
sudah hancur lebur. Pak Tarno berbicara empat mata dengan salah satu warga,
“Pak Ujang saya ingin mendonasikan sejumlah uang dan sembako, setelah saya
pikir lagi pagar laut bisa menjadi pelindung untuk desa ini. Jika ada yang
berminat, kedai saya kekurangan orang yang bisa memasak, jadi saya ingin
membukakan lowongan kerja untuk para warga yang membutuhkan” Ucap Pak Tarno.
Pak Ujang merasa kebingungan, gerak-gerik Pak Tarno
membuatnya curiga, “Pak ini di video kan ya? Biasanya selebgram buat konten
seperti itu, lalu posting di media sosial supaya mempunyai citra yang baik”
Ucapan Pak Ujang membuat Pak Tarno terkejut, dengan tenang ia menjawab, “Untuk
apa saya berbuat seperti itu? Saya di sini niat untuk membantu pak bukan
mencari validasi, apalagi sampai membohongkan generasi untuk mempertahankan
eksistensi. Dengan cara seperti itu belum tentu saya senang pak, saya tidak
nyaman jika di video kan”
Pak Ujang meminta maaf dan berjanji untuk tidak suudzon ke
Pak Tarno, Pak Tarno membalas dengan senyum hangat. Segera Pak Ujang memberi
tahu ke seluruh warga Desa Paliurang, awalnya para warga menatap sinis Pak Tarno,
tetapi Pak Ujang memberitahu yang sebenarnya. Para warga senang atas
kedermawanannya Pak Tarno, tak di sangka jika masih ada orang baik di hidup ini.
Laut menjadi saksi bisu jiwa yang bahagia.
Sore
itu, Pak Tarno duduk di sana, membiarkan ombak kecil menyentuh kakinya. Dibalik
pagar laut yang kokoh, Pak Tarno tahu bahwa tidak semua badai perlu dihindari,
dan tidak semua ombak harus ditakuti. Kadang, di balik pagar yang melindungi,
ada keindahan yang bisa dinikmati.
Laut adalah kebebasan.