Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Addien Iffana Izdihar | Lautan Harap

 

 

Biru, lautan luas yang tak terhingga

Biru, sumber keuntungan bagi seluruh manusia

Biru, tempat ketenangan jiwa yang lelah akan hidup

Hembusan ombak pantai membawa suara riuh laut ke pedesaan kecil yang terletak di pesisir pantai, nama desa tersebut adalah Desa Panglipuran. Suara canda tawa anak remaja mengisi kesunyian rumah. Gelak tawa riang menandakan ada keluarga bahagia di suatu pedesaan tersebut, sang ibu memasak makanan nikmat untuk keluarganya, ”Nirla, ayah, makan dulu ibu sudah masak makanan yang kalian suka” panggil sang ibu.

“Iya bu, ibu makannya jangan duluan ya! Tunggu Nirla dan ayah supaya kita dapat makan bersama” ucap ayah, mereka bergegas menuju ruang makan bersama. Setelah sampai di meja makan mereka langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan, Nirla menyantap dengan lahap hingga tersedak. Ayah panik, ia segera mengambil air minum untuk Nirla. “Kamu makannya santai saja La jangan terburu-buru” ucap ayah. Nirla mengangguk paham. Lalu, Nirla pun melanjutkan makanan yang tersisa.

Langit sudah mulai gelap, Nirla bergegas menuju kamarnya. Ayah dan ibu masih duduk di teras sambil menikmati angin pantai malam. Ayah menceritakan kejadian yang dialaminya saat menangkap ikan di laut. Belakangan ini, laut seolah berubah. Gelombang lebih tinggi, angin yang bertiup lebih kencang, dan banyak nelayan yang mulai takut untuk berlayar. Mereka menganggap laut marah. Beberapa dari mereka mengusulkan untuk memasang pagar laut-struktur besar yang akan membatasi ombak besar mendekati desa. Tetapi, ayah tidak setuju, ia tak bisa membayangkan sesuatu yang begitu besar menghalangi laut dan kampung halamannya. Menurut ayah, laut adalah kebebasan entah dari aspek ekonomi atau sebagai cara seseorang menenangkan jiwanya, bukan sesuatu yang perlu dihadang oleh pagar. Gumam ayah kesal. Ibu menenangkan ayah, dan mereka masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.

Sumbul matahari memasuki celah jendela yang sedikit terbuka, ayah terbangun dengan sinar matahari yang menusuk matanya. Ibu dan Nirla sudah sarapan, tersisa ayah yang belum sarapan. Sesudahnya ayah menyiapkan sepeda ontelnya untuk mengantar Nirla ke sekolah dan pergi bekerja, sebelum berangkat mereka berpamitan terlebih dahulu dan memulai perjalanan hari ini.

Sesampainya di sana, “Pak Tarno! Perahu sudah siap untuk di kendarai, cepat naik ke perahu sebentar lagi akan berangkat” Tarno adalah nama asli ayah, Pak Tarno mempersiapkan apa saja yang akan dibawa. Ia bergegas menuju perahu lalu menyalakan mesin dan siap berlayar untuk mencari kebutuhan pokok keluarga dan masyarakat. Di sana perahu Pak Tarno terombang-ambing oleh gelombang laut, hal itu sudah biasa dia alami tetapi semakin lama gelombang semakin tinggi. Karena merasa tak aman, Pak Tarno dan rekannya pergi menuju daratan untuk mengamankan diri. Benar saja, gelombang laut sudah berbahaya untuk di kunjungi, untung saja Pak Tarno dan rekannya dapat menanggapi dengan cepat jika tidak mereka akan mati tenggelam. Karena hanya mendapatkan sedikit tangkapan, alhasil Pak Tarno mendapatkan sedikit uang hari ini,”Yasudahlah hari ini dapat segini yang penting masih bisa membeli bahan masakan, ya sekarang waktunya menjemput Nirla!! Semangat Tarno, kamu bisa membahagiakan keluarga kecilmu meskipun hari ini hanya sedikit.” Pak Tarno menyemangati dirinya sendiri dan bergegas menuju sekolah Nirla.

Sesampainya pak Tarno di sekolah, ia melihat anaknya sedang berlari menuju dirinya, Nirla tersenyum karena ayah menjemputnya lebih awal, Pak Tarno melihat sedikit lebam pada tubuh Nirla, “Nirla, mengapa di tubuhmu terdapat lebam?” Tanya Pak Tarno. Nirla menjawab dengan tenang, “Oh ini, tadi Nirla bermain kejar-kejaran dengan teman. Makanya ada sedikit lebam tapi sudah di obati sama guru Nirla, jadi ayah tidak perlu khawatir!” Setelah mendengar penjelasan Nirla mereka berdua pun pulang ke rumah.

Langit senja hadir di ujung pantai, seorang gadis kecil terduduk di pasir sambil menangkupkan kepalanya di lutut. “Akankah senyumanku kembali?” Tanyanya. Merekalah yang jahat menyekap batin yang diam bersedu.

Katanya, yang sia-sia akan menjadi makna, berterus terulang suatu saat henti. Namun pada akhirnya itu kata kiasan saja. Tangisan kecil mengisi kekosongan emosi, ia menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sedih. Seorang Pria tua langsung memeluk tubuh gadis tersebut.

“Nirla, ini Ayah nak. Ayah di sini, menangislah sampai sedihmu hilang nak” ucap sang ayah. Nirla hanya bisa menangis dipelukan ayahnya, “Ayah, tubuh kecil ini mencari cara agar tetap bisa bernafas, oksigen yang di hirup bercampur dengan debu. Debu bercampur dengan darah, sampai mengalir ke tubuh yang sudah mulai rentan. Lemahnya diri ini seperti tidak diberikan nyawa” tutur kata Nirla menusuk hatinya berkali-kali lipat, “Ayah selama ini Nirla korban bully dan lebam yang ayah lihat tadi siang itu bekas pukulan, ayah, maaf. Nirla tidak jujur ke ayah. Mereka membully Nirla karena mereka merasa dirinya adalah yang paling sempurna dari segi ekonomi.” Saat tahu Nirla adalah korban bully, Pak Tarno terkejut dan memeluk Nirla dengan erat. 

Laut menjadi saksi dua insan yang bersedu.

Beberapa hari kemudian, hari berjalan seperti biasa bedanya Nirla tidak lagi bersekolah ia memutuskan untuk belajar di rumah dan membantu ibu melakukan pekerjaan rumah saat ayah tidak ada. Pak Tarno menjalankan kerjanya sama seperti dulu, ia melihat gelombang laut semakin membesar dan para nelayan enggan untuk berlayar, banyak dari mereka mengusulkan untuk memasang pagar laut. “Apa mungkin membangun pagar laut?” Gumam Pak Tarno kepada dirinya sendiri saat mendengar rencana itu. Ada yang setuju dengan pendapat pagar laut untuk melindungi desa, tetapi Pak Tarno dan sebagian nelayan tua merasa aneh dengan pendapat yang disampaikan. Laut bukanlah suatu musuh yang perlu dihalangi.

”Pak Tarno, semakin ke sini gelombang laut tak dapat di prediksi, terkadang gelombangnya kecil, tetapi bisa juga mendadak besar. Kita harus mencegah air laut memasuki desa kita.” Ucap salah satu warga, Pak Tarno memikirkan perkataan dari warga tersebut. Ia tahu jika itu niat baik tetapi ada sesuatu yang salah dengan pendapat tersebut, “Tapi pak kalau kita memasang pagar laut bukankah itu menjadi batasan kami untuk mencari ikan lebih banyak? Pak, semakin sedikit hasil tangkapan kami, semakin sedikit pula penghasilan kami,” jawabnya pelan namun tegas. Semua orang terdiam, suara Pak Tarno membawa suasana yang berbeda. 

Hari berlalu, dan keputusan tetap diambil. Mereka mengadu kepada Pak Kades untuk memasangkan pagar laut dan Pak Kades setuju tentang hal itu. Pagar laut mulai dibangun. Struktur kayu bambu mulai memanjang di sepanjang pantai, seperti dinding yang memisahkan desa dengan laut. Penduduk merasa lega, namun ada kekosongan yang tak dapat diungkapkan. Pak Tarno mencari pekerjaan lain untuk menghidupkan keluarga kecilnya itu, ia membuka dan membuat di pasar. Awalnya usaha kecil itu sepi tetapi hari demi hari usaha yang dilakukan semakin ramai. Pak Tarno tak menyangka bahwa penjualannya itu dapat mengubah ekonomi keluarganya. Pak Tarno dapat membeli rumah baru dan memberikan fasilitas yang layak untuk keluarga.

“Alhamdulillah yah, kita bisa meningkatkan ekonomi kita. Terima kasih yah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghidupkan keluarga ini, tanpa ayah kita tidak bisa merasakan kenikmatan hidup seperti ini.” Ucap sang ibu, mereka menangis haru dengan usaha yang dilakukan.

Terhanyut dalam asa

Di sisa-sisa cahaya

Bahagia pasti ada

Di balik derita

Hidup ini berjalan seperti lagu.

Pak Tarno mendatangi Desa Panglipuran-yang ia tempati saat menjadi nelayan, para warga berbincang atas kedatangan Pak Tarno. Ia melihat banyak potongan bambu yang menjadi sampah akibat hantaman ombak kencang, laut semakin tidak bisa di prediksi. Jika tidak ada pagar laut, mungkin desa ini sudah hancur lebur. Pak Tarno berbicara empat mata dengan salah satu warga, “Pak Ujang saya ingin mendonasikan sejumlah uang dan sembako, setelah saya pikir lagi pagar laut bisa menjadi pelindung untuk desa ini. Jika ada yang berminat, kedai saya kekurangan orang yang bisa memasak, jadi saya ingin membukakan lowongan kerja untuk para warga yang membutuhkan” Ucap Pak Tarno.

Pak Ujang merasa kebingungan, gerak-gerik Pak Tarno membuatnya curiga, “Pak ini di video kan ya? Biasanya selebgram buat konten seperti itu, lalu posting di media sosial supaya mempunyai citra yang baik” Ucapan Pak Ujang membuat Pak Tarno terkejut, dengan tenang ia menjawab, “Untuk apa saya berbuat seperti itu? Saya di sini niat untuk membantu pak bukan mencari validasi, apalagi sampai membohongkan generasi untuk mempertahankan eksistensi. Dengan cara seperti itu belum tentu saya senang pak, saya tidak nyaman jika di video kan”

Pak Ujang meminta maaf dan berjanji untuk tidak suudzon ke Pak Tarno, Pak Tarno membalas dengan senyum hangat. Segera Pak Ujang memberi tahu ke seluruh warga Desa Paliurang, awalnya para warga menatap sinis Pak Tarno, tetapi Pak Ujang memberitahu yang sebenarnya. Para warga senang atas kedermawanannya Pak Tarno, tak di sangka jika masih ada orang baik di hidup ini.

Laut menjadi saksi bisu jiwa yang bahagia.

Sore itu, Pak Tarno duduk di sana, membiarkan ombak kecil menyentuh kakinya. Dibalik pagar laut yang kokoh, Pak Tarno tahu bahwa tidak semua badai perlu dihindari, dan tidak semua ombak harus ditakuti. Kadang, di balik pagar yang melindungi, ada keindahan yang bisa dinikmati.

Laut adalah kebebasan.