Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Adelia Rizky | Belenggu

Di dunia yang terpisah antara darat dan laut oleh batas tak kasatmata, hiduplah bangsa manusia dan kaum Pelagis—makhluk laut yang memiliki wujud setengah manusia, setengah air. Sejak dahulu, mereka hidup berdampingan dalam keseimbangan yang rapuh. Manusia mengandalkan lautan sebagai sumber kehidupan, sementara kaum Pelagis menjaga agar samudra tetap lestari. Namun, segalanya berubah ketika manusia membangun Pagar Laut, sebuah tembok raksasa yang memutus aliran samudra dan mengurung kaum Pelagis di wilayah mereka sendiri.

Pembangunan tembok itu dilakukan atas perintah Raja Arkalon dari Kerajaan Adhikara, negeri manusia yang menguasai pesisir barat benua. Dengan dalih melindungi negerinya dari ombak besar dan makhluk laut berbahaya, ia memerintahkan para insinyur terbaiknya untuk membangun Pagar Laut—barikade batu hitam yang merentang dari utara ke selatan, memisahkan daratan dari lautan lepas. Tak ada yang menyadari bahwa pagar itu bukan hanya memisahkan perairan, tetapi juga merusak keseimbangan yang telah dijaga selama ribuan tahun.

Di dalam benteng air yang kini menjadi penjara mereka, kaum Pelagis mulai merasakan dampak dari pembangunan pagar tersebut. Arus laut yang dahulu mengalir bebas kini tertahan, membuat suhu air meningkat dan ekosistem laut berubah drastis. Terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan mulai memutih, ombak kehilangan daya dorongnya, dan air perlahan menjadi stagnan, berbau busuk oleh kematian yang merayap tanpa terlihat.

Kaum Pelagis, yang tubuhnya menyatu dengan air, mulai melemah. Mereka bukan sekadar makhluk laut, melainkan bagian dari laut itu sendiri. Jika air menjadi sakit, mereka pun ikut menderita.

Salah satu di antara mereka, seorang gadis Pelagis bernama Naira, merasakan penderitaan ini lebih dalam daripada yang lain. Ia lahir dari garis keturunan lama yang masih menjaga hubungan erat dengan lautan, dan kini ia bisa mendengar jeritan samudra yang sekarat. Air di sekelilingnya berbisik tentang kematian, tentang ketidakseimbangan, tentang badai yang tidak lagi mampu terbentuk karena aliran laut telah terhalang.

“Jika Pagar Laut tetap berdiri, bukan hanya kita yang akan musnah—manusia juga,” gumamnya.

Namun, Iralon, pemimpin kaum Pelagis, menggeleng pelan. “Manusia tak akan mendengarkan kita, anakku. Mereka telah memilih jalannya.”

Di atas daratan, para nelayan mulai menyadari sesuatu yang aneh. Laut yang dahulu kaya dengan ikan kini terasa kosong. Perahu-perahu mereka kembali dengan jaring yang nyaris tak berisi. Air pasang yang biasanya membantu membawa perahu ke pelabuhan kini tak lagi tiba pada waktunya. Bahkan para penyihir istana, yang biasanya dapat membaca tanda-tanda alam, merasakan sesuatu yang mengerikan—seolah-olah dunia itu sendiri mulai kehilangan keseimbangannya.

“Ada sesuatu yang salah dengan laut,” bisik seorang nelayan tua. “Seolah-olah ia sedang sekarat…”

Namun, Raja Arkalon tetap tak bergeming. Ia melihat Pagar Laut sebagai keberhasilan terbesar negerinya. Dengan tembok itu, ia berpikir, rakyatnya akan selamat dari banjir dan serangan makhluk laut. Apa yang lebih penting dari itu?

Namun, di malam-malam yang sepi, langit mulai berubah. Awan hitam menumpuk di cakrawala, angin yang dulu hangat kini bertiup dingin menusuk tulang. Ombak yang biasanya jinak kini mengamuk dengan liar.

Dan pada saat itulah, Naira memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya menunggu.

Ditemani oleh kelompok kecil Pelagis yang masih memiliki kekuatan, Naira berlayar menuju Pagar Laut. Tembok itu menjulang tinggi di hadapan mereka, seolah-olah mengejek keberadaan mereka yang terjebak. Namun, Naira tidak gentar. Ia mengangkat kedua tangannya, membiarkan air mengalir melalui jari-jarinya.

“Aku memanggilmu, lautan... Aku memohon kepadamu, bebaskanlah dirimu…”

Lautan, yang selama ini tertahan, akhirnya mendengar panggilannya. Ombak mulai bergetar, arus yang selama ini terhalang mulai bergolak. Dari kedalaman, sesuatu yang telah lama tertidur kini terbangun—amukan samudra yang tak bisa lagi dibendung.

Dari sela-sela retakan pagar, makhluk-makhluk laut yang terjebak mulai muncul. Ular laut sepanjang puluhan meter melilit tiang-tiang batu, memecahnya menjadi puing-puing. Pasukan ikan pari raksasa mengangkat tubuh mereka ke udara sebelum menjatuhkan diri dengan kekuatan yang cukup untuk meruntuhkan bagian-bagian dinding.

Namun, yang paling mengerikan adalah ombak raksasa yang terbentuk di cakrawala. Gelombang setinggi gunung bergerak maju dengan perlahan, seolah-olah samudra sendiri telah mengumpulkan seluruh kemarahannya dalam satu hempasan terakhir.

Di istana, Raja Arkalon menyaksikan semuanya dengan wajah pucat.

“Tidak mungkin…” bisiknya.

Namun, ini bukan keajaiban, bukan sihir. Ini adalah konsekuensi. Alam yang telah lama dipaksa diam kini menuntut haknya kembali.

Dalam satu hempasan dahsyat, Pagar Laut runtuh. Air yang selama ini tertahan meluap dengan dahsyat, mengembalikan keseimbangan yang telah lama hilang. Kaum Pelagis merasakan kekuatan mereka kembali, sementara manusia menyadari kesalahan mereka, terlambat.

Air yang terbebas melanda kota-kota pesisir, menggenangi pelabuhan, merobohkan rumah-rumah di tepi pantai. Namun, tidak semua kehancuran ini adalah hukuman. Laut hanya mengambil kembali apa yang dulu dirampas.

Ketika fajar menyingsing, dunia tampak berbeda. Pagar Laut telah menjadi puing-puing di dasar laut. Kaum Pelagis kembali mengalir bebas bersama arus, dan ekosistem yang sempat rusak perlahan mulai pulih.

Di pesisir, manusia berdiri dalam keheningan. Mereka melihat laut yang mereka coba kendalikan kini kembali menguasai dirinya sendiri.

Raja Arkalon, yang dulu begitu yakin bahwa Pagar Laut adalah penyelamat rakyatnya, kini berlutut di atas pasir basah, menyaksikan reruntuhan rencananya sendiri.

Di tengah samudra, Naira menatap cakrawala dengan mata penuh harapan. Ia tahu, ini bukan akhir dari perjuangan. Manusia mungkin akan kembali dengan ide-ide baru untuk menaklukkan alam, tetapi kali ini, mereka telah melihat sendiri akibat dari kesombongan mereka.

Langit pagi masih diselimuti kabut sisa badai semalam, tetapi air laut kembali jernih, seolah membersihkan dirinya dari belenggu yang telah lama mengekangnya. Ombak berdesir lembut, membawa serpihan batu hitam bekas reruntuhan Pagar Laut ke tepi pantai. Kaum Pelagis melayang di bawah permukaan, tubuh mereka berpendar dalam nuansa biru keperakan, menandakan bahwa keseimbangan mulai kembali.

Naira menghirup napas dalam-dalam, merasakan arus laut yang kini kembali mengalir bebas di sekelilingnya. Namun, di balik kemenangan ini, ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Pagar Laut mungkin telah runtuh, tetapi luka yang ditinggalkan oleh perbuatan manusia tidak akan sembuh dalam semalam. Terumbu karang masih sekarat, ikan-ikan yang menghilang belum kembali, dan hubungan antara manusia dan kaum Pelagis kini lebih rapuh dari sebelumnya.

Dari atas tebing yang menghadap ke laut, seorang pemuda berdiri memperhatikan kehancuran yang tersisa. Pangeran Kaelen, putra mahkota Kerajaan Adhikara, telah menyaksikan bagaimana lautan menuntut kembali haknya. Berbeda dari ayahnya, Kaelen selalu merasa ada yang salah dengan tembok yang mereka bangun. Kini, setelah melihat dampaknya secara langsung, ia merasa bebannya semakin berat. Jika ayahnya masih bersikeras bahwa Pagar Laut harus dibangun kembali, maka hanya ada satu pilihan—ia harus menjadi suara yang berbicara untuk dunia yang telah mereka lukai.

Dengan langkah mantap, Kaelen turun dari tebing dan berjalan ke arah pantai, di mana beberapa nelayan masih berdiri dalam kebingungan. Ia melihat wajah-wajah ketakutan mereka, tetapi juga ada sesuatu yang lain—kesadaran. Mereka tahu bahwa kesalahan telah diperbuat, dan mereka kini menghadapi akibatnya.

“Kita tidak bisa mengulanginya,” suara Kaelen tenang tetapi tegas. “Laut bukan musuh kita.”

Seorang nelayan tua, yang sebelumnya memperingatkan bahwa laut mulai sekarat, mengangguk perlahan. “Kami tidak ingin melawan laut, Pangeran. Kami hanya ingin bertahan hidup.”

“Begitu juga mereka,” Kaelen menoleh ke arah samudra, tempat Naira dan kaum Pelagis mengawasi dari kejauhan. “Jika kita ingin bertahan, kita harus mencari cara untuk hidup berdampingan, bukan membangun tembok yang memisahkan kita.”

Di dalam istana, Raja Arkalon masih terdiam dalam kemarahannya. Rencana besarnya hancur dalam satu malam. Tetapi lebih dari itu, ia dihantui oleh sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan—ketakutan. Ia selalu berpikir bahwa manusia bisa mengendalikan alam, tetapi kini ia menyadari betapa kecilnya mereka di hadapan kekuatan samudra.

Namun, masih ada pilihan yang harus ia buat. Akankah ia tetap bertahan pada kebanggaannya dan mencoba membangun kembali tembok itu? Ataukah ia akan mendengarkan suara yang telah lama diabaikan?

Sementara itu, di dasar laut, Iralon menatap Naira dengan sorot mata penuh kebanggaan. “Kau telah melakukan apa yang tidak bisa kami lakukan selama berabad-abad, Naira,” katanya. “Kau memulihkan lautan.”

Naira menggeleng pelan. “Lautan yang menyelamatkan dirinya sendiri. Aku hanya membantunya berbicara.”

Iralon tersenyum tipis. “Tetaplah berbicara, anakku. Karena dunia ini masih penuh dengan mereka yang belum mau mendengar.”

Naira menatap cakrawala, di mana laut dan langit bertemu tanpa batas. Dunia mungkin telah berubah hari ini, tetapi selama manusia masih ada, selalu akan ada pertanyaan yang tersisa: Apakah mereka akan belajar dari kesalahan mereka? Ataukah suatu hari nanti, mereka akan kembali mencoba menaklukkan sesuatu yang seharusnya mereka hormati?

Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Dunia telah berbicara.

Dan lautan, dengan segala kebesarannya, tak akan pernah bisa dibelenggu lagi.