Di dunia yang terpisah antara darat dan laut oleh batas tak kasatmata,
hiduplah bangsa manusia dan kaum Pelagis—makhluk laut yang memiliki wujud
setengah manusia, setengah air. Sejak dahulu, mereka hidup berdampingan dalam
keseimbangan yang rapuh. Manusia mengandalkan lautan sebagai sumber kehidupan,
sementara kaum Pelagis menjaga agar samudra tetap lestari. Namun, segalanya
berubah ketika manusia membangun Pagar Laut, sebuah tembok raksasa yang memutus
aliran samudra dan mengurung kaum Pelagis di wilayah mereka sendiri.
Pembangunan tembok itu dilakukan atas perintah Raja Arkalon dari Kerajaan
Adhikara, negeri manusia yang menguasai pesisir barat benua. Dengan dalih
melindungi negerinya dari ombak besar dan makhluk laut berbahaya, ia
memerintahkan para insinyur terbaiknya untuk membangun Pagar Laut—barikade batu
hitam yang merentang dari utara ke selatan, memisahkan daratan dari lautan
lepas. Tak ada yang menyadari bahwa pagar itu bukan hanya memisahkan perairan,
tetapi juga merusak keseimbangan yang telah dijaga selama ribuan tahun.
Di dalam benteng air yang kini menjadi penjara mereka, kaum Pelagis mulai
merasakan dampak dari pembangunan pagar tersebut. Arus laut yang dahulu
mengalir bebas kini tertahan, membuat suhu air meningkat dan ekosistem laut
berubah drastis. Terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan mulai
memutih, ombak kehilangan daya dorongnya, dan air perlahan menjadi stagnan,
berbau busuk oleh kematian yang merayap tanpa terlihat.
Kaum Pelagis, yang tubuhnya menyatu dengan air, mulai melemah. Mereka bukan
sekadar makhluk laut, melainkan bagian dari laut itu sendiri. Jika air menjadi
sakit, mereka pun ikut menderita.
Salah satu di antara mereka, seorang gadis Pelagis bernama Naira, merasakan
penderitaan ini lebih dalam daripada yang lain. Ia lahir dari garis keturunan
lama yang masih menjaga hubungan erat dengan lautan, dan kini ia bisa mendengar
jeritan samudra yang sekarat. Air di sekelilingnya berbisik tentang kematian,
tentang ketidakseimbangan, tentang badai yang tidak lagi mampu terbentuk karena
aliran laut telah terhalang.
“Jika Pagar Laut tetap berdiri, bukan hanya kita yang akan musnah—manusia
juga,” gumamnya.
Namun, Iralon, pemimpin kaum Pelagis, menggeleng pelan. “Manusia tak akan
mendengarkan kita, anakku. Mereka telah memilih jalannya.”
Di atas daratan, para nelayan mulai menyadari sesuatu yang aneh. Laut yang
dahulu kaya dengan ikan kini terasa kosong. Perahu-perahu mereka kembali dengan
jaring yang nyaris tak berisi. Air pasang yang biasanya membantu membawa perahu
ke pelabuhan kini tak lagi tiba pada waktunya. Bahkan para penyihir istana,
yang biasanya dapat membaca tanda-tanda alam, merasakan sesuatu yang
mengerikan—seolah-olah dunia itu sendiri mulai kehilangan keseimbangannya.
“Ada sesuatu yang salah dengan laut,” bisik seorang nelayan tua.
“Seolah-olah ia sedang sekarat…”
Namun, Raja Arkalon tetap tak bergeming. Ia melihat Pagar Laut sebagai
keberhasilan terbesar negerinya. Dengan tembok itu, ia berpikir, rakyatnya akan
selamat dari banjir dan serangan makhluk laut. Apa yang lebih penting dari itu?
Namun, di malam-malam yang sepi, langit mulai berubah. Awan hitam menumpuk
di cakrawala, angin yang dulu hangat kini bertiup dingin menusuk tulang. Ombak
yang biasanya jinak kini mengamuk dengan liar.
Dan pada saat itulah, Naira memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya menunggu.
Ditemani oleh kelompok kecil Pelagis yang masih memiliki kekuatan, Naira
berlayar menuju Pagar Laut. Tembok itu menjulang tinggi di hadapan mereka,
seolah-olah mengejek keberadaan mereka yang terjebak. Namun, Naira tidak
gentar. Ia mengangkat kedua tangannya, membiarkan air mengalir melalui
jari-jarinya.
“Aku memanggilmu, lautan... Aku memohon kepadamu, bebaskanlah dirimu…”
Lautan, yang selama ini tertahan, akhirnya mendengar panggilannya. Ombak
mulai bergetar, arus yang selama ini terhalang mulai bergolak. Dari kedalaman,
sesuatu yang telah lama tertidur kini terbangun—amukan samudra yang tak bisa
lagi dibendung.
Dari sela-sela retakan pagar, makhluk-makhluk laut yang terjebak mulai
muncul. Ular laut sepanjang puluhan meter melilit tiang-tiang batu, memecahnya
menjadi puing-puing. Pasukan ikan pari raksasa mengangkat tubuh mereka ke udara
sebelum menjatuhkan diri dengan kekuatan yang cukup untuk meruntuhkan bagian-bagian
dinding.
Namun, yang paling mengerikan adalah ombak raksasa yang terbentuk di
cakrawala. Gelombang setinggi gunung bergerak maju dengan perlahan, seolah-olah
samudra sendiri telah mengumpulkan seluruh kemarahannya dalam satu hempasan
terakhir.
Di istana, Raja Arkalon menyaksikan semuanya dengan wajah pucat.
“Tidak mungkin…” bisiknya.
Namun, ini bukan keajaiban, bukan sihir. Ini adalah konsekuensi. Alam yang
telah lama dipaksa diam kini menuntut haknya kembali.
Dalam satu hempasan dahsyat, Pagar Laut runtuh. Air yang selama ini
tertahan meluap dengan dahsyat, mengembalikan keseimbangan yang telah lama
hilang. Kaum Pelagis merasakan kekuatan mereka kembali, sementara manusia
menyadari kesalahan mereka, terlambat.
Air yang terbebas melanda kota-kota pesisir, menggenangi pelabuhan,
merobohkan rumah-rumah di tepi pantai. Namun, tidak semua kehancuran ini adalah
hukuman. Laut hanya mengambil kembali apa yang dulu dirampas.
Ketika fajar menyingsing, dunia tampak berbeda. Pagar Laut telah menjadi
puing-puing di dasar laut. Kaum Pelagis kembali mengalir bebas bersama arus,
dan ekosistem yang sempat rusak perlahan mulai pulih.
Di pesisir, manusia berdiri dalam keheningan. Mereka melihat laut yang
mereka coba kendalikan kini kembali menguasai dirinya sendiri.
Raja Arkalon, yang dulu begitu yakin bahwa Pagar Laut adalah penyelamat
rakyatnya, kini berlutut di atas pasir basah, menyaksikan reruntuhan rencananya
sendiri.
Di tengah samudra, Naira menatap cakrawala dengan mata penuh harapan. Ia
tahu, ini bukan akhir dari perjuangan. Manusia mungkin akan kembali dengan
ide-ide baru untuk menaklukkan alam, tetapi kali ini, mereka telah melihat
sendiri akibat dari kesombongan mereka.
Langit pagi masih diselimuti kabut sisa badai semalam, tetapi air laut
kembali jernih, seolah membersihkan dirinya dari belenggu yang telah lama
mengekangnya. Ombak berdesir lembut, membawa serpihan batu hitam bekas
reruntuhan Pagar Laut ke tepi pantai. Kaum Pelagis melayang di bawah permukaan,
tubuh mereka berpendar dalam nuansa biru keperakan, menandakan bahwa
keseimbangan mulai kembali.
Naira menghirup napas dalam-dalam, merasakan arus laut yang kini kembali
mengalir bebas di sekelilingnya. Namun, di balik kemenangan ini, ia tahu bahwa
perjalanannya belum selesai. Pagar Laut mungkin telah runtuh, tetapi luka yang
ditinggalkan oleh perbuatan manusia tidak akan sembuh dalam semalam. Terumbu
karang masih sekarat, ikan-ikan yang menghilang belum kembali, dan hubungan
antara manusia dan kaum Pelagis kini lebih rapuh dari sebelumnya.
Dari atas tebing yang menghadap ke laut, seorang pemuda berdiri
memperhatikan kehancuran yang tersisa. Pangeran Kaelen, putra mahkota Kerajaan
Adhikara, telah menyaksikan bagaimana lautan menuntut kembali haknya. Berbeda
dari ayahnya, Kaelen selalu merasa ada yang salah dengan tembok yang mereka
bangun. Kini, setelah melihat dampaknya secara langsung, ia merasa bebannya
semakin berat. Jika ayahnya masih bersikeras bahwa Pagar Laut harus dibangun
kembali, maka hanya ada satu pilihan—ia harus menjadi suara yang berbicara
untuk dunia yang telah mereka lukai.
Dengan langkah mantap, Kaelen turun dari tebing dan berjalan ke arah
pantai, di mana beberapa nelayan masih berdiri dalam kebingungan. Ia melihat
wajah-wajah ketakutan mereka, tetapi juga ada sesuatu yang lain—kesadaran.
Mereka tahu bahwa kesalahan telah diperbuat, dan mereka kini menghadapi
akibatnya.
“Kita tidak bisa mengulanginya,” suara Kaelen tenang tetapi tegas. “Laut
bukan musuh kita.”
Seorang nelayan tua, yang sebelumnya memperingatkan bahwa laut mulai
sekarat, mengangguk perlahan. “Kami tidak ingin melawan laut, Pangeran. Kami
hanya ingin bertahan hidup.”
“Begitu juga mereka,” Kaelen menoleh ke arah samudra, tempat Naira dan kaum
Pelagis mengawasi dari kejauhan. “Jika kita ingin bertahan, kita harus mencari
cara untuk hidup berdampingan, bukan membangun tembok yang memisahkan kita.”
Di dalam istana, Raja Arkalon masih terdiam dalam kemarahannya. Rencana
besarnya hancur dalam satu malam. Tetapi lebih dari itu, ia dihantui oleh
sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan—ketakutan. Ia selalu berpikir bahwa
manusia bisa mengendalikan alam, tetapi kini ia menyadari betapa kecilnya mereka
di hadapan kekuatan samudra.
Namun, masih ada pilihan yang harus ia buat. Akankah ia tetap bertahan pada
kebanggaannya dan mencoba membangun kembali tembok itu? Ataukah ia akan
mendengarkan suara yang telah lama diabaikan?
Sementara itu, di dasar laut, Iralon menatap Naira dengan sorot mata penuh
kebanggaan. “Kau telah melakukan apa yang tidak bisa kami lakukan selama
berabad-abad, Naira,” katanya. “Kau memulihkan lautan.”
Naira menggeleng pelan. “Lautan yang menyelamatkan dirinya sendiri. Aku
hanya membantunya berbicara.”
Iralon tersenyum tipis. “Tetaplah berbicara, anakku. Karena dunia ini masih
penuh dengan mereka yang belum mau mendengar.”
Naira menatap cakrawala, di mana laut dan langit bertemu tanpa batas. Dunia
mungkin telah berubah hari ini, tetapi selama manusia masih ada, selalu akan
ada pertanyaan yang tersisa: Apakah mereka akan belajar dari kesalahan mereka?
Ataukah suatu hari nanti, mereka akan kembali mencoba menaklukkan sesuatu yang
seharusnya mereka hormati?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Dunia telah berbicara.
Dan lautan, dengan segala kebesarannya, tak akan pernah bisa dibelenggu
lagi.