Malam ketika mal itu tutup dan lampu-lampunya dipadamkan, Biyung selalu
melangkah tanpa alas kaki sembari menjinjing keresek hitam berisi bunga-bunga
di tangan kirinya menuju pelataran mal itu, hanya untuk menaburkan bunga-bunga.
Begitulah. Biyung melakukan kebiasaan itu nyaris setiap hari, setiap malam.
Selalu begitu.
Aku selalu melihat kebiasaan Biyung menaburkan bunga-bunga di pelataran mal
itu setiap malam, lantaran tempat tinggal kami berada tepat di seberang jalan
yang tak jauh dari mal itu, tepatnya di halaman ruko terbengkalai, tempat kami
tinggal dan tidur setiap harinya bersama orang-orang gelandangan lainnya. Maka
setiap kali Biyung sedang menaburkan bunga-bunganya di pelataran mal, sorot
mataku tidak bisa tidak memandangnya.
Aku tak tahu pasti kenapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran
mal itu setiap malam. Yang pasti aku selalu melihat Biyung menjinjing keresek
hitam berisi bunga-bunga dan menaburkannya setiap malam ketika jalanan kota
sudah sunyi senyap, dan selalu di tempat yang sama.
Sudah berkali-kali aku menanyakan tentang kebiasaan aneh Biyung,
tentang alasan Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran mal setiap
malam, tetapi yang kuterima melulu kekesalan. Biyung selalu tak menjawab
pertanyaanku. Setiap hari. Setiap malam. Aku benar-benar tak paham. Sampai aku
sempat mengira Biyung sudah kelewat sinting lantaran tak kuat hidup miskin dan
sengsara sebagai gelandangan. Tetapi rupanya Biyung tidaklah sinting. Karena
terlepas dari kebiasaannya menaburkan bunga-bunga setiap malam, Biyung masih
terlihat waras dan tubuhnya lumayan sehat sebagaimana orang tua pada
umumnya.
“Nak, besok sudah waktunya kita setor barang rongsok ke Kaji Pelo,” ucap
Biyung malam itu sambil memilah barang-barang rongsoknya, seusai menaburkan
bunga-bunga di pelataran mal.
Aku hanya mengangguk.
Malam itu, setelah Biyung menaburkan bunga-bunganya, seperti biasa, rasa
ingin tahuku membuncah. Dan untuk kesekian kalinya, aku pun menanyakan hal yang
sama, lagi dan lagi, kepada Biyung, “Yung, kenapa Biyung selalu menaburkan
bunga-bunga itu di tempat yang sama setiap malam?”
Sudah kuduga. Seperti sebelum-sebelumnya. Tak ada jawaban dari Biyung.
Mulut Biyung selalu menutup rapat-rapat setiap kali pertanyaan serupa keluar
dari mulutku. Pertanyaan tentang kenapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di
pelataran mal setiap hari setiap malam, tak kunjung mendapat jawaban.
***
Bulan bulat pucat menggantung di langit malam. Jalanan di kota ini kian
sepi. Dingin membuat tubuhku gigil. Kulihat Biyung sudah mapan tidur dan
memejamkan matanya. Tubuh tuanya berselimut sarung bekas bermotif batik dengan
sobekan di mana-mana. Kepalanya berbantal buntalan kain-kain lecek berbau apak.
Sejenak kupandangi wajah Biyung yang penuh kerutan, tetapi tak ada satu pun
kesan terhadapnya. Pikiranku justru melayang kepada bayangan sosok asing yang
tak pernah aku kenali. Sosok yang nyaris tidak pernah dibicarakan Biyung
kepadaku. Sosok yang seharusnya ada di hidup kami dan membuat kami merasa
lengkap sebagai keluarga.
Bapa.
Mendadak kugelengkan kepalaku dengan cepat. Supaya tak berlarut-larut
memikirkan sosok yang tak pernah ada di hidupku dan membuatku merasa sedih. Aku
ingat bahwa Biyung selalu mengajarkanku untuk bersikap legawa. Legawa berarti
merasa cukup atas apa yang kita punya. Legawa berarti menerima dengan ikhlas.
Dan sisanya adalah takdir Tuhan. Menjadi gelandangan, kata Biyung suatu hari,
adalah ujian hidup yang selalu menyimpan hikmah di baliknya.
Di kota ini orang-orang seperti kami banyak tersebar nyaris di setiap
penjuru kota. Jalanan adalah tempat kami tinggal dan hidup darinya. Aku dan
Biyung banyak mengenal mereka. Beberapa yang lumayan dekat dengan kami dan
sudah saling menganggap sebagai sedulur adalah Mang Sapto, si badut
pengamen yang sering joget-joget di lampu merah diiringi lagu anak-anak. Ada
juga Tante Maria, si biduan jalanan yang wajahnya selalu berpupur dan bibirnya
terlihat merah sekali. Aku tak tahu kenapa Tante Maria dipanggil “tante” oleh
orang-orang padahal ia sudah tak semuda tante-tante pada umumnya yang aku tahu.
Bahkan suara Tante Maria terdengar seperti suara bapak-bapak.
Suatu hari, Mang Sapto pernah berkelakar ketika kami semua sedang
berkumpul, “Kau tahu apa arti nama Tante Maria? Mama-mama pria.” Tante Maria
yang mendengar ucapan Mang Sapto tentang dirinya seketika langsung menjotos
mulut Mang Sapto sampai bibirnya pecah berdarah. Begitulah. Bacot Mang Sapto
memang menyebalkan. Aku lebih suka kepada Tante Maria karena ia baik sekali
kepadaku dan Biyung. Tante Maria sering memberi kami nasi lalapan lauk tahu dan
tempe untuk makan malam.
Dan satu orang lagi yang kami anggap sebagai sedulur adalah Lik
Daryati, perempuan tua pengemis yang setiap harinya berkeliling tak tentu arah
membawa gelas plastik untuk wadah duit recehan hasil mengemisnya. Lik Daryati
adalah adik perempuan Biyung satu-satunya. Ia seorang janda tua tanpa anak yang
ditinggal mati suaminya. Aku cukup dekat dengan Lik Daryati. Bahkan aku lebih
sering mengobrol dengan Lik Daryati dibanding dengan Biyung. Lantaran Biyung
sangat pendiam dan hanya mau membuka mulut untuk hal-hal serba biasa. Sedangkan
Lik Daryati sebaliknya, ia lumayan cerewet dan isi kepalanya sering kali
membuatku terkesan.
Walaupun kakak beradik, tetapi hubungan Biyung dan Lik Daryati tak begitu
akrab sejak mereka berdua berseteru. Biyung pernah melarang Lik Daryati menjadi
pengemis dan menganjurkan untuk menjadi pemulung dan menjual barang-barang
rongsok, seperti yang dilakukan Biyung dan aku. Karena menurut Biyung, menjadi
pemulung lebih baik daripada menjadi pengemis. Sejak perseteruan itulah
hubungan Biyung dengan Lik Daryati tak begitu akrab. Dan hubunganku dengan Lik
Daryati malah justru lebih dekat. Entah kenapa.
“Koe ngerti, urip yang kita jalani ini sudah ndak kenal baik-buruk. Ndak
ada yang lebih mulia antara menjadi pengemis atau pemulung. Toh, wong-wong
sugih tetap saja menganggap kita sebagai hama,” kata Lik Daryati kepadaku, tak
lama setelah dirinya berseteru dengan Biyung saat itu. “Biyungmu itu sering
kali sibuk mengurusi pilihan orang lain. Padahal aku ndak pernah
sekalipun melarang biyungmu supaya mandek melakukan kebiasaan gemblungnya
menaburkan kembang-kembang setiap malam.”
***
Biyung langsung terlelap tak lama setelah ia selesai menaburkan
bunga-bunganya malam itu. Malam yang dingin membuat rasa kantukku tak kunjung
datang. Aku duduk di samping Biyung yang sudah ngorok. Memandangi jalanan kota
yang sudah sepi. Di dekat lampu merah, aku bisa melihat Mang Sapto dan Tante
Maria sedang duduk dan merokok bersama.
“Kenapa masih melek?” Lik Daryati mendadak datang menghampiriku.
“Urung ngantuk, Lik.”
Sebungkus nasi rames disodorkan Lik Daryati kepadaku. “Mungkin gara-gara kencot,
jadi susah turu.”
Aku mengucap terima kasih kepada Lik Daryati seraya tersenyum. Kebetulan.
Perutku memang belum terisi sejak magrib. Lik Daryati lantas duduk di
sebelahku, sesekali ia menoleh ke arah Biyung yang sudah nyenyak. Kami berdua
duduk menghadap jalan raya yang lengang. Sembari melahap nasi rames bersama,
malam itu, aku ingin menanyakan sesuatu kepada Lik Daryati. Sesuatu tentang
Biyung. Sesuatu yang selalu mengganjal di dalam hatiku.
“Lik, apa Lik Daryati ngerti tentang kebiasaan Biyung yang selalu
menaburkan bunga-bunga di pelataran mal setiap malam?” tanyaku seraya mengunyah
tempe.
Lik Daryati hanya mengangguk sembari melepehkan irisan lombok dari
mulutnya.
“Kenapa, Lik? Ayo, ceritakan,”
“Hm, biyungmu itu urung bisa ikhlas,” ujar Lik Daryati sambil mengunyah
nasi rames di mulutnya, “Ndak seperti aku. Aku sudah mengikhlaskan
semuanya.”
Aku tak menanggapi ucapan Lik Daryati. Aku masih belum mengerti maksud
ucapannya. Dan yang bisa kulakukan hanya menunggu Lik Daryati melanjutkan
ceritanya.
“Dahulu, sebelum mal itu dibangun,” Lik Daryati menunjuk ke arah gedung
mal, “suamiku dan bapamu mati di sana. Mati mengenaskan.”
Aku menelan ludah. Mendadak udara tak lagi terasa dingin di tubuhku setelah
mendengar perkataan Lik Daryati.
“Ketika aku dan biyungmu belum menjadi gelandangan, dulu mal itu adalah
area persawahan. Suamiku dan bapamu menggarap sawah seluas delapan petak di
sana. Kita dulu bisa urip dari hasil panen. Tapi ketika biyungmu mengandungmu
usia delapan bulan, saat itulah malapetaka menimpa urip kita. Mulai terdengar
desas-desus pembangunan proyek mal itu. Sawah yang mulanya mampu menguripi
kita, terancam digusur. Sejak itulah bapamu dan suamiku berencana untuk menolak
proyek pembangunan mal itu. Berbagai protes tuntutan ini itu sudah dilakukan
oleh suamiku dan bapamu dan petani lainnya. Sampai akhirnya mereka kalah. Ndak
hanya kalah, tetapi juga mati. Ya, mati.”
Kulihat Lik Daryati menunduk sembari tangannya mengacak-acak nasi rames di
hadapannya. Raut wajah Lik Daryati terlihat masam, seolah ia berupaya menahan
sesuatu keluar dari matanya. Membuatku terbawa suasana.
“Sore ketika biyungmu yang sedang hamil besar sedang duduk di teras rumah
bersamaku, dan bapamu dan suamiku baru saja balik dari sawah, mendadak puluhan
preman bayaran menggeruduk rumah kami. Mereka menyerbu bapamu dan suamiku.
Mereka mengikat tangan bapamu dan suamiku dengan tali lalu menyeretnya ke suatu
tempat. Mereka, para preman bayaran biadab itu, memisahkan bapamu dari biyungmu
yang sedang mengandungmu. Mereka juga memisahkan suamiku dan membuatku menjadi
janda miskin sebatang kara. Dan besoknya, bapamu dan suamiku ditemukan mati
tergeletak di atas galengan dengan luka bacok di sekujur tubuhnya.”
Air mata Lik Daryati tak terbendung. Ia menangis terisak-isak. Melihat Lik
Daryati menangis di hadapanku, tanpa sadar pipiku juga basah. Aku ikut
menangis. Menangis dan menangis.
“Itulah sebabnya… biyungmu selalu menaburkan kembang-kembang di pelataran
mal itu. Karena tempat itu dulunya adalah galengan sawah tempat mayat bapamu
dan suamiku tergeletak mengenaskan. Sudah puluhan tahun lewat, tetapi biyungmu
masih belum sepenuhnya ikhlas. Belum sepenuhnya legowo.”
Tangis Lik Daryati belum juga berhenti. Begitu pula tangisku. Aku masih tak
menyangka cerita yang dikatakan Lik Daryati. Sesaat kupandangi wajah Biyung
yang masih nyenyak, lantas kucium kening keriputnya dengan penuh ketulusan dan
kesedihan yang meluap-luap.
Kini, aku sudah tahu mengapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di
pelataran mal itu setiap malam. Dan malam-malam selanjutnya, aku tak akan
membiarkan Biyung menaburkan bunga-bunganya sendirian. Malam-malam selanjutnya,
aku akan selalu menemani Biyung menaburkan bunga-bunganya. Aku akan selalu
menaburkan bunga-bunga bersama Biyung, untuk mengenang kematian Bapa.