Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Adriansyah Subekti | Biyung Selalu Menaburkan Bunga-Bunga

Malam ketika mal itu tutup dan lampu-lampunya dipadamkan, Biyung selalu melangkah tanpa alas kaki sembari menjinjing keresek hitam berisi bunga-bunga di tangan kirinya menuju pelataran mal itu, hanya untuk menaburkan bunga-bunga. Begitulah. Biyung melakukan kebiasaan itu nyaris setiap hari, setiap malam. Selalu begitu.

Aku selalu melihat kebiasaan Biyung menaburkan bunga-bunga di pelataran mal itu setiap malam, lantaran tempat tinggal kami berada tepat di seberang jalan yang tak jauh dari mal itu, tepatnya di halaman ruko terbengkalai, tempat kami tinggal dan tidur setiap harinya bersama orang-orang gelandangan lainnya. Maka setiap kali Biyung sedang menaburkan bunga-bunganya di pelataran mal, sorot mataku tidak bisa tidak memandangnya.

Aku tak tahu pasti kenapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran mal itu setiap malam. Yang pasti aku selalu melihat Biyung menjinjing keresek hitam berisi bunga-bunga dan menaburkannya setiap malam ketika jalanan kota sudah sunyi senyap, dan selalu di tempat yang sama.

Sudah berkali-kali aku menanyakan tentang kebiasaan aneh Biyung,  tentang alasan Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran mal setiap malam, tetapi yang kuterima melulu kekesalan. Biyung selalu tak menjawab pertanyaanku. Setiap hari. Setiap malam. Aku benar-benar tak paham. Sampai aku sempat mengira Biyung sudah kelewat sinting lantaran tak kuat hidup miskin dan sengsara sebagai gelandangan. Tetapi rupanya Biyung tidaklah sinting. Karena terlepas dari kebiasaannya menaburkan bunga-bunga setiap malam, Biyung masih terlihat waras dan tubuhnya lumayan sehat sebagaimana orang tua pada umumnya. 

“Nak, besok sudah waktunya kita setor barang rongsok ke Kaji Pelo,” ucap Biyung malam itu sambil memilah barang-barang rongsoknya, seusai menaburkan bunga-bunga di pelataran mal.

Aku hanya mengangguk. 

Malam itu, setelah Biyung menaburkan bunga-bunganya, seperti biasa, rasa ingin tahuku membuncah. Dan untuk kesekian kalinya, aku pun menanyakan hal yang sama, lagi dan lagi, kepada Biyung, “Yung, kenapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga itu di tempat yang sama setiap malam?”

Sudah kuduga. Seperti sebelum-sebelumnya. Tak ada jawaban dari Biyung. Mulut Biyung selalu menutup rapat-rapat setiap kali pertanyaan serupa keluar dari mulutku. Pertanyaan tentang kenapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran mal setiap hari setiap malam, tak kunjung mendapat jawaban. 

***

Bulan bulat pucat menggantung di langit malam. Jalanan di kota ini kian sepi. Dingin membuat tubuhku gigil. Kulihat Biyung sudah mapan tidur dan memejamkan matanya. Tubuh tuanya berselimut sarung bekas bermotif batik dengan sobekan di mana-mana. Kepalanya berbantal buntalan kain-kain lecek berbau apak.

Sejenak kupandangi wajah Biyung yang penuh kerutan, tetapi tak ada satu pun kesan terhadapnya. Pikiranku justru melayang kepada bayangan sosok asing yang tak pernah aku kenali. Sosok yang nyaris tidak pernah dibicarakan Biyung kepadaku. Sosok yang seharusnya ada di hidup kami dan membuat kami merasa lengkap sebagai keluarga. 

Bapa.

Mendadak kugelengkan kepalaku dengan cepat. Supaya tak berlarut-larut memikirkan sosok yang tak pernah ada di hidupku dan membuatku merasa sedih. Aku ingat bahwa Biyung selalu mengajarkanku untuk bersikap legawa. Legawa berarti merasa cukup atas apa yang kita punya. Legawa berarti menerima dengan ikhlas. Dan sisanya adalah takdir Tuhan. Menjadi gelandangan, kata Biyung suatu hari, adalah ujian hidup yang selalu menyimpan hikmah di baliknya.

Di kota ini orang-orang seperti kami banyak tersebar nyaris di setiap penjuru kota. Jalanan adalah tempat kami tinggal dan hidup darinya. Aku dan Biyung banyak mengenal mereka. Beberapa yang lumayan dekat dengan kami dan sudah saling menganggap sebagai sedulur adalah Mang Sapto, si badut pengamen yang sering joget-joget di lampu merah diiringi lagu anak-anak. Ada juga Tante Maria, si biduan jalanan yang wajahnya selalu berpupur dan bibirnya terlihat merah sekali. Aku tak tahu kenapa Tante Maria dipanggil “tante” oleh orang-orang padahal ia sudah tak semuda tante-tante pada umumnya yang aku tahu. Bahkan suara Tante Maria terdengar seperti suara bapak-bapak.

Suatu hari, Mang Sapto pernah berkelakar ketika kami semua sedang berkumpul, “Kau tahu apa arti nama Tante Maria? Mama-mama pria.” Tante Maria yang mendengar ucapan Mang Sapto tentang dirinya seketika langsung menjotos mulut Mang Sapto sampai bibirnya pecah berdarah. Begitulah. Bacot Mang Sapto memang menyebalkan. Aku lebih suka kepada Tante Maria karena ia baik sekali kepadaku dan Biyung. Tante Maria sering memberi kami nasi lalapan lauk tahu dan tempe untuk makan malam. 

Dan satu orang lagi yang kami anggap sebagai sedulur adalah Lik Daryati, perempuan tua pengemis yang setiap harinya berkeliling tak tentu arah membawa gelas plastik untuk wadah duit recehan hasil mengemisnya. Lik Daryati adalah adik perempuan Biyung satu-satunya. Ia seorang janda tua tanpa anak yang ditinggal mati suaminya. Aku cukup dekat dengan Lik Daryati. Bahkan aku lebih sering mengobrol dengan Lik Daryati dibanding dengan Biyung. Lantaran Biyung sangat pendiam dan hanya mau membuka mulut untuk hal-hal serba biasa. Sedangkan Lik Daryati sebaliknya, ia lumayan cerewet dan isi kepalanya sering kali membuatku terkesan.

Walaupun kakak beradik, tetapi hubungan Biyung dan Lik Daryati tak begitu akrab sejak mereka berdua berseteru. Biyung pernah melarang Lik Daryati menjadi pengemis dan menganjurkan untuk menjadi pemulung dan menjual barang-barang rongsok, seperti yang dilakukan Biyung dan aku. Karena menurut Biyung, menjadi pemulung lebih baik daripada menjadi pengemis. Sejak perseteruan itulah hubungan Biyung dengan Lik Daryati tak begitu akrab. Dan hubunganku dengan Lik Daryati malah justru lebih dekat. Entah kenapa.

“Koe ngerti, urip yang kita jalani ini sudah ndak kenal baik-buruk. Ndak ada yang lebih mulia antara menjadi pengemis atau pemulung. Toh, wong-wong sugih tetap saja menganggap kita sebagai hama,” kata Lik Daryati kepadaku, tak lama setelah dirinya berseteru dengan Biyung saat itu. “Biyungmu itu sering kali sibuk mengurusi pilihan orang lain. Padahal aku ndak pernah sekalipun melarang biyungmu supaya mandek melakukan kebiasaan gemblungnya menaburkan kembang-kembang setiap malam.”

***

Biyung langsung terlelap tak lama setelah ia selesai menaburkan bunga-bunganya malam itu. Malam yang dingin membuat rasa kantukku tak kunjung datang. Aku duduk di samping Biyung yang sudah ngorok. Memandangi jalanan kota yang sudah sepi. Di dekat lampu merah, aku bisa melihat Mang Sapto dan Tante Maria sedang duduk dan merokok bersama. 

“Kenapa masih melek?” Lik Daryati mendadak datang menghampiriku.

“Urung ngantuk, Lik.”

Sebungkus nasi rames disodorkan Lik Daryati kepadaku. “Mungkin gara-gara kencot, jadi susah turu.

Aku mengucap terima kasih kepada Lik Daryati seraya tersenyum. Kebetulan. Perutku memang belum terisi sejak magrib. Lik Daryati lantas duduk di sebelahku, sesekali ia menoleh ke arah Biyung yang sudah nyenyak. Kami berdua duduk menghadap jalan raya yang lengang. Sembari melahap nasi rames bersama, malam itu, aku ingin menanyakan sesuatu kepada Lik Daryati. Sesuatu tentang Biyung. Sesuatu yang selalu mengganjal di dalam hatiku.

“Lik, apa Lik Daryati ngerti tentang kebiasaan Biyung yang selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran mal setiap malam?” tanyaku seraya mengunyah tempe.

Lik Daryati hanya mengangguk sembari melepehkan irisan lombok dari mulutnya.

“Kenapa, Lik? Ayo, ceritakan,”

“Hm, biyungmu itu urung bisa ikhlas,” ujar Lik Daryati sambil mengunyah nasi rames di mulutnya, “Ndak seperti aku. Aku sudah mengikhlaskan semuanya.”

Aku tak menanggapi ucapan Lik Daryati. Aku masih belum mengerti maksud ucapannya. Dan yang bisa kulakukan hanya menunggu Lik Daryati melanjutkan ceritanya.

“Dahulu, sebelum mal itu dibangun,” Lik Daryati menunjuk ke arah gedung mal, “suamiku dan bapamu mati di sana. Mati mengenaskan.”

Aku menelan ludah. Mendadak udara tak lagi terasa dingin di tubuhku setelah mendengar perkataan Lik Daryati.

“Ketika aku dan biyungmu belum menjadi gelandangan, dulu mal itu adalah area persawahan. Suamiku dan bapamu menggarap sawah seluas delapan petak di sana. Kita dulu bisa urip dari hasil panen. Tapi ketika biyungmu mengandungmu usia delapan bulan, saat itulah malapetaka menimpa urip kita. Mulai terdengar desas-desus pembangunan proyek mal itu. Sawah yang mulanya mampu menguripi kita, terancam digusur. Sejak itulah bapamu dan suamiku berencana untuk menolak proyek pembangunan mal itu. Berbagai protes tuntutan ini itu sudah dilakukan oleh suamiku dan bapamu dan petani lainnya. Sampai akhirnya mereka kalah. Ndak hanya kalah, tetapi juga mati. Ya, mati.”

Kulihat Lik Daryati menunduk sembari tangannya mengacak-acak nasi rames di hadapannya. Raut wajah Lik Daryati terlihat masam, seolah ia berupaya menahan sesuatu keluar dari matanya. Membuatku terbawa suasana.

“Sore ketika biyungmu yang sedang hamil besar sedang duduk di teras rumah bersamaku, dan bapamu dan suamiku baru saja balik dari sawah, mendadak puluhan preman bayaran menggeruduk rumah kami. Mereka menyerbu bapamu dan suamiku. Mereka mengikat tangan bapamu dan suamiku dengan tali lalu menyeretnya ke suatu tempat. Mereka, para preman bayaran biadab itu, memisahkan bapamu dari biyungmu yang sedang mengandungmu. Mereka juga memisahkan suamiku dan membuatku menjadi janda miskin sebatang kara. Dan besoknya, bapamu dan suamiku ditemukan mati tergeletak di atas galengan dengan luka bacok di sekujur tubuhnya.”

Air mata Lik Daryati tak terbendung. Ia menangis terisak-isak. Melihat Lik Daryati menangis di hadapanku, tanpa sadar pipiku juga basah. Aku ikut menangis. Menangis dan menangis.

“Itulah sebabnya… biyungmu selalu menaburkan kembang-kembang di pelataran mal itu. Karena tempat itu dulunya adalah galengan sawah tempat mayat bapamu dan suamiku tergeletak mengenaskan. Sudah puluhan tahun lewat, tetapi biyungmu masih belum sepenuhnya ikhlas. Belum sepenuhnya legowo.”

Tangis Lik Daryati belum juga berhenti. Begitu pula tangisku. Aku masih tak menyangka cerita yang dikatakan Lik Daryati. Sesaat kupandangi wajah Biyung yang masih nyenyak, lantas kucium kening keriputnya dengan penuh ketulusan dan kesedihan yang meluap-luap.

Kini, aku sudah tahu mengapa Biyung selalu menaburkan bunga-bunga di pelataran mal itu setiap malam. Dan malam-malam selanjutnya, aku tak akan membiarkan Biyung menaburkan bunga-bunganya sendirian. Malam-malam selanjutnya, aku akan selalu menemani Biyung menaburkan bunga-bunganya. Aku akan selalu menaburkan bunga-bunga bersama Biyung, untuk mengenang kematian Bapa.

Purwokerto, Januari 2025