Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Agata Vera | Pagar di Laut Kami

Cerpen Agata Vera



 (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Ombak bergulung pelan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Langit jingga membentang luas, memantulkan warna keemasan di permukaan laut. Di atas perahu kayu yang mulai usang, Pak Agus duduk termenung. Tangannya menggenggam jala yang masih kering—tidak ada ikan hari ini. Sejak pagar laut dibangun, hidupnya semakin sulit.  


Lima tahun lalu, laut ini adalah berkah. Setiap pagi, Pak Agus dan nelayan lainnya bisa melaut tanpa rasa cemas. Ikan melimpah, anak-anak mereka bisa bersekolah, dan dapur selalu mengepul. Tapi semuanya berubah ketika sekelompok investor datang dengan proyek besar: pagar laut.  


Pagar besi raksasa berdiri kokoh beberapa mil dari garis pantai, membentang sejauh mata memandang. Katanya, pagar itu untuk konservasi dan pengelolaan laut yang lebih baik. Nyatanya, itu hanyalah pembatas yang menghalangi nelayan kecil seperti Pak Agus. Hanya mereka yang punya izin khusus—biasanya perusahaan besar—yang boleh melaut di dalamnya.  


Pak Agus mendesah panjang, lalu menatap sekeliling. Banyak perahu nelayan lain yang terombang-ambing di kejauhan, sama seperti dirinya, pulang dengan tangan kosong.  


Di sebuah warung kopi kecil di dekat dermaga, seorang perempuan muda dengan rambut sebahu sedang mencatat sesuatu di buku kecilnya. Namanya Alindya, seorang jurnalis dari kota yang datang ke desa ini karena laporan tentang nasib para nelayan.  


“Saya dengar, dulu tangkapan Pak Agus bisa lebih dari cukup?” tanya Alindya, menyeruput kopinya.  


Pak Agus mengangguk. “Dulu laut ini seperti surga. Ikan banyak, udang, kepiting, semua ada. Tapi sekarang? Semua diambil mereka yang punya uang. Kami hanya bisa menunggu di luar pagar, berharap ada ikan tersesat keluar.”  


Matanya menerawang ke arah laut, ke pagar besi yang kini tampak seperti bayangan gelap di kejauhan. “Bukan cuma ikan yang pergi, harapan kami juga,” lanjutnya.  


Alindya menekan bibirnya, berpikir keras. “Saya ingin menulis tentang ini, Pak. Biar lebih banyak orang tahu.”  


Pak Agus tersenyum tipis. “Semoga tulisanmu bisa membawa perubahan, Nak.”  


***  


Keesokan harinya, Alindya ikut Pak Agus ke laut. Perahu mereka bergerak pelan di atas ombak yang tenang. Saat mereka mendekati pagar besi, Alindya merasakan dadanya sesak. Begitu dekat, pagar itu tampak lebih mengerikan—tingginya hampir tiga meter, dengan kawat berduri di atasnya.  


“Lihat itu,” ujar Pak Agus, menunjuk beberapa kapal besar di balik pagar. “Mereka bebas menangkap ikan, pakai jaring besar. Sementara kami?”  


Alindya melihat beberapa nelayan lain mendayung perahunya mendekati pagar, berharap ada ikan yang tersangkut di sela-sela besi. Pemandangan itu membuat hatinya nyeri.  


Tiba-tiba, suara sirene terdengar. Sebuah kapal patroli mendekat. Seorang pria berseragam berdiri di haluan, berbicara dengan suara keras.  


“Kalian terlalu dekat dengan pagar! Menjauhlah!”  


Pak Agus mendengus. “Laut ini milik kita semua. Tapi sekarang mereka yang menguasainya.”  


Dengan hati-hati, Pak Agus membalikkan perahu, kembali ke arah pantai. Di belakang mereka, kapal patroli itu masih mengawasi.  


***  


Alindya menghabiskan beberapa hari di desa, berbicara dengan banyak nelayan. Kisah mereka sama: kehilangan mata pencaharian, utang menumpuk, anak-anak terpaksa putus sekolah.  


Malam itu, di kamarnya yang sederhana, Alindya menulis dengan penuh semangat. Ia ingin dunia tahu bahwa laut kini bukan lagi milik rakyat, tetapi segelintir orang yang berkuasa.  


Namun, keesokan harinya, saat ia hendak mengirimkan tulisannya ke redaksi, seorang pria asing mendatanginya.  


“Sebaiknya Anda tidak menulis hal-hal yang bisa membuat masalah,” katanya dengan nada datar.  


Alindya menatapnya tajam. “Apa maksud Anda?”  


Pria itu tersenyum tipis. “Beberapa hal lebih baik dibiarkan seperti adanya. Jangan mencampuri urusan orang-orang besar.”  


Alindya merasakan bulu kuduknya berdiri. Tapi ia tidak gentar. “Kebenaran harus disampaikan.”  


Pria itu hanya menggeleng dan pergi. Tapi Alindya tahu, ia telah memasuki medan yang berbahaya.  


***  


Hari berikutnya, Pak Agus datang dengan wajah cemas. “Alindya, ada yang merusak perahu nelayan tadi malam. Mereka ingin kita diam.”  


Alindya mengepalkan tangannya. Ia tahu ada yang tidak ingin kisah ini tersebar. Tapi ia juga tahu, semakin mereka berusaha membungkamnya, semakin besar tekadnya untuk bersuara.  


Hari berikutnya, masih pagi ketika Alindya melihat Pak Agus berdiri di depan rumah panggungnya yang menghadap laut. Wajah pria paruh baya itu tegang, kerutan di dahinya semakin dalam. Alindya menutup laptopnya dan bergegas menghampiri.  


“Siapa yang melakukannya, Pak?” tanyanya dengan suara tertahan amarah.  


Pak Agus menghela napas panjang. “Entahlah. Perahu milik Darman yang mereka rusak. Jaringnya dipotong, kayunya dicungkil. Seperti peringatan agar kita berhenti bicara soal pagar laut.” 


Barisan bambu dan tanaman bakau yang dipasang sebagai pelindung dari abrasi dan penangkapan ikan ilegal. Proyek nelayan ini adalah harapan bagi para nelayan kecil yang selama ini harus berjuang melawan arus laut dan kerakusan industri besar. Namun, ada yang merasa keberatan. Mereka mulai membuat pagar di laut untuk melindungi bisnis besar mereka, yang lebih memilih eksploitasi daripada laut biru yang berkelanjutan.  


Alindya mengepalkan tangannya. Semakin banyak tekanan yang mereka terima, semakin kuat tekadnya untuk menulis dan mengungkap kebenaran.  


“Kita tidak bisa tinggal diam, Pak. Saya akan menulis lebih banyak lagi. Saya akan kirim berita ini ke media nasional. Biar semua orang tahu apa yang terjadi di sini.”  


Pak Agus menggeleng. “Saya juga marah, Nak. Tapi kita harus hati-hati. Orang-orang ini bukan main-main.”  


Alindya tahu ancaman itu nyata. Beberapa hari lalu, ia menemukan ban motornya dikempesi. Sebelumnya, ada pesan tak dikenal yang memperingatkannya agar berhenti menulis soal pagar laut. Tapi ia tak bisa mundur sekarang.  



Malam yang Mencekam


Malam itu, Alindya duduk di teras rumah panggung Pak Agus bersama beberapa nelayan lain. Mereka membahas rencana penguatan tanaman bakau dan bagaimana melindungi perahu mereka dari serangan berikutnya.  


Tiba-tiba, suara mesin perahu terdengar dari kejauhan. Cahaya dari senter menari-nari di permukaan air.  


Pak Agus menyipitkan mata. “Itu bukan nelayan kita.”  


Alindya merasakan detak jantungnya meningkat. Perlahan, mereka merunduk dan mengamati dari celah-celah dinding kayu. Dua perahu besar bergerak mendekati area bakau.


“Mereka mau merusaknya,” bisik seorang nelayan dengan napas tertahan.  


Tanpa pikir panjang, Pak Agus mengambil senter dan mengarahkan cahayanya ke arah perahu itu. “Hei! Kalian mau apa?” 


Terdengar suara seseorang mengumpat. Salah satu perahu memutar arah, tapi yang satunya tetap mendekat. Tiba-tiba, suara sesuatu yang patah terdengar. Salah satu tiang penyangga bibit bibit bakau roboh.  


Alindya meraih ponselnya dan mulai merekam. “Kita harus punya bukti,” bisiknya.  


Seorang pria di atas perahu mengangkat sesuatu—sebuah balok kayu besar. Ia melemparkannya dengan keras. Derak kayu yang patah bercampur dengan suara ombak membuat dada Alindya semakin sesak.  


“Pak Agus, kita harus hentikan mereka!” 


Tapi sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, perahu-perahu itu berbalik arah dan melesat pergi ke kegelapan malam.  


Pak Agus menggeram. “Mereka ingin kita menyerah mereka mau adu domba. Tapi kita tidak akan mundur.”  



Melawan dengan Kata-kata


Pagi itu, Alindya duduk di depan laptopnya dengan mata yang masih merah akibat kurang tidur. Video yang ia rekam semalam masih terpampang di layar. Ia tahu ini adalah bukti penting.  


Tapi belum sempat ia mengunggahnya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.  


“Hentikan, atau konsekuensinya lebih besar.”


Tangannya mengepal. Ia bisa merasakan ancaman itu semakin nyata. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin yakin—ia harus segera menyebarkan berita ini.  


Dengan napas panjang, ia mulai mengetik:  


"Para nelayan di pesisir ini telah bertahun-tahun berjuang menjaga laut mereka. Mereka para pengusaha membangun pagar laut tapi tidak peduli pada ekosistem dan mata pencaharian nelayan. Ada pihak yang tidak suka ada yang berusaha adu domba. Ancaman, perusakan, dan teror menghantui perahu mereka. Semalam, bakau yang merupakan  proyek nelayan hendak dihancurkan oleh pihak tak dikenal. Kami memiliki bukti."


Ia melampirkan video, lalu mengirimkan artikelnya ke beberapa media nasional. Beberapa jam kemudian, ponselnya bergetar tanpa henti. Notifikasi masuk dari jurnalis lain, aktivis lingkungan, dan bahkan beberapa tokoh masyarakat yang ingin tahu lebih lanjut.  


Dengan penuh keyakinan pula, Alindya mengirimkan tulisannya ke banyak media. Beberapa hari kemudian, berita itu tersebar luas. Media nasional mulai meliput, aktivis turun ke jalan, dan desakan untuk membongkar pagar laut semakin kuat.  


Pak Agus tersenyum saat membaca berita itu. “Alindya, kamu benar-benar berani."


“Mereka pikir kita akan diam. Tapi semakin mereka menekan kita, semakin banyak orang yang akan tahu.” 


Hari itu, berita tentang pagar laut dan pengrsakan bakau menyebar luas. Para nelayan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Tekanan dari masyarakat mulai meningkat, mendesak aparat untuk bertindak.  


Malamnya, Pak Agus duduk di tepi pantai, menatap laut yang bergelombang lembut. Alindya duduk di sampingnya, menikmati udara asin yang membawa aroma keberanian.  


“Kamu tahu, Alindya?” suara Pak Agus tenang, “Laut ini sudah ada jauh sebelum kita lahir. Tapi kalau kita tidak menjaganya, anak cucu kita hanya akan mengenalnya lewat cerita.” 


Alindya menatap ke kejauhan, di mana pagar laut yang tersisa masih berdiri kokoh. “Dan saya akan terus menulis pak agar cerita mengenai berapa indahnya laut kita itu tidak berakhir.” 


Di kejauhan, cahaya bulan memantul di permukaan air, seolah mengamini janji mereka.


Di tepi pantai, Pak Agus menatap laut dengan harapan baru. Mungkin, suatu hari nanti, pagar itu akan runtuh. Mungkin, laut akan kembali menjadi milik mereka.