Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Agung Setia Nugraha | Terbungkam di Balik Pagar

Cerpen Agung Setia Nugraha



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Desa Tanjung Harapan, sebuah perkampungan nelayan yang berbaris rapi di sepanjang pantai selatan, telah menjadi saksi bisu betapa laut adalah jantung kehidupan mereka. Riak ombak yang memecah di bibir pantai, aroma garam yang menyengat, dan suara deburan ombak yang tiada henti, telah menjadi melodi kehidupan sehari-hari bagi para penduduknya. Namun, kedamaian itu terusik oleh sebuah fenomena yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya: pagar laut.


Pak Salim, seorang nelayan tua dengan kulit keriput yang hitam legam karena terbakar panasnya matahari, adalah salah satu dari sekian banyak penduduk desa yang merasa resah. Mata tajamnya yang biasa menangkap pergerakan ikan di kedalaman laut, kini menatap nanar ke arah garis hitam yang membentang di kejauhan. "Pagar laut," gumamnya, suaranya yang serak tertelan deru ombak laut yang menggebu. "Si-siapa yang berani merusak laut kita?!"


Pagar laut itu, sebuah struktur raksasa yang terbuat dari jaring-jaring tebal dan tiang-tiang besi yang ditancapkan ke dasar laut, dan kini benda itu telah mengubah segalanya. Perahu-perahu nelayan yang biasanya hilir mudik mencari ikan, kini terpaksa berlabuh di pantai. Ikan-ikan yang dulu berlimpah, kini sulit ditemukan, seolah-olah menghilang ditelan bumi.


Pak Salim membalikkan badannya, ia berjalan tergopoh-gopoh ke arah kerumunan orang yang juga sedang memandangi pagar laut yang ada di hadapan mereka, mereka juga adalah nelayan yang sangat terdampak dengan kehadiran pagar laut ini, sama seperti Pak Salim. Langkah Pak Salim terhuyung-huyung menunjukkan betapa dirinya sudah sangat tua dan tak sekuat dulu lagi, namun ia tak mau menyerah, Pak Salim ingin bersuara, menyuarakan keadilan baginya dan seluruh nelayan yang ada di desanya.


"Kita harus mencari tahu siapa yang memasang pagar ini! Kita harus menghukumnya!" teriak Pak Salim begitu dia sampai di kerumunan orang-orang itu, suaranya tegas dan lantang namun sarat kekhawatiran. Para nelayan "Ya, itu benar! Laut ini adalah warisan leluhur kita, sumber kehidupan kita. Kita tidak bisa membiarkan siapa pun merusaknya," sahut salah satu dari mereka.


……


Malam itu, rumah Pak Salim dipenuhi oleh para nelayan. Wajah-wajah yang biasanya ceria dan penuh harapan, kini tampak muram dan cemas. Mereka semua datang berkumpul untuk satu tujuan, menyelesaikan masalah pagar laut yang menghambat aktivitas mereka. Semua orang sama-sama berdiskusi, mencari cara untuk mengatasi masalah ini. Ada yang mengusulkan untuk melapor ke pemerintah, ada yang ingin langsung mendatangi pagar laut itu kemudian menghancurkannya hingga berkeping-keping, dan ada pula yang menyarankan untuk melakukan ritual adat.


Hingga beberapa waktu ketika semua usulan telah diberikan, tidak ada lagi yang berbicara. Semua orang tertunduk lesu, bingung, sedih, dan entah apalagi yang mereka semua sedang rasakan. Laut yang sudah menjadi lahan mereka mencari rezeki, harapan, dan kini…. 


"Kita harus bersatu," kata Pak Salim, memecah keheningan. "Kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa kita tidak akan menyerah begitu saja," lanjutnya berapi-api.


Keesokan harinya, para nelayan memutuskan untuk melaut bersama-sama. Mereka membentuk sebuah armada kecil, dengan perahu-perahu yang dihiasi bendera merah putih, simbol keberanian dan persatuan. Mereka berlayar menuju pagar laut itu, dengan tekad bulat untuk membela hak mereka.


Saat mereka mendekati pagar laut, mereka melihat sebuah kapal besar berlabuh di dekatnya. Kapal itu tampak mewah dan modern, sangat kontras dengan perahu-perahu sederhana milik para nelayan. Dari kapal itu, turun beberapa orang berpakaian seragam, membawa alat-alat berat. Orang-orang itu berjalan mendekat ke arah nelayan yang sudah bersiap ingin melaut.


"Kami dari perusahaan tambak udang 'Samudra Makmur'," kata seorang pria berbadan tegap, suaranya terdengar lantang dan berwibawa. "Kami memasang pagar ini untuk melindungi tambak kami. Kami memiliki izin resmi dari pemerintah," pria itu menatap angkuh para nelayan yang ada di hadapannya seakan bisa dengan mudah memusnahkan mereka kapan saja ia mau.


Para nelayan itu terkejut begitu mereka mendengar apa yang pria itu baru saja katakan. Tambak udang? Mereka tidak pernah mendengar tentang tambak udang di daerah ini. Mereka tahu, tambak udang membutuhkan lahan yang luas, dan itu berarti akan merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat ikan, dan mencemari air laut.


"Tapi, ini laut kami!" kata Pak Salim, suaranya bergetar menahan amarah. "Kalian tidak bisa seenaknya memasang pagar di sini. Kalian merampas hak kami, merusak mata pencaharian kami," dia sepontan memegangi kedua matanya, hampir saja Pak Salim meneteskan air mata, ia tak kuasa menahan amarahnya.


Perdebatan sengit pun terjadi. Para nelayan bersikeras menolak keberadaan pagar laut itu. Mereka menjelaskan betapa pentingnya laut bagi kehidupan mereka, bagaimana mereka telah hidup berdampingan dengan laut selama bergenerasi-generasi. Mereka juga menunjukkan bukti-bukti kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tambak udang.


Di sisi lain pihak perusahaan tambak udang berdalih bahwa mereka memiliki izin resmi dan bahwa mereka akan memberikan kompensasi kepada para nelayan. Mereka juga berjanji akan menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam operasional tambak mereka. 


Namun, para nelayan tidak percaya. Mereka tahu, janji-janji itu hanyalah omong kosong belaka. Mereka telah melihat sendiri bagaimana tambak udang menghancurkan lingkungan di daerah lain.


“Omong kosong, semua itu hanya omong konsong, hentikan semua kegilaan ini! Dan kembalikan laut kami seperti semula,” kata seorang pemuda di antara mereka. “Ya! Ya! Kembalikan laut kami seperti semula!” seru yang lain mengikuti.


"Kami tidak butuh kompensasi," kata Pak Salim tak mau kalah, suaranya lantang dan tegas. "Kami hanya ingin laut kami kembali. Kami ingin bisa melaut dengan bebas, mencari ikan untuk menghidupi keluarga kami."


Setelah berjam-jam berdebat, akhirnya pria itu menyadari bahwa dia tidak akan bisa mengalahkan tekad para nelayan. Dia tahu, para nelayan tidak akan menyerah sampai mereka mendapatkan kembali hak mereka.


Pria itu tak mau meneruskan perdebatan yang tak berkesudahan ini. "Baiklah," kata pria berbadan tegap itu, dia menghela napas panjang. "Kami akan membongkar pagar laut ini. Tapi, kami mohon pengertian kalian. Kami juga memiliki hak untuk berusaha."


Para nelayan bersorak gembira. Mereka memeluk satu sama lain, meluapkan rasa syukur dan kelegaan. Kemenangan ini adalah kemenangan mereka semua, kemenangan rakyat kecil melawan keserakahan korporasi. Termasuk Pak Salim, dia bahkan sampai sujud syukur begitu mendengar kabar baik yang baru saja didengarnya, segelimang air mata lepas begitu saja membasahi pipi keriputnya.


Pria itu beserta semua krunya kembali ke kapal. “Bos, apakah anda yakin dengan semua ini? Kita sudah menghabiskan miliaran untuk membangun pagar itu. Apakah anda yakin ingin membongkarnya begitu saja hanya untuk menyenangkan rakyat jelata itu?” bisik seorang perempuan yang merupakan asisten pribadi pengusaha itu.


Pria itu menyeringai begitu mendengarnya. “Membongkar? Nggak mungkin! Nggak akan! Nelayan-nelayan tolol itu nggak akan bisa ngancurin semua rencana brilianku.” ucapnya dengan nada angkuh. “Tapi anda sendiri yang tadi mengatakan akan membongkar pagar laut itu, jadi apakah semua itu bohong?” Pria itu tidak menjawabnya dan hanya berlalu pergi meninggalkan asistennya yang masih berdiri di belakangnya.


Di sisi lain para nelayan yang ada di desa sudah terlanjur merasa senang dan aman karena mereka pikir semua masalah yang ada sudah terselesaikan siang tadi. Mereka sama sekali tidak tau bahwa ini baru permulaan, pengusaha itu tak akan pernah memberikan laut yang telah ia ‘kuasai’ itu kepada mereka lagi. Para nelayan itu harus berjalan lebih jauh lagi jika mereka benar-benar ingin mendapatkan keadilan, jika mereka benar-benar ingin laut itu kembali ke tangan mereka.