Jamal terbangun pagi-pagi buta seperti biasa. Udara masih dingin, dan bau
laut yang asin menyelinap ke dalam hidungnya. Dengan setengah menguap, ia
berjalan ke perahunya yang sudah menunggu di pinggir pantai. Hari ini harus
jadi hari yang baik, ikan di pasar sedang mahal, dan istrinya sudah mulai
mengancam kalau dia pulang tanpa hasil tangkapan yang cukup.
Namun, begitu perahunya mulai melaju ke tengah laut, Jamal mengerutkan dahi.
Ada sesuatu yang aneh. Dari kejauhan, terlihat deretan bambu tinggi berdiri
tegak di atas air, seperti pagar yang membentang luas.
"Astagfirullah, ini apa lagi?" gumamnya, menepuk-nepuk pipinya
sendiri, memastikan dirinya tidak sedang bermimpi buruk.
Jamal mencoba mendekat, tapi jalannya terhalang oleh bambu-bambu yang
ditancapkan dengan rapi. Pagar itu seperti tembok raksasa yang membelah laut,
seolah Tuhan mendadak mengubah konsep kepemilikan laut tanpa memberi pengumuman
terlebih dahulu.
Tidak butuh waktu lama, para nelayan lain berdatangan, wajah mereka
dipenuhi kebingungan yang sama. Pak RT, yang biasanya tenang menghadapi apapun,
kali ini hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya sampai hampir botak.
"Saya ini RT, bukan penjaga laut! Mana saya tahu ini punya
siapa?" katanya, ketika beberapa warga mulai menginterogasinya.
Ketua RW datang dengan senyum santai. Alih-alih mencari solusi, ia justru
sibuk berswafoto dengan pagar laut tersebut. "Biar viral dulu, nanti pasti
ada yang peduli!" katanya riang, sebelum mengunggah fotonya ke media
sosial dengan caption: "Pagar Laut: Solusi atau Masalah?"
Kehebohan semakin menjadi-jadi ketika seorang pria berbaju safari muncul
dari balik pagar itu. Tangannya bertolak pinggang, wajahnya penuh wibawa
(setidaknya menurut dirinya sendiri). Dengan suara lantang, ia berkata,
"Laut ini sudah ada yang punya. Kalau mau lewat, bayar
retribusi!"
Jamal hampir tersedak ludahnya sendiri. "Laut ada yang punya? Sejak
kapan? Ini warisan nenek moyang kami!" protesnya.
Pria itu menghela napas, lalu mengeluarkan selembar kertas dari sakunya,
dengan cap yang terlihat lebih meyakinkan dari isi dokumennya. "Sudah sah!
Ada izinnya! Laut ini sudah disewakan kepada investor besar!"
Jamal ingin tertawa. Seumur hidupnya, ia tidak pernah membayangkan bahwa
air laut yang mengalir bebas ini bisa dipagari, seperti tanah pekarangan orang
kaya. "Investor apaan? Mau bikin apa di sini?" tanyanya curiga.
Pria itu tersenyum, lalu berbisik pelan, "Bisnis. Yang kamu tidak
perlu tahu."
Mata Jamal membelalak. Sesuatu terasa tidak beres. Tapi ia sadar, melawan
orang-orang yang punya kekuasaan lebih besar adalah urusan panjang. Untuk
sementara, ia dan nelayan lain hanya bisa menatap pagar laut itu dengan kesal,
sambil bertanya-tanya: sejak kapan lautan berubah menjadi properti pribadi?
Jamal dan para nelayan lainnya tidak bisa tinggal diam. Mereka berkumpul di
warung kopi Pak Ujang, yang seolah telah berubah menjadi markas besar
investigasi rakyat. Di atas meja, bukan hanya ada kopi dan pisang goreng,
tetapi juga selembar kertas lusuh berisi sketsa pagar laut hasil coretan Pak RT
yang akhirnya punya pekerjaan lain selain menggaruk kepala.
"Jadi begini," kata Pak Ujang, menyeruput kopinya dengan gaya
detektif kelas teri. "Kita harus cari tahu siapa dalang di balik pagar
laut ini. Kalau perlu, kita adukan ke pemerintah!"
"Masalahnya, pemerintah mana yang mau denger?" keluh Jamal.
"Kalau pejabat datang, paling-paling cuma senyum, foto-foto, terus
pulang!"
Tapi karena tak ada pilihan lain, mereka akhirnya pergi ke kantor desa.
Sampai di sana, mereka disambut oleh seorang staf yang lebih sibuk dengan
ponselnya daripada rakyat yang datang mengadu.
"Pagar laut?" tanyanya sambil mengunyah gorengan. "Oh,
mungkin itu proyek strategis nasional."
"Strategis gimana? Kami jadi nggak bisa melaut!" bentak Pak RT.
"Begini, Pak, kalau Bapak mau lapor, silakan isi formulir dulu. Nanti
kami tindak lanjuti… kalau sempat."
Pak Ujang hampir melempar kursinya, tetapi Jamal menahannya. "Sudah,
kita cari tahu sendiri," bisiknya.
Sementara itu, berita tentang pagar laut semakin ramai di media sosial,
berkat foto Ketua RW yang viral. Beberapa hari kemudian, seperti yang sudah
diduga, datanglah rombongan pejabat dari kabupaten. Mereka turun dari mobil
mewah, mengenakan batik mahal, dan tersenyum lebar seperti sedang menghadiri
pesta pernikahan, bukan sidak masalah rakyat.
"Kami sudah mendengar keluhan warga," kata salah satu pejabat
dengan nada penuh empati palsu. "Kami akan melakukan investigasi
menyeluruh!"
Para nelayan bersorak. Akhirnya ada harapan!
Namun, harapan itu menguap seperti uap kopi di warung Pak Ujang ketika
mereka melihat pejabat itu berbisik-bisik dengan seorang pria berkacamata hitam
yang mencurigakan. Pria itu tidak lain adalah orang yang sebelumnya mengaku
sebagai "pengelola" pagar laut.
Setelah berbincang sebentar, pejabat itu kembali ke hadapan warga.
"Baiklah, setelah pertimbangan matang, kami akan membentuk Tim
Kajian Pagar Laut Nasional yang akan bekerja selama lima tahun untuk
meneliti apakah laut boleh dipagar atau tidak."
Lima tahun? Para nelayan langsung gaduh. Bagaimana mereka bisa bertahan
selama itu?
"Lima tahun? Kami bisa mati kelaparan sebelum tim kajian kalian
selesai!" seru Jamal.
Namun, pejabat hanya tersenyum tenang. "Sabar, Pak. Semua butuh
proses. Lagi pula, kami akan memberikan bantuan sosial… asalkan datanya valid
dan sudah diverifikasi oleh pihak berwenang."
Jamal menatap nelayan lain dengan wajah masam. Semua sudah jelas. Pagar
laut bukan sekadar masalah bambu yang berdiri di air, tetapi juga soal uang,
kekuasaan, dan mereka yang ingin mengambil hak rakyat tanpa rasa malu.
Mereka tahu, kalau menunggu pejabat, mereka hanya akan semakin terpojok.
Jamal mengepalkan tangannya. "Kalau pemerintah nggak bisa bantu, kita
harus bertindak sendiri!"
Kemudian pada malam harinya, dibawah langit yang gelap tapi penuh bintang,
para nelayan berkumpul di tepi pantai. Wajah mereka penuh tekad, tangan mereka
menggenggam alat seadanya seperti parang tumpul, gergaji karatan, bahkan
beberapa hanya membawa semangat dan doa.
"Kita bukan pencuri, kita cuma mau ambil kembali hak kita!" seru
Jamal.
Pak Ujang mengangguk, wajahnya lebih serius dari biasanya. "Kalau
mereka bisa bangun tanpa izin kita, kita juga bisa bongkar tanpa izin
mereka!"
Dengan perahu kecil, mereka mendayung ke pagar laut itu. Ombak malam
tenang, seakan mengerti bahwa malam ini adalah malam perjuangan. Begitu sampai,
mereka mulai mencabut bambu satu per satu.
Awalnya berjalan mulus, sampai tiba-tiba...
"Wee ooo! Wee ooo!"
Sebuah kapal patroli mendekat. Dari atas, seorang pria berkacamata hitam
yang mereka kenal sebagai orangnya pejabat berbicara melalui megafon.
"Kalian pikir ini laut nenek moyang kalian?! Ini investasi! Jangan
ganggu proyek besar!"
Jamal tertawa sinis. "Investasi apaan? Ini cuma pagar bambu yang bikin
kami kelaparan!"
Ketegangan meningkat. Para penjaga bersenjata pentungan siap turun,
sementara nelayan menggenggam alat seadanya. Tapi sebelum bentrokan terjadi...
DUAR!!
Sebuah suara gemuruh terdengar. Semua menoleh. Ternyata, ombak besar datang
menghantam pagar laut. Bambu-bambu itu berderak, roboh satu per satu, terhempas
ke laut seperti batang kayu tak berguna.
Para nelayan bersorak—bahkan laut pun tidak merestui pagar itu!
Para petugas keamanan panik, berusaha menahan pagar yang jatuh, tapi
sia-sia. Laut mengambil kembali haknya. Dalam hitungan menit, pagar yang
katanya "proyek besar" itu hanyut entah ke mana.
Jamal menatap pria berkacamata hitam itu dan berkata dengan nada mengejek,
"Lihat? Laut saja menolak investasi kalian."
Beberapa hari kemudian, proyek pagar laut resmi gagal total. Investor
kabur, pejabat menghilang, dan para nelayan kembali bisa melaut seperti dulu.
Di warung kopi Pak Ujang, mereka merayakan kemenangan. Kopi terasa lebih
nikmat, pisang goreng lebih renyah.
"Laut kembali jadi milik kita," kata Pak Ujang.
Jamal tersenyum, tapi matanya tajam. "Iya, untuk sekarang. Sampai
mereka datang lagi dengan akal bulus baru."
Pak Ujang mendesah. "Kalau gitu?"
Jamal mengangkat cangkir kopinya. "Ya kita hancurkan lagi!"
Sorak sorai meledak. Laut mungkin selalu tenang, tapi nelayan tidak akan
tinggal diam.
Biodata Penulis
Agung Wicaksono, S.H., adalah seorang advokat yang memiliki dedikasi tinggi
dalam bidang hukum. Lahir dan besar di Indonesia, ia memulai kariernya di dunia
hukum setelah menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Mulawarman
Samarinda dan saat ini sedang menempuh program Magister Hukum di Universitas
Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda. Sebagai seorang advokat, ia
fokus dalam memberikan layanan hukum yang berkualitas, terutama di bidang
keluarga dan litigasi. Selain profesinya sebagai advokat, ia juga dikenal
sebagai penulis yang aktif. Hobi menulisnya mencakup berbagai topik, mulai dari
hukum hingga isu sosial dan budaya, yang sering kali ia tuangkan dalam bentuk
artikel, esai, dan opini. Ia percaya bahwa menulis adalah cara untuk berbagi
pengetahuan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Nomor whatsapp: Agung Wicaksono 082151806687