Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Agung Wicaksono | Kerangkeng Bambu Laut

 

 

Jamal terbangun pagi-pagi buta seperti biasa. Udara masih dingin, dan bau laut yang asin menyelinap ke dalam hidungnya. Dengan setengah menguap, ia berjalan ke perahunya yang sudah menunggu di pinggir pantai. Hari ini harus jadi hari yang baik, ikan di pasar sedang mahal, dan istrinya sudah mulai mengancam kalau dia pulang tanpa hasil tangkapan yang cukup.

Namun, begitu perahunya mulai melaju ke tengah laut, Jamal mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang aneh. Dari kejauhan, terlihat deretan bambu tinggi berdiri tegak di atas air, seperti pagar yang membentang luas.

"Astagfirullah, ini apa lagi?" gumamnya, menepuk-nepuk pipinya sendiri, memastikan dirinya tidak sedang bermimpi buruk.

Jamal mencoba mendekat, tapi jalannya terhalang oleh bambu-bambu yang ditancapkan dengan rapi. Pagar itu seperti tembok raksasa yang membelah laut, seolah Tuhan mendadak mengubah konsep kepemilikan laut tanpa memberi pengumuman terlebih dahulu.

Tidak butuh waktu lama, para nelayan lain berdatangan, wajah mereka dipenuhi kebingungan yang sama. Pak RT, yang biasanya tenang menghadapi apapun, kali ini hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya sampai hampir botak.

"Saya ini RT, bukan penjaga laut! Mana saya tahu ini punya siapa?" katanya, ketika beberapa warga mulai menginterogasinya.

Ketua RW datang dengan senyum santai. Alih-alih mencari solusi, ia justru sibuk berswafoto dengan pagar laut tersebut. "Biar viral dulu, nanti pasti ada yang peduli!" katanya riang, sebelum mengunggah fotonya ke media sosial dengan caption: "Pagar Laut: Solusi atau Masalah?"

Kehebohan semakin menjadi-jadi ketika seorang pria berbaju safari muncul dari balik pagar itu. Tangannya bertolak pinggang, wajahnya penuh wibawa (setidaknya menurut dirinya sendiri). Dengan suara lantang, ia berkata,

"Laut ini sudah ada yang punya. Kalau mau lewat, bayar retribusi!"

Jamal hampir tersedak ludahnya sendiri. "Laut ada yang punya? Sejak kapan? Ini warisan nenek moyang kami!" protesnya.

Pria itu menghela napas, lalu mengeluarkan selembar kertas dari sakunya, dengan cap yang terlihat lebih meyakinkan dari isi dokumennya. "Sudah sah! Ada izinnya! Laut ini sudah disewakan kepada investor besar!"

Jamal ingin tertawa. Seumur hidupnya, ia tidak pernah membayangkan bahwa air laut yang mengalir bebas ini bisa dipagari, seperti tanah pekarangan orang kaya. "Investor apaan? Mau bikin apa di sini?" tanyanya curiga.

Pria itu tersenyum, lalu berbisik pelan, "Bisnis. Yang kamu tidak perlu tahu."

Mata Jamal membelalak. Sesuatu terasa tidak beres. Tapi ia sadar, melawan orang-orang yang punya kekuasaan lebih besar adalah urusan panjang. Untuk sementara, ia dan nelayan lain hanya bisa menatap pagar laut itu dengan kesal, sambil bertanya-tanya: sejak kapan lautan berubah menjadi properti pribadi?

Jamal dan para nelayan lainnya tidak bisa tinggal diam. Mereka berkumpul di warung kopi Pak Ujang, yang seolah telah berubah menjadi markas besar investigasi rakyat. Di atas meja, bukan hanya ada kopi dan pisang goreng, tetapi juga selembar kertas lusuh berisi sketsa pagar laut hasil coretan Pak RT yang akhirnya punya pekerjaan lain selain menggaruk kepala.

"Jadi begini," kata Pak Ujang, menyeruput kopinya dengan gaya detektif kelas teri. "Kita harus cari tahu siapa dalang di balik pagar laut ini. Kalau perlu, kita adukan ke pemerintah!"

"Masalahnya, pemerintah mana yang mau denger?" keluh Jamal. "Kalau pejabat datang, paling-paling cuma senyum, foto-foto, terus pulang!"

Tapi karena tak ada pilihan lain, mereka akhirnya pergi ke kantor desa. Sampai di sana, mereka disambut oleh seorang staf yang lebih sibuk dengan ponselnya daripada rakyat yang datang mengadu.

"Pagar laut?" tanyanya sambil mengunyah gorengan. "Oh, mungkin itu proyek strategis nasional."

"Strategis gimana? Kami jadi nggak bisa melaut!" bentak Pak RT.

"Begini, Pak, kalau Bapak mau lapor, silakan isi formulir dulu. Nanti kami tindak lanjuti… kalau sempat."

Pak Ujang hampir melempar kursinya, tetapi Jamal menahannya. "Sudah, kita cari tahu sendiri," bisiknya.

Sementara itu, berita tentang pagar laut semakin ramai di media sosial, berkat foto Ketua RW yang viral. Beberapa hari kemudian, seperti yang sudah diduga, datanglah rombongan pejabat dari kabupaten. Mereka turun dari mobil mewah, mengenakan batik mahal, dan tersenyum lebar seperti sedang menghadiri pesta pernikahan, bukan sidak masalah rakyat.

"Kami sudah mendengar keluhan warga," kata salah satu pejabat dengan nada penuh empati palsu. "Kami akan melakukan investigasi menyeluruh!"

Para nelayan bersorak. Akhirnya ada harapan!

Namun, harapan itu menguap seperti uap kopi di warung Pak Ujang ketika mereka melihat pejabat itu berbisik-bisik dengan seorang pria berkacamata hitam yang mencurigakan. Pria itu tidak lain adalah orang yang sebelumnya mengaku sebagai "pengelola" pagar laut.

Setelah berbincang sebentar, pejabat itu kembali ke hadapan warga.       

"Baiklah, setelah pertimbangan matang, kami akan membentuk Tim Kajian Pagar Laut Nasional yang akan bekerja selama lima tahun untuk meneliti apakah laut boleh dipagar atau tidak."

Lima tahun? Para nelayan langsung gaduh. Bagaimana mereka bisa bertahan selama itu?

"Lima tahun? Kami bisa mati kelaparan sebelum tim kajian kalian selesai!" seru Jamal.

Namun, pejabat hanya tersenyum tenang. "Sabar, Pak. Semua butuh proses. Lagi pula, kami akan memberikan bantuan sosial… asalkan datanya valid dan sudah diverifikasi oleh pihak berwenang."

Jamal menatap nelayan lain dengan wajah masam. Semua sudah jelas. Pagar laut bukan sekadar masalah bambu yang berdiri di air, tetapi juga soal uang, kekuasaan, dan mereka yang ingin mengambil hak rakyat tanpa rasa malu.

Mereka tahu, kalau menunggu pejabat, mereka hanya akan semakin terpojok.

Jamal mengepalkan tangannya. "Kalau pemerintah nggak bisa bantu, kita harus bertindak sendiri!"

Kemudian pada malam harinya, dibawah langit yang gelap tapi penuh bintang, para nelayan berkumpul di tepi pantai. Wajah mereka penuh tekad, tangan mereka menggenggam alat seadanya seperti parang tumpul, gergaji karatan, bahkan beberapa hanya membawa semangat dan doa.

"Kita bukan pencuri, kita cuma mau ambil kembali hak kita!" seru Jamal.

Pak Ujang mengangguk, wajahnya lebih serius dari biasanya. "Kalau mereka bisa bangun tanpa izin kita, kita juga bisa bongkar tanpa izin mereka!"

Dengan perahu kecil, mereka mendayung ke pagar laut itu. Ombak malam tenang, seakan mengerti bahwa malam ini adalah malam perjuangan. Begitu sampai, mereka mulai mencabut bambu satu per satu.

Awalnya berjalan mulus, sampai tiba-tiba...

"Wee ooo! Wee ooo!"

Sebuah kapal patroli mendekat. Dari atas, seorang pria berkacamata hitam yang mereka kenal sebagai orangnya pejabat berbicara melalui megafon.

"Kalian pikir ini laut nenek moyang kalian?! Ini investasi! Jangan ganggu proyek besar!"

Jamal tertawa sinis. "Investasi apaan? Ini cuma pagar bambu yang bikin kami kelaparan!"

Ketegangan meningkat. Para penjaga bersenjata pentungan siap turun, sementara nelayan menggenggam alat seadanya. Tapi sebelum bentrokan terjadi...

DUAR!!

Sebuah suara gemuruh terdengar. Semua menoleh. Ternyata, ombak besar datang menghantam pagar laut. Bambu-bambu itu berderak, roboh satu per satu, terhempas ke laut seperti batang kayu tak berguna.

Para nelayan bersorak—bahkan laut pun tidak merestui pagar itu!

Para petugas keamanan panik, berusaha menahan pagar yang jatuh, tapi sia-sia. Laut mengambil kembali haknya. Dalam hitungan menit, pagar yang katanya "proyek besar" itu hanyut entah ke mana.

Jamal menatap pria berkacamata hitam itu dan berkata dengan nada mengejek, "Lihat? Laut saja menolak investasi kalian."

Beberapa hari kemudian, proyek pagar laut resmi gagal total. Investor kabur, pejabat menghilang, dan para nelayan kembali bisa melaut seperti dulu.

Di warung kopi Pak Ujang, mereka merayakan kemenangan. Kopi terasa lebih nikmat, pisang goreng lebih renyah.

"Laut kembali jadi milik kita," kata Pak Ujang.

Jamal tersenyum, tapi matanya tajam. "Iya, untuk sekarang. Sampai mereka datang lagi dengan akal bulus baru."

Pak Ujang mendesah. "Kalau gitu?"

Jamal mengangkat cangkir kopinya. "Ya kita hancurkan lagi!"

Sorak sorai meledak. Laut mungkin selalu tenang, tapi nelayan tidak akan tinggal diam.

 

Biodata Penulis

Agung Wicaksono, S.H., adalah seorang advokat yang memiliki dedikasi tinggi dalam bidang hukum. Lahir dan besar di Indonesia, ia memulai kariernya di dunia hukum setelah menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Mulawarman Samarinda dan saat ini sedang menempuh program Magister Hukum di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda. Sebagai seorang advokat, ia fokus dalam memberikan layanan hukum yang berkualitas, terutama di bidang keluarga dan litigasi. Selain profesinya sebagai advokat, ia juga dikenal sebagai penulis yang aktif. Hobi menulisnya mencakup berbagai topik, mulai dari hukum hingga isu sosial dan budaya, yang sering kali ia tuangkan dalam bentuk artikel, esai, dan opini. Ia percaya bahwa menulis adalah cara untuk berbagi pengetahuan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.

Nomor whatsapp: Agung Wicaksono 082151806687