Cerpen Ahmad Wahyudi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
On Air. Tulisan neon hijau itu menyala di ruang siaran yang sempit. Cahaya samar memantul di dinding-dinding yang catnya mulai terkelupas.
"Selamat sore semua." Suaranya mengudara, memenuhi gelombang radio yang menghubungkannya dengan entah siapa di luar sana. "Di sini Rinai, yang akan menyampaikan aspirasi masyarakat tentang pagar laut di pesisir Tangerang."
Di balik kaca ruang siaran, Rinai menggenggam mikrofon erat-erat. Tatapannya tajam ke arah lembaran catatan di meja, tetapi pikirannya melayang lebih jauh—ke pantai, ke suara-suara yang ditelan gelombang, ke wajah-wajah yang tertutup debu ketidakadilan.
"Pagar laut semakin mengekang kita," lanjutnya. "Ekosistem terganggu, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan tindak lanjut dari pihak berwenang masih sekadar janji yang terus ditunggu."
Peluh mulai menggenang di pelipisnya, tetapi ia menarik napas panjang, menenangkan detak jantung yang sedikit berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia menekan tombol rekaman, dan suara-suara yang ia rekam dengan payah selama beberapa hari yang lalu mulai mengalir dari kaset.
"Pagar laut ini sangat menyiksa kami!"
"Apa maksudnya pelestarian kalau ternyata malah merusak lingkungan?"
"Tidak ada manfaatnya, Mbak. Sama sekali tidak ada bagi kami!"
Lalu suara seorang pria yang serak dan berat menggema:
"Saya melihat sekitar tiga perahu kecil, dengan tujuh sampai sepuluh orang di dalamnya. Mereka mengangkat bilah-bilah bambu, menancapkannya di laut, satu demi satu."
Rinai mendengarkan dengan seksama, meski ia sudah hafal setiap keluhan, setiap intonasi kemarahan dan keputusasaan dalam rekaman itu. Ia menyentuh kaset terakhir, yang berisi pertanyaan pamungkas. Dengan jemarinya yang sedikit bergetar, ia menekan tombol. "Menurut Anda, apakah perkembangan penyelidikan yang dilakukan pihak berwenang sudah cukup menjawab aspirasi masyarakat?"
Sebuah jeda. Lalu suara pria paruh baya terdengar, suaranya penuh beban, terdengar begitu berat. "Pertanyaan terus dilempar, bukti terus dikumpulkan, tetapi tak sedikit pun kebenaran terkuak. Berbulan-bulan kami menunggu!"
Detik bergulir menjadi menit. Hingga di sudut ruangan, jam dinding berdecit pelan saat jarumnya melengkapi satu putaran penuh. Lampu neon hijau perlahan meredup, memadamkan berkas cahaya yang semula berpendar di dinding. Rinai menghela napas, merapikan kaset-kasetnya, memasukkannya ke dalam tas, lalu beranjak keluar dari ruang kaca siaran.
Langkahnya terhenti. Kantor radio yang biasanya dipenuhi lalu-lalang teknisi dan staf kini sunyi. Terlampau sunyi. Lampu-lampu di koridor berkedip pelan. Lalu, dari meja di sudut ruangan, radio tua yang sebelumnya diam mendadak menyala. Bunyi berderik keluar, statis mengisi udara, sebelum sebuah suara terdengar—suara yang sangat familiar di telinga Rinai. Dahinya mengernyit heran, telinganya berusaha mendengar dengan seksama.
"Selamat sore semua. Di sini Rinai, yang akan menyampaikan aspirasi masyarakat tentang pagar laut di pesisir Tangerang." Jantung Rinai seakan berhenti berdetak. Itu suaranya sendiri yang keluar dari radio. "Akan kami sampaikan dengan lantang, aspirasi, keluh kesah, juga kesaksian masyarakat," suara itu melanjutkan.
Lalu kemudian, radio menjadi hening. Tak ada lagi suara. Hanya ada Rinai, berdiri membeku, sementara udara di sekelilingnya terasa semakin sunyi. Tenggorokannya terasa kering. Jemarinya mencengkram tali tas di bahunya, seolah itu satu-satunya hal yang nyata di ruangan ini.
Di luar jendela kantor radio, langit kelabu menggantung rendah, tetapi tidak ada angin, tidak ada suara kendaraan, tidak ada riuh manusia. Semuanya mati. Dada Rinai terasa sesak. Napasnya tercekat. Lalu—
Tit. Tit. Tit.
Suara itu menyeruak dari kejauhan, kecil, lalu semakin nyaring.
Tit. Tit. Tit.
Seperti detak waktu yang dipercepat, memukul-mukul pikiran Rinai.
Tit. Tit. Tit.
Braaak! Rinai terbangun dengan napas memburu. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang putih. Kipas angin di atasnya berputar lambat, nyaris malas. Cahaya pagi menyelinap dari sela-sela gorden, mewarnai dinding dengan kilau jingga. Di sampingnya, alarm masih berbunyi nyaring.
Tit. Tit. Tit.
Suara itu nyata. Kamar ini nyata. Tangannya terangkat, menyeka keringat dingin di pelipis. Dadanya naik turun, mencoba mengatur napas yang masih berantakan.
Hanya… mimpi. Ia lantas mengintip jam yang tertera di jam itu. 04.00. Ia harus melakukan siaran beberapa jam lagi. Rinai menarik napas panjang, pikirannya penuh dengan tanda tanya. Kepalanya semakin pusing, sebab mimpi barusan terasa benar-benar nyata.
•
Tengah hari hampir tiba, stasiun radio terasa panas hari ini. Matahari menyengat di luar sana, dengan angin semilir yang membawa bau asin dari laut. Rinai, wanita dua puluh tahunan itu teguh melawan cuaca. Dengan butir keringat yang bercucuran di dahinya, ia turun dari angkot dan segera masuk ke stasiun radio.
"Permisi, saya Rinai. Janji siaran radio pukul sebelas," ucapnya dengan mantap pada mas-mas gondrong di balik meja. Entah suaranya yang kurang keras, atau memang tidak diperhatikan, si mas gondrong itu tidak mempedulikan dan diam tidak menjawab. "Halo, permisi," Rinai menimpal, setengah marah.
Si mas gondrong itu pun mendongak dengan wajah murung yang tidak mengenakkan, mulutnya berdecih pelan sebelum akhirnya menjawab singkat. "Kalau udah ada janji, langsung aja temui pimpinan," ucapnya dengan nada berat. Ia kembali menunduk, entah melanjutkan mengerjakan apa di komputernya.
Rinai hanya mendesah pelan mendengarnya, semua orang di stasiun radio ini sama sekali tidak ada niatan perubahan—selalu judes seperti biasa. Rinai tak ambil pusing, ia lantas segera berjalan menuju ruang pimpinan. Suara sepatu Rinai tenggelam oleh suara langkah teknisi dan staf di lorong. Setengah sebelas siang, jam sibuk di stasiun Radio.
Sampai di depan pintu ruangan yang bertuliskan 'pimpinan', Rinai berhenti. Entah kenapa tangannya terasa berat ingin mengetuknya. Bagaimana kalau pimpinannya tidak kalah judes dengan mas-mas gondrong tadi? Bagaimana kalau semua rekaman yang dikumpulkan Rinai untuk mengusut kasus pagar laut ini tidak diterima dengan baik?
Rinai menggelengkan kepalanya, mengabaikan skenario-skenario buruk yang terlintas di pikirannya, ia lalu mengetuk pintu dengan mantap. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, sangat sia-sia kalau waktu ini dibuang untuk mengkhawatirkan hal yang belum pasti. "Masuklah," ucap seorang pria dari dalam ruangan.
Rinai membuka pintu, lalu masuk dengan percaya diri. Segera ia duduk menghadap sang pimpinan, hendak memperkenalkan diri, "Izin memperkenalkan diri, saya Rinai, Pak. Saya kemari untuk meminta izin menyiarkan secara langsung aspirasi masyarakat tentang isu 'pagar laut' dari hasil wawancara saya," ucap Rinai.
"Hm, menarik sekali, bisakah kamu jelaskan apa tujuan yang kamu harapkan dari siaran itu?"
Rinai menelan ludah. Ia menarik napas panjang lewat hidung, berusaha mengusir rasa gugup yang menyelimuti hatinya. Mulutnya mulai terbuka hendak menceritakan seribu alasan di kepalanya, "Tujuan saya tidak lain adalah menjembatani antara aspirasi masyarakat dengan pihak luar, Pak. Masyarakat memiliki hak paten untuk bersuara, dan semua orang harus mendengarnya," hanya segelintir, tapi ini cukup. Dapat mencurahkan tujuannya dan isi hati, Rinai sudah sangat bersyukur.
Sang pria paruh baya tersebut menyender ke kursinya, senyum tipis terukir di ujung bibirnya. "Kau tahu, masyarakat diluar sana pasti tertarik dengan siaran ini. Aspirasi masyarakat, sungguh topik hangat yang sangat memikat,"
Rinai tersenyum, ia sangat senang mendengarnya. Lampu hijau untuknya, sebentar lagi rekaman-rekaman hasil kerja keras wawancara yang ia lakukan akan diputar di saluran radio. Membayangkan bagaimana aspirasi masyarakat diterima dengan baik, sudah cukup untuk membuat hatinya berbunga-bunga.
•
"Pagar laut semakin mengekang kita. Ekosistem terganggu, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan tindak lanjut dari pihak berwenang masih sekadar janji yang terus ditunggu."
"Pagar laut semakin mengekang kita. Ekosistem terganggu, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan tindak lanjut dari pihak berwenang masih sekadar janji yang terus ditunggu."
"Pagar laut semakin mengekang kita. Ekosistem terganggu, nelayan ke-"
Entah berapa kali sudah, rekaman itu diputar Rinai berulang-ulang. Sebuah kebanggaan, tapi sialnya kini berselimut kesedihan. Disinilah Rinai sekarang, di dalam kamar meratapi rekaman hasil wawancara yang ia lakukan. Semua rekaman itu harusnya diputar di stasiun radio, bukannya di kamarnya sendiri. Ia memeluk lutut, melempar kaset rekaman ke sembarang tempat. "Dasar, pimpinan sialan!" Rinai berbisik sambil menahan isak tangis.
•
"Kau tahu, masyarakat diluar sana pasti tertarik dengan siaran ini. Aspirasi masyarakat, sungguh topik hangat yang sangat memikat,"
"Tapi, tahukah kau bahwa ini tidak mungkin di siarkan di radio?" sang pria bertanya dengan nada yang diubah di ujung kalimatnya.
Senyum Rinai langsung luntur seketika, dahinya mengernyit heran. "Maaf, apa maksudnya, Pak?" ia bertanya dengan nada ragu.
"Begini, aspirasi masyarakat ini topik yang sensitif sekarang, kebanyakan masyarakat telah tertelan oleh isu. Kebanyakan argumen mereka tidak relevan untuk didengar orang banyak,"
Rinai sontak terkejut mendengarnya, "Tanpa mengurangi rasa hormat, Pak. Saya harus membantah hal tersebut, bagaimana bisa aspirasi masyarakat tidak relevan. Mereka adalah korban nyata, merekalah yang mengalami peristiwa nyata di depan mata!" ucap Rinai sambil menyembunyikan ketakutannya.
"Saya setuju. Tapi, kita semua tahu bahwa lebih baik tidak memercik api agar tidak terjadi kebakaran," ucap sang pria sambil membenarkan posisi duduknya. "Oleh karena itu, lebih baik semua rekaman ini dihapus saja" lanjutnya.
•
Tuhan, dari sekian banyaknya mimpi, kenapa engkau harus mengabulkan mimpiku pagi ini, batin Rinai. Radio yang tidak bersuara, bukan karena rusak atau sebagainya. Tapi karena memang tidak diizinkan untuk disiarkan.
Hancur sudah kerja keras Rinai selama ini, rekaman hasil jerih payahnya melakukan wawancara, kini tidak ada harganya. Diusapnya pipi menggunakan punggung tangan. Dalam sisa-sisa keputusasaan yang dimiliki, Rinai meraih kotak rekaman di atas meja, hendak memutarnya untuk terakhir kali.
Tombol ditekan, dan rekaman mulai menyala, menyalurkan suara dalam udara yang mulai terasa hampa, "Pagar laut semakin mengekang kita. Ekosistem terganggu, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan tindak lanjut dari pihak berwenang masih sekadar janji yang terus ditunggu."
"Serta suara-suara, yang entah sampai kapan tidak diizinkan untuk berlabuh," lanjutnya berbisik, pada diri sendiri.