Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Ahmadi Ismail | Pagar Laut dan Mimpi Si Kecil

Cerpen Ahmadi Ismail 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di sebuah desa kecil di pesisir pantai, hidup seorang anak laki-laki bernama Ardi. Usianya baru 12 tahun, tapi pikirannya sering melayang jauh seperti ombak yang tak pernah berhenti bergerak. Ardi tinggal bersama neneknya, seorang perempuan tua yang kuat dan bijaksana. Setiap hari, Ardi membantu neneknya menjaring ikan atau membersihkan perahu tua milik keluarganya. Tapi, di balik rutinitas itu, Ardi punya kebiasaan unik: dia suka duduk di tepi pantai, memandang laut lepas, dan berpikir. 

“Nek, kenapa laut kita dikasih pagar?” tanya Ardi suatu sore, sambil menunjuk ke arah proyek pagar laut yang sedang dibangun di kejauhan. 


Neneknya menghela napas. “Itu bukan pagar biasa, Dik. Itu buat ngejaga kita dari ombak besar. Tapi, entah kenapa, banyak yang bilang itu malah bikin susah nelayan kayak kita.” 


Ardi mengerutkan kening. “Jadi, ini bagus atau nggak sih, Nek?” 


Neneknya hanya tersenyum. “Kamu tanya sama ombak aja, Dik. Dia lebih tau jawabannya.”


Ardi memang sering dibilang aneh oleh teman-temannya. Dia suka bicara hal-hal yang nggak biasa buat anak seumurannya. Misalnya, dia pernah nanya, “Kenapa kita harus ngejar ikan, padahal ikan juga punya keluarga?” Atau, “Kenapa laut yang luas ini harus dipagari? Apa dia nakal?” Teman-temannya cuma ketawa, tapi Ardi serius. Dia merasa ada sesuatu yang nggak beres dengan pagar laut itu. 


Suatu hari, Ardi nemuin sekelompok orang yang lagi diskusi di balai desa. Mereka ngomongin proyek pagar laut dengan nada serius. Ardi nongkrong di belakang, dengerin mereka ngomongin hal-hal kayak “kebijakan pemerintah”, “dampak lingkungan”, dan “kesejahteraan nelayan”. Ardi nggak ngerti semua istilah itu, tapi dia ngerasa ini penting. 


“Menurut saya, proyek pagar laut ini perlu dikaji ulang,” kata seorang pria berkacamata. “Dari segi ekologi, ini bisa merusak ekosistem laut. Belum lagi dampak sosialnya terhadap nelayan tradisional.” 


Ardi nggak tau siapa pria itu, tapi dia ngerasa pria itu ngomong hal yang bener. “Nah, ini dia orang yang pinter,” bisik Ardi ke temannya, Budi, yang ikut nongkrong. 


“Itu Roki Gerung, Dik,” kata Budi. “Dia pengamat politik terkenal. Katanya, dia sering kritik pemerintah.” 


Ardi manggut-manggut. “Wah, keren. Kayaknya dia ngerti banget soal ini.” 


Malamnya, Ardi mimpi aneh. Dia ngeliat lautnya dipagari kayak kandang ayam. Ikan-ikan pada protes, “Kami nggak bisa lewat ini! Ini pelanggaran HAM!” Ardi kebingungan. Dia coba jelasin ke ikan-ikan itu, “Ini buat ngejaga kita dari ombak besar.” Tapi ikan-ikan itu nggak peduli. “Kami juga punya hak buat hidup bebas!” teriak mereka. 


Ardi terbangun dengan keringat dingin. “Nek, aku mimpi aneh,” katanya ke neneknya. 


“Mimpi apa, Dik?” tanya neneknya. 


“Aku ngeliat ikan-ikan pada demo, Nek. Mereka bilang pagar laut itu nggak adil.” 


Neneknya ketawa. “Kamu ini terlalu banyak mikir, Dik. Tapi, mungkin ikan-ikan itu bener. Laut itu milik semua makhluk, bukan cuma manusia.” 


Ardi manggut-manggut. “Nek, aku pengen ngobrol sama orang-orang pinter kayak tadi. Aku pengen tau apa mereka mikir kayak aku.” 


Besoknya, Ardi nemuin cara buat ngobrol sama Roki Gerung. Dia nemuin akun media sosialnya dan ngirim pesan panjang lebar. “Pak Roki, saya Ardi, anak nelayan dari desa kecil. Saya punya banyak pertanyaan soal pagar laut. Bisa nggak kita ngobrol?” 


Beberapa hari kemudian, Ardi kaget waktu dapet balasan dari Roki Gerung. “Halo, Ardi. Saya senang kamu peduli dengan isu ini. Apa kamu punya waktu buat ngobrol via telepon?” 


Ardi langsung bilang ke neneknya. “Nek, aku mau ngobrol sama Roki Gerung!” 


Neneknya cuma senyum. “Itu kesempatan bagus, Dik. Tapi, jangan lupa bilang ke dia soal mimpi kamu.” 


Saat ngobrol via telepon, Ardi ngerasa kayak lagi ngobrol sama orang yang udah lama dia kenal. Roki Gerung ngedengerin semua cerita Ardi dengan serius, termasuk soal mimpinya. 


“Menurut saya, kamu punya pemikiran yang luar biasa, Ardi,” kata Roki Gerung. “Pagar laut ini memang kontroversial. Di satu sisi, dia bisa ngejaga kita dari bencana. Tapi, di sisi lain, dia juga bisa ngerusak ekosistem dan kehidupan nelayan. Ini yang harus kita pikirkan bersama.” 


Ardi manggut-manggut. “Jadi, gimana solusinya, Pak?” 


“Kita harus cari jalan tengah,” jawab Roki Gerung. “Misalnya, dengan melibatkan nelayan dan masyarakat lokal dalam perencanaan proyek ini. Jangan sampai keputusan diambil tanpa mempertimbangkan suara mereka.” 


Ardi ngerasa seneng. “Terima kasih, Pak. Aku jadi ngerti sekarang.” 


Setelah ngobrol sama Roki Gerung, Ardi jadi lebih semangat buat ngajak teman-temannya diskusi soal pagar laut. Mereka sering ngumpul di tepi pantai, ngobrolin dampak proyek itu buat kehidupan mereka. 


“Gue ngerasa ini nggak adil,” kata Budi. “Kita nelayan kecil, tapi nggak pernah ditanya pendapat kita.” 


“Iya, bener banget,” tambah Ardi. “Kita harus bersuara. Jangan cuma diam aja.” 


Mereka pun bikin rencana buat ngumpulin tanda tangan dari warga desa buat protes ke pemerintah. Ardi ngerasa ini langkah kecil, tapi dia yakin ini bisa bikin perubahan. 


Beberapa bulan kemudian, proyek pagar laut itu akhirnya dikaji ulang. Pemerintah setuju buat melibatkan nelayan dan masyarakat lokal dalam perencanaannya. Ardi ngerasa bangga udah jadi bagian dari perubahan itu. 


“Nek, kita menang!” seru Ardi ke neneknya. 


Neneknya tersenyum. “Kamu hebat, Dik. Tapi, ingat, ini baru awal. Masih banyak yang harus kita perjuangkan.” 


Ardi manggut-manggut. “Iya, Nek. Aku nggak akan berhenti mikir dan bertindak.” 


Di tepi pantai, Ardi kembali duduk, memandang laut lepas. Dia ngerasa laut itu kayak teman yang selalu setia mendengarkan ceritanya. “Terima kasih udah ngajarin aku banyak hal,” bisik Ardi. 


Laut pun menjawab dengan desiran ombak yang lembut, seolah berkata, “Kamu anak yang hebat, Ardi. Teruslah bermimpi dan berjuang.”