Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Akhdan Muhammad Faqih | Pagar Laut

Cerpen Akhdan Muhammad Faqih



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Di sebuah desa kecil di pesisir pantai selatan anyer, kehidupan nelayan berjalan seperti biasa. Matahari baru saja terbit, menyinari ombak yang bergulung-gulung dengan lembut, menerpa kulit memberikan vitamin d. Namun, di balik keindahan alam itu ada kegelisahan yang menyerang hati para nelayan layaknya patah hati dikala tidak memiliki siapa siapa. Mereka sudah lama merasakan perubahan yang tidak biasa di laut. Ikan semakin sulit didapat dan ombak kadang terasa lebih kencang menderu. Bukan hanya itu, sampah-sampah plastik yang terbawa arus seperti bangkai tikus tikus yang suka memakan makanan hewan lain semakin sering terlihat, mengotori pantai yang dulu bersih dan asri.


Salah satu nelayan itu adalah Dujanah, seorang pemuda berusia 19 tahun yang mewarisi pekerjaan sebagai nelayan dari ayahnya. Walaupun masih tergolong muda, Durjanah dikenal sebagai nelayan yang pemberani dan selalu membawa pulang hasil tangkapan yang melimpah.Bahkan sesekali membawa ikan lele yang ia dapat di empang tetangga saat perjalanan pulang. Namun, belakangan ini ia sering pulang dengan tangan kosong. Bukan hanya Durjanah, hampir semua nelayan di desa itu merasakan hal yang sama. Mereka mulai bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang terjadi di laut mereka? Kayak aneh aja gitu kan ya, ga kayak biasanya.


Suatu pagi, Durjanah memutuskan untuk pergi lebih jauh ke tengah laut. Ia yakin ada sesuatu yang menghalangi ikan-ikan mendekati pantai. Dengan perahu kayunya yang sederhana, ia mengayuh perlahan meninggalkan garis pantai yang semakin menjauh, sampai setitik debu saat dipandang. Ketika tiba di sebuah titik yang jarang dikunjungi nelayan lain, Durjanah melihat sesuatu yang aneh. Apakah itu? di permukaan laut ada deretan benda besar berwarna hitam yang tampak seperti pagar raksasa.


Durjanah mendekat dengan hati-hati. Pagar itu terbuat dari besi kokoh, menjulang tinggi dari dasar laut hingga ke permukaan. Di antara celah-celah pagar Durjanah melihat sampah-sampah plastik dan jaring nelayan yang tersangkut. Arman tersentak hampir terlempar ke laut. Ia baru menyadari bahwa pagar itu adalah penyebab ikan-ikan menjauh. OMGGG GAA SIHH!! Pagar itu yang menghalangi migrasi ikan dan merusak ekosistem di laut. Ia merasa marah dan sedih sekaligus geregetan. Bagaimana mungkin ada yang tega merusak laut yang menjadi sumber kehidupan mereka? That is a big problem.


Dengan perasaan campur aduk kayak es campur, Durjanah kembali ke desa. Ia menceritakan apa yang dilihatnya kepada warga. Banyak yang tidak percaya, tetapi beberapa nelayan memutuskan untuk melihat sendiri. Benar saja, pagar raksasa itu memang ada adanya. Warga desa pun mulai bertanya-tanya. Siapa yang memasang pagar itu dan untuk apa sih ngerepotin banget?


Beberapa hari kemudian seorang peneliti jauh jauh dari WHO datang ke desa. Ia menjelaskan bahwa pagar itu adalah bagian dari proyek pemerintah untuk mencegah abrasi pantai. Tapi proyek itu dilakukan tanpa mempertimbangkan akibat nya terhadap kehidupan nelayan dan ekosistem laut. Warga desa merasa dikhianati dan kecewa seperti semut kecil yang sedih karena selalu kehilangan teman temannya. Mereka merasa suara mereka tidak didengar. "Kenapa tidak ada yang memberi tahu kami?" tanya seorang nelayan tua dengan suara gemetar dan serak basah. "Laut ini adalah hidup kami kalau laut rusak kami pun akan mati."

 

Durjanah dan beberapa nelayan lain memutuskan untuk melawan fenomena yang tidak adil ini. Mereka mengumpulkan tanda tangan dan mengajukan protes ke pemerintah daerah.


Protes itu akhirnya sampai ke telinga media nasional dan kasus pagar laut itu menjadi perbincangan hangat yang trending di tiktok bahkan banyak dijadikan jedag jedug keren. Banyak orang mulai menyadari betapa pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam proyek-proyek pembangunan terutama yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.


Pada akhirnya, pemerintah setempat setuju untuk merencanakan ulang proyek tersebut dan melibatkan nelayan dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa bulan kemudian pagar laut itu dibongkar. Ikan-ikan pun mulai kembali dan kehidupan nelayan di desa itu perlahan pulih. Durjanah tersenyum lega saat melihat ombak yang tenang dan hasil tangkapan yang melimpah, bersama perempuan disampingnya menatap senja penuh bentuk awan. Ia sadar bahwa laut adalah sumber kehidupan mereka dan menjaga kelestariannya adalah tanggung jawab bersama.


Namun, di balik semua itu, Durjanah tahu bahwa perjuangan belum selesai. Masih banyak pagar-pagar lain yang mungkin menghalangi kehidupan mereka baik di laut maupun di darat. Tapi selama mereka bersatu dan berani bersuara, harapan untuk perubahan selalu ada.


Beberapa minggu setelah pagar laut dibongkar, Durjanah dan warga desa mengadakan pertemuan besar seperti pertemuan para pemuda kemerdekaan jaman dahulu Mereka ingin memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak terulang lagi. "Kita harus lebih waspada yaa bro bro kuh," kata Durjanah kepada warga yang berkumpul di balai desa. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kita harus aktif menjaga laut kita sendiri, abisnya pemerintah sibuk ngurusin perutnya mulu sih."


Mereka sepakat membentuk kelompok pengawas laut, yang mereka namai pendekar laut samudra yang bertugas memantau aktivitas di sekitar pantai dan melaporkan jika ada proyek-proyek yang berpotensi merusak lingkungan. Selain itu, mereka juga mulai membersihkan pantai secara rutin, mengumpulkan sampah-sampah plastik yang terbawa ombak termasuk bangkai tikus. Anak-anak muda di desa itu diajak untuk ikut serta, agar mereka memahami betapa pentingnya menjaga kelestarian laut.

 

Durjanah juga mulai berpikir untuk mencari sumber penghasilan alternatif. Ia sadar bahwa mengandalkan laut saja tidak cukup. Bersama beberapa nelayan lain ia mulai mencoba budidaya rumput laut di dekat pantai. Proyek kecil-kecilan itu ternyata membawa hasil yang cukup menjanjikan, bahkan hasilnya bermiliar miliar rupiah. Warga desa pun mulai tertarik untuk mencoba.


Meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi Durjanah merasa optimis. Ia yakin bahwa selama mereka terus bekerja sama dan tidak menyerah, masa depan yang lebih baik bisa mereka gapai. Laut adalah warisan nenek moyang mereka, dan itu harus dijaga untuk generasi-generasi mendatang.


Suatu sore bersama istrinya, Durjanah duduk di tepi pantai menatap ombak yang bergulung-gulung. Kini dia sudah menikah dan memiliki anak 3. Umurnya sudah semakin terkikis, 45 tahun. walaupun umurnya sudah semakin menua, tapi cintanya kepada istrinya yang sudah bersamanya sejak smp kelas 9 tak pernah pudar. Saat itu dia teringat pada pagar laut yang pernah menghalangi kehidupan mereka. Sekarang, pagar itu sudah tidak ada lagi, tapi pelajaran yang mereka dapat darinya akan selalu diingat. "Laut ini bukan milik kita," ucap Durjanah pada istrinya. "Kita hanya meminjamnya dari anak cucu kita."


Dengan tekad yang bulat, Durjanah berjanji akan terus berjuang untuk melindungi laut dan kehidupan yang bergantung padanya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tapi selama ada harapan tidak ada yang mustahil.