Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Al Hazid | Ombak yang Terpenjara

Cerpen Al Hazid



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Di dalam rumah kayu yang sederhana, Pak Herman duduk termenung di kursinya yang reyot. Matanya yang sayu menatap foto lama di dinding—sebuah potret dirinya bersama Rehan di atas perahu tua mereka, tersenyum bangga dengan hasil tangkapan melimpah. Laut adalah sumber penghidupannya, laut yang menjadi bagian dari jiwanya, tempat mencari nafkah untuk keluarganya. Tapi, itu dulu... kini laut terasa sangat jauh meski hanya beberapa langkah dari rumahnya. 


Langit di utara Tangerang mendung. Angin laut berembus, menyapu pasir di bibir pantai. Dengan langkah tertatih, Pak Herman keluar dari rumahnya dan menuju perahu yang mulai lapuk, ia duduk di ujungnya, matanya memandang ke arah laut yang tak lagi bebas. Terdapat sebuah pagar bambu setinggi manusia berdiri kokoh, membentang sepanjang garis pantai, memisahkan laut yang dulu bebas menjadi dua wilayah yang bersekat. 


“Dulu, laut ini adalah sahabat para nelayan,” gumam Pak Herman lirih, matanya menerawang ke kejauhan.


“Tapi sekarang, ia seperti penjara...” suaranya bergetar, menyimpan kecewa yang dalam. “ Bahkan ombak yang tak bersalah pun ikut tertahan.” 


Sejak pagar laut itu dibangun, nelayan – nelayan kecil seperti Pak Herman kehilangan mata pencaharian. Sementara perusahaan besar dengan mudahnya menangkap ikan di luar pagar dengan alat – alat canggihnya.

 

Perahu tak bisa berlayar bebas, ikan – ikan menjauh, dan mereka hanya bisa menatap lautan luas tanpa bisa menyentuhnya. Dulu, setiap pagi, ia berangkat melaut bersama putranya, Ardi. Namun sejak pagar itu muncul, Ardi lebih memilih merantau ke kota, mencari pekerjaan lain. Ia lelah dengan tembok yang tak memiliki titik terangnya untuk nelayan—membatasi laut mereka. 


Pak Herman menarik napas panjang,  ia mengenang masa ketika pertama kali mengenal laut. Ayahnya dulu seorang nelayan berpengalaman, mengajarinya bagaimana membaca tanda – tanda alam. “Kalau burung camar terbang rendah, artinya ikan sedang berkumpul,” begitu kata ayahnya. Tapi sekarang, camar pun mulai jarang terlihat, seolah sadar akan pagar laut yang memangkas laju para ikan. 


“Pagi, Pak Herman.” Suara itu datang dari arah kanan laut, Yudi. Seorang pemuda yang baru beberapa tahun belajar melaut. Sorot matanya kosong, seperti harapan yang tak ada sisa. Pipinya yang tirus dan kulitnya semakin gelap terkena sinar matahari menjadi saksi betapa kerasnya bertahan hidup dengan laut sebagai mata pencaharian satu – satunya. Saat ia mendekat, Pak Herman bisa melihat keringat yang mengalir di pelipisnya, bercampur dengan butiran – butiran pasir yang tertinggal bekas semalam berlayar.


“Pagi, Di,” balas Pak Herman dengan suara parau, matanya menatap wajah Yudi yang tampak letih. “Gimana tangkapannya? Kau tampak lelah sekali.” 


Yudi menghela napas. “Seperti biasa, Pak. Sedikit.” Suaranya serak, lelah mengulang kenyataan pahit yang sama setiap hari. Jemarinya meremas jaring yang masih basah. “Pagar itu benar – benar membunuh rezeki kita. Dulu laut ini luas banget untuk semua orang, sekarang rasanya seperti kurungan.” 


Pak Herman hanya mengangguk pelan. Ia tahu, banyak nelayan sekarang harus mencari pekerjaan lain, ada yang menjadi buruh di kota, ada yang beralih menjadi tukang bangunan. Laut tak lagi memberi mereka cukup untuk bertahan.

 

Hari – hari berlalu dalam kesulitan. Para nelayan yang tetap bertahan hanya bisa mengais rezeki dari sisa – sisa ikan yang terperangkap di sela pagar. Harga ikan merosot tajam, kehidupan semakin berat. Pak Herman, dikenal sebagai nelayan kuat, semakin jarang terlihat di laut. Usianya semakin senja membuatnya tak sekuat dulu. 


Pemerintah berdalih bahwa pagar laut itu dibuat untuk mencegah penangkapan ikan ilegal dan melindungi batas wilayah. Tapi, bagi mereka yang menggantungkan hidup dari lautan, pagar itu bukan sekedar batas administratif, melainkan seakan tembok yang merampas hak mereka.


***


Suatu malam, suara ribut terdengar di desa. Langit gelap menaungi sekumpulan nelayan yang berkerumun di depan rumah kepala desa, wajah mereka dipenuhi amarah dan kelelahan. Obor berkobar di tangan – tangan yang gemetar, oleh ketidakadilan yang membakar hati mereka.


“Siapa yang membangun pagar itu?! Mengapa kita tak diberi tahu?!” seru seorang nelayan dengan suara parau, matanya memerah.


Yang lain mengangguk, suaranya saling bersahutan, menuntut kepastian, menuntut keadilan. Malam itu, tak hanya gelap langit yang menyelimuti desa, tetapi juga bayang – bayang ketidakpastian yang semakin pekat. 


Kepala desa, yang biasanya ramah, hanya bisa tertunduk. Saya tidak tahu siapa yang memulainya, tapi proyek ini punya izin dari pihak tertentu.” Jawabannya semakin membuat warga geram. Siapa “pihak tertentu” itu? Mengapa mereka tak pernah mendengar kabar ini sebelumnya?


Malam itu juga, beberapa nelayan nekat menuju pagar laut, membawa kapak dan gergaji. Mereka ingin merobohkannya. Namun, baru saja mereka menyentuh bambu pertama, sekelompok orang berseragam datang—polisi dan petugas keamanan perusahaan. Dengan suara tegas, mereka memperingatkan para nelayan untuk mundur. Ketegangan memuncak, tetapi Pak Hasan segera maju, mencoba berbicara dengan tenang.


"Kami hanya ingin laut kami kembali," suaranya lirih tapi penuh harap. Salah satu petugas menatapnya, lalu berbisik pada rekannya. Alih-alih konfrontasi, mereka memutuskan untuk membawa permasalahan ini ke jalur hukum. Para nelayan terdiam, sebagian kecewa, sebagian lega karena tak terjadi bentrokan. Malam itu berakhir dengan langkah-langkah berat yang kembali ke desa, dengan harapan baru bahwa kebenaran masih memiliki jalan.


Ia tak bisa membiarkan ketidakadilan ini berlarut-larut. Dengan tekad membara, ia pergi ke kota, mendatangi redaksi surat kabar terkemuka dan menceritakan segala yang terjadi, suaranya bergetar menahan amarah dan kesedihan. 


Ardi, yang baru kembali ke desa setelah mendengar kabar kebisingan di desanya. Ia tak bisa membiarkan ketidakadilan ini berlarut – larut. Dengan tekad membara, ia pergi lagi ke kota, mendatangi redaksi surat kabar terkenal dan menceritakan segala yang terjadi.

 

Berita tentang pagar laut ilegal itu segera menjadi tajuk utama di berbagai media. Tekanan publik semakin besar, dan akhirnya pemerintah turun tangan. Dalam sebuah operasi mendadak, pagar laut disegel, para pejabat terkait mulai diperiksa, dan investigasi besar-besaran dimulai. Namun, Ardi tahu, ini baru permulaan. Musuh yang mereka hadapi bukan hanya pagar bambu di laut, tapi juga tembok kekuasaan yang jauh lebih sulit diruntuhkan.


Namun, masalah belum selesai. Pihak yang mengklaim kepemilikan pagar itu menggugat balik, mengklaim bahwa mereka telah membeli hak guna lahan tersebut secara legal. Sidang panjang pun dimulai. 


Saat sidang berlangsung, terungkap bahwa proyek pagar laut ini merupakan hasil kesepakatan diam-diam antara beberapa pejabat dan pengusaha kaya yang ingin memonopoli wilayah perairan. Dokumen-dokumen palsu, suap, dan manipulasi data mulai terbongkar satu per satu. Namun, proses hukum berjalan lambat. Ardi merasa perjuangan ini seperti melawan gelombang besar yang terus menerpa.


Di desa, kemarahan semakin memuncak. Para nelayan mengadakan demonstrasi besar-besaran, menuntut agar pagar laut segera dihancurkan. Media mulai meliput secara luas, dan dukungan masyarakat dari luar desa mengalir deras. 


***


Minggu-minggu berlalu. Sidang demi sidang terus digelar, dan akhirnya keputusan jatuh. Pengadilan memutuskan bahwa pagar laut itu ilegal dan harus dibongkar sepenuhnya. Kemenangan itu dirayakan dengan tangis haru para nelayan. Namun, bagi Ardi, perjuangan ini lebih dari sekadar memenangkan kasus. Ia menyadari bahwa ketidakadilan bisa muncul kapan saja, dan mereka harus selalu siap melawannya.


Namun, tak lama setelah kemenangan itu, Pak Herman jatuh sakit parah. Tubuhnya yang telah lama menanggung beban kehilangan laut akhirnya menyerah. Pada suatu sore yang kelabu, dengan suara ombak sebagai latar belakang, ia mengembuskan napas terakhirnya di ranjang rumahnya.


Ardi menggenggam tangan ayahnya yang dingin. Air matanya jatuh tanpa henti. Namun, di balik kesedihannya, ada janji yang terpatri dalam hatinya. Ia tak akan membiarkan tragedi ini terulang. Ia akan melanjutkan perjuangan ayahnya, menjaga laut agar tetap menjadi rumah bagi mereka yang menggantungkan hidup padanya.


Pada suatu pagi, saat fajar menyingsing, Ardi membawa perahu ayahnya ke laut. Ombak menyambutnya dengan lembut, seolah berkata, "Selamat datang kembali." Laut yang dulu terhalang kini kembali bebas. Namun, ia tahu, kebebasan itu harus terus dijaga. Laut adalah kehidupan, dan kehidupan tidak boleh dipagari.