Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Alin Al Dini | Berkelana Menuju Metafora

Cerpen Alin Al Dini



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Tahun 2590, Perairan Jawa


Sejauh lima puluh meter, aku sudah mengalahkan kawan-kawanku, meninggalkan mereka di belakang. Balapan ini terasa seru terutama bagi anak-anak pesisir seperti kami yang senang sekali dengan berenang—jika ditanya bagaimana caranya? Mudah sekali, tinggal gerakkan saja seluruh tubuh, terutama tangan dan kaki supaya bisa mendayung lebih jauh dan tidak tenggelam, usahakan tubuh tetap rileks dan tidak panik, biarkan air membawa tubuh ke permukaan.


“Aku tidak mau kalah,” sahut Malim dalam isyarat tangannya yang meninju air.


Berenang di laut memang membutuhkan pernapasan dan daya tahan tubuh yang kuat, es kutub yang mencair membuat perairan lebih besar persennya daripada daratan saat ini. Karena udara Bumi yang semakin hari semakin panas, membuat air laut pun terasa hangat, dan seakan menjadi pemandian terbesar sepanjang masa.


Bagi anak kecil seperti kami, masalah iklim dan cuaca yang terjadi di Bumi tidak begitu berpengaruh apa-apa, semenjak Ayah tiada kabar rimbanya setelah berangkat menuju ekspedisi ‘mengembalikan iklim’ agar berjalan sesuai dengan semestinya seperti yang dilakukan Kakekku dan Ayahnya Kakek—alias Kakek buyutku—hingga saat terakhir, demi anak cucunya dapat tetap tinggal di tanah yang kami tempati saat ini, meski hanya terlihat seperti satu bangunan yang melayang-layang di ats permadani air yang sangat luas.


Aku menghirup udara laut yang segar dengan angin panas Barat, melempar jauh pandangan pada tiang-tiang pancang yang konon katanya dulu sekali—saat zaman masih memiliki berbagai macam pulau dan daratan—adalah sebuah batas wilayah atau bekas pulau-pulau yang tenggelam. 


Ada pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, serta pulau-pulau kecil lainnya. Sekarang hanya tinggal nama, aku tak tahu pasti mengapa demikian terjadi. 


Namun, banyak tanda tanya besar yang selalu mengelilingi kepalaku adalah apa sudah tidak ada lagi pemerintah yang bisa me-restorasi pulau tersebut? Apakah mereka kehabisan dana dan uang untuk melakukkanya? Atau apakah tanah dan pasir di muka bumi ini sudah hilang entah kemana, atau justru ada yang sengaja menimbun dan menyelundupkan untuk dijual lalu memperkaya diri dan keluarganya saja di tempat tertentu karena rakyat miskin seperti kami seakan hewan laut yang hanya pantas hidup terapung-apung di perairan luas atau hewan yang tinggal di dasar air? Sungguh lucu, jika aku dan kawan-kawanku menjadi kawanan ikan sarden saat berenang.


“ADUHH ..” karena lamunanku yang membuatku terpingkal-pingkal, kepalaku mengantuk salah satu tiang itu. Seketika duniaku berbeda.


***


“Karang … kamu tidak apa-apa?” suara sayup-sayup milik Bapak terdengar bersamaan sinar matahri yang menyengat.


Karang? Aku Koral, ah .. aku tersadar bahwa dulu kakekku bernama Karang.


“Dari awal Bapak sudah khawatir kalua kamu berenang terlalu jauh, kamu bisa menabrak pagar bambu itu!”


Pagar bambu? Apakah yang dimaksud adalah tiang-tiang penanda bekas pulau yang aku terantuk karenanya? 


“Pagar laut itu memang menyusahkan rakyat kesil saja,” Bapak mendengus sebal, raut wajahnya dipenuhi amarah yang tak terluapkan hingga akhirnya kecewa, karena usaha apapun seakan mustahil.


Sudah beberapa hari ini tangkapan ikan Bapak menurun, beberapa pukat, jaring atau jala dan perangkap ikan pun sulit dilempar atau dipasang di beberapa tempat, yang sering terjadi malah pukatnya robek karena tersangkut bambu misterius semacam pagar yang panjang, bahkan untuk melaut lebih jauh saja, kami harus memutar jalan. Padahal hal itu sangat berkebalikan dengan kondisi laut yang aku arungi bersama kawan-kawanku di masa depan, aku yakin saat ini, aku tengah hidup di masa Kakekku.


Memutar jalan yang membuatnya jadi lebih jauh memang sungguh melelahkan dan bagiku membuang waktu karena aku tak bisa berenang dan menyelam untuk menombak ikan lebih lama—untuk mengusir rasa bosan, yang kini menjadi rasa kesal—yang ada malah kepalaku teranutk pagar bambu itu. 


Selain itu, jika kapal Bapak kehabisan bensin, kami terpaksa untuk memutar balik dengan tanpa ikan tangkapan, atau kami tepaksa bermalam dengan harapan keesokan harinya ada kapal nelayan lain yang lewat dan menolong kami.


Air muka Bapak pun terlihat sedikit murung dan merah padam, entah karena sengatan matahari yang cukup panas kala siang atau karena pagar bambu ini yang memang menyulitkan perjalanan laut kami.


“Sampai kiamat, nelayan memang akan tetap miskin,” begitu kata Bapak saat dijumpai—bahkan ditegur ‘orang asing’ untuk tidak melewati batas pagar bambu misterius itu—orang-orang tak dikenal sebelumnya, dan semua orang kampung pun tak pernah ada yang mengetahuinya. 


Hariku sungguh terasa lebih panjang dari biasanya, aku jadi tak punya banyak waktu untuk bermain bersama teman-teman, menyelam berebut koin yang dilempar dari kapal yang melintas.


Kata Mamak, setiap malam saat kita melaut semenjak Bapak nekat memutar dan melintasi pagar bambu itu, rumah kita selalu didatangi hingga ditunggui sampai pagi oleh banyak orang berbadan kekar dan berkulit hitam legam, jumlah mereka sekitar enam orang.


Kuingat-ingat, rasanya Bapak atau Mamak tak pernah berhutang pada siapapun. Lalu mereka siapa?


***


“Gimana kalau harganya 200 ribu, ha? Jangan tawar-tawar lagi, ma … biar jadi harga pas. Kalo enggak, besok yang datang bukan oek lagi, yaa. Jangan nyari mati dahh, lu!”


Bapak terdiam, ternyata laut yang setiap hari Bapak lewati—yang sudah dipagari—memiliki SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), padahal siapapun tak pernah ada yang bisa melihat kalau di sana ada tanda-tanda bekas pulau atau tanah, ha, apakah pulau dan tanah yang hilang di masa depan itu akibat dari ini semua?


Suasana lengang, Bapak kebingungan, tergagap jikalau nanti salah ucap maka rumah yang ia tempati bisa diambil paksa juga oleh orang asing itu.


“Kalau Koh mau, saya tanya dulu ke Kades besok,” akhirnya Bapak buka suara, aku mengerti keadaan Bapak—yang aslinya adalah Kakek buyutku.


“Ya udah. Ya udah. Besok saya datang lagi. Ha, lu olang mo cari mati dah!”


Sehari sebelumnya, Pak Kades memang sudah woro-woro kalau nanti ada yang mau ke rumah untuk jual-beli, katanya. Bapak sudah curiga bahwa laut tempat ia mencari nafkah mau dipagari, mereka pikir orang yang tak makan bangku sekolah semacam Bapak akan manut-manut saja? Mungkin iya untuk Bapak, tapi tidak untukku—yang menurut firasatku, kejadian ini erat kaitannya dengan kondisi laut di masa depan


***


“Macam gini aja lu gak bisa! Ha, mereka kan orang bego, lu turunin pokoknya besok, kalo perlu sampe harga yang paling murah!” Koh yang kelihatan segar meski usia tak dapat ditutupi dari ubannya yang lebat mengeplak kepala suruhannya tadi dengangulungan kertas proyek Metafora.


Orang suruhan tadi cuma mengangguk-angguk saja.


“Suruh aja si Encun buat nego harga, habis energi lu nanti. Kita kan masih ada bisnis buat nambang pasir laut nanti, buat diekspor! Inget lu, kerja keras biar kagak melarat!”


“Tapi, Pap …” Koh Muda ikut bicara, di samping Koh Tua tadi.


“Apa? Mau ngebela olang bego? Lu kuliah bukan ngurus ekmismen laut itu, tau!”


“Eko-sistem, Pap …”


“Iya dahh, terserah lu aja! Mo longsor kek, mo ambles tu tanah, ha, kalo perlu ilang semua dahh, biar kagak ada lagi yang punya. Hahaha!”


Koh Muda hanya menunduk, berpikir dalam, dia punya rencana untuk mem-posting gambar-gambar pagar laut itu agar viral dan akhirnya dicabut. Meski dia terlahir di keturunan—yang katanya Naga karena terkaya—hati nuraninya menolak untuk menyengsarakan orang, setidaknya dia berusaha untuk menegakkan keadilan, walau harus bertentangan dengan Papinya.


***