Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Almira Ma'astipah Tanjung - Hamparan yang Terampas


Hamparan yang luas dan dalam tak terhingga, warna birunya yang indah mengiringi bangsa kita, ya, itulah laut. Tempat indah yang memanjakan mata dengan birunya air dan karang-karang kecil yang tersebar, hingga makhluknya yang sering tampak muncul ke permukaan. Tak hanya menjadi tempat pelarian orang, namun juga tempat pencarian nafkah seorang nelayan. Hidup dekat pantai memang menjadi salah satu alasan para nelayan memilih bekerja dengan laut, mencari ikan, ataupun melakukan budidaya rumput laut.

Dengan kapal kecil yang memiliki kapasitas terbatas, para nelayan sering kali memulai pencarian di malam hari karena sedikitnya aktivitas manusia dan mengikuti kebiasaan ikan yang aktif pada malam hari. Salah satu nelayan bernama Pak Sutarjo, yang lebih akrab dipanggil Pak Tarjo, merupakan nelayan andal yang telah lama menekuni pekerjaan ini. Ia bersiap untuk melakukan rutinitas malam harinya, yaitu mencari ikan di laut. Ia memulai persiapan pada pukul 21.20. Saat ia ingin bergegas meninggalkan rumah, ternyata putra kecilnya yang mulai beranjak remaja, sekitar umur delapan setengah tahun, memperhatikannya dari kasur kamarnya. Ia mulai mengerti bahwa bapaknya sering kali bepergian di malam hari, akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari kasur dan mengikuti sang bapak.

“Bapak! Mau kemana malam-malam begini?” Bapak yang sudah hampir menutup pintu rumah rapat-rapat pun segera membuka pintu kembali dengan perasaan kaget. “Loh, Dimas, kok belum tidur?” tanya Bapak.

“Pingin ikut, Bapak,” bukannya menjawab pertanyaan sang bapak, ia justru meminta ikut. Akhirnya, sang bapak memperbolehkan Dimas untuk ikut, namun ia diberi beberapa syarat seperti orang tua pada umumnya, seperti berjanji akan menurut dengan orang tua, dan lain hal.

Bapak menggendong Dimas bagaikan pilot mengudara di atas pundak sang bapak, pergi menuju rumah teman Bapak di dekat rumahnya, yaitu Pak Doko, teman sekaligus partner Bapak saat bekerja. “Tok! Tok! Assalamualaikum, Ko, wes siap?” tanya Bapak. Namun, ada yang menjawab, tetapi bukan Pak Doko sendiri, melainkan sang istri.

“Waalaikumsalam! Bentar, Pak, Mas Doko lagi siap-siap,” jawab sang istri dari balik pintu itu. Setelah siap, Bapak dan Pak Doko siap berjalan menuju tempat kapal mereka parkir, di salah satu sudut pantai. Hanya bermodalkan senter dan lentera sebagai pencahayaan, membuat Bapak dan Pak Doko tak dapat melihat jelas keadaan pantai. Dengan perlengkapan jaring ikan dan bermodalkan botol satu liter berisikan air minum, Bapak dan Pak Doko siap mengarungi lautan, mendobrak kerasnya ombak pantai.

Setelah beberapa lama merasa terombang-ambing di atas laut yang tak nampak isinya, hanya gelap gulita yang tak terlihat dan suara jangkrik yang mulai samar-samar terdengar, kami merasa sudah jauh dari bibir pantai. Itu berarti Bapak dan Pak Doko sudah siap memulai pencarian ikan. Namun, saat kapal terombang-ambing, Pak Doko merasa kapal seperti tertahan oleh sesuatu.

“Mas, kok aku ngerasa ni kapal kayak nabrak sesuatu ya, kayak ada yang nahan, Mas,” tanya Pak Doko memecah keheningan.

Bapak pun menjawab, “Ah, moso? Coba-coba iki senterin.”

Ternyata, setelah Pak Doko menyodorkan pencahayaan yang mereka miliki ke arah laut hitam itu, mereka menemukan bahwa terdapat kayu tinggi mengelilingi area pantai tempat mereka biasa mencari ikan. Mereka terkejut bahkan heran dengan apa yang terjadi.

“Mas Tarjo! Liat ini! SubhanAllah, apa ya ini, Mas? Kirain tadi ada kayu nancep, pas diliat sampingnya… ternyata banyak!” Bapak menganga melihat kondisi laut pada malam itu, akhirnya Bapak dan Pak Doko memutuskan balik ke pesisir pantai dan kembali mengecek keadaan laut pada siang hari.

“Bapak, tadi itu apa? Kenapa lautnya ada pager-pagernya? Emang ada maling, ya, Pak, di laut?” tanyaku saat perjalanan kembali ke rumah setelah Bapak gagal mendapatkan ikan pada malam itu.

“Bapak juga gak tau, Dim. Itu kayaknya kerjaan orang-orang sugih itu, memang, mereka gak punya pikiran, hadeuh,” jawab Bapak dengan sedikit nada kesal.

Sesampainya kami di rumah, ternyata kami mendapati Ibu yang sedang membersihkan meja makan. “Loh, Pak? Kok tumben pulangnya cepat? Atau ndak jadi berangkat tadi, Pak?”

Bapak pergi ke belakang tanpa menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibu. Aku pun menjawab, “Bu, tadi aku sama Bapak liat ada kayu gede-gede, Bu, di laut, panjaaang banget, kayak pager gitu, Buk.” Ibu yang mendengarku pun hanya tertawa dan mengira aku hanya mengarang cerita atau salah lihat, dan akhirnya aku pun dituntun ke arah kamar mandi untuk mencuci kaki dan pergi tidur.

“Mas Tarjo! Assalamualaikum! Mas! Tok! Tok! Mas, bahaya, Mas!” Suara panik terdengar dari balik pintu yang membuatku terbangun dari tidurku. Saat ku tatap arah luar kamar, aku melihat Bapak sudah bergegas pergi bersama orang yang tadi mengetuk rumah. Rasa penasaranku yang sudah menggebu-gebu membuatku berjalan keluar rumah, namun langkahku terhenti akibat teriakan Ibu.

“Le! Mau kemana itu, heh! Mandi dulu sini, Ibu mandiin!” Akibat teriakan Ibu yang terdengar dari belakangku, aku akhirnya berbalik badan dan bersiap untuk mandi. Setelah aku menyelesaikan segala persyaratan yang Ibu beri untuk memperbolehkanku pergi keluar rumah, akhirnya aku terbebas dari itu. Aku melihat keramaian di pinggir pantai, akhirnya aku berlari ke arah keramaian itu. Aku tak mengerti apa yang terjadi, namun wajah orang-orang itu terlihat marah, dengan alis yang tertekuk dan suara yang lantang meneriaki, “Hilangkan pagar laut! Ini bukan tanah milik orang kaya! Ini laut milik Tuhan!” Aku yang memiliki badan yang tak sebanding dengan orang besar yang berada di situ, aku memilih meminggir sebelum badanku terdorong dan terombang-ambing di dalam lautan manusia.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, harap tenang, semua akan kami proses dan kami selidiki, mohon bersabar.” Suara itu aku dengar setelah aku menjauh dari kerumunan orang-orang tadi. Orang yang ku dengar suaranya memakai pakaian seragam kerja corak-corak dan topi baretnya, ia terlihat sedang mengkondisikan keadaan namun kalah suara akibat banyaknya orang yang terlihat tak terima dengan perkataan bapak itu. Dari banyaknya orang yang mengerubungi bapak itu, aku menemukan satu orang yang ku kenal, yaitu, Bapak. Akhirnya ku berteriak, “Bapak!” Namun, Bapak seperti tak mendengar seruanku, akhirnya aku pergi mendekat ke arah Bapak. Aku berhasil memegang tangan Bapak, membuat Bapak tersentak akibat sentuhan yang ku berikan, dan Bapak mengajakku jauh dari tempat itu.

“Le, ngapain kesini? Nanti kamu keempet-empet orang loh, Le.” Tole atau le merupakan panggilan yang sering Bapak sebutkan untukku yang artinya anak laki-laki.

“Pak, ini kenapa? Kenapa orang-orang marah-marah, lagi demo, ya, Pak, kayak di TikTok gitu?”

Bapak hanya menjawab, ini merupakan urusan orang dewasa yang belum ku mengerti.

Setelah ku besar, dan aku melihat berita yang sedang hangat terjadi di negri kita, aku paham, bahwa kejadian yang kusaksikan saat ku kecil merupakan kejadian yang serupa dengan hari ini, yaitu, pembangunan pagar laut dan sertifikat kepemilikan tanah di atas laut yang dilakukan demi kepentingan pribadi oleh oknum tak bertanggung jawab dan merugikan banyak orang, termasuk bapakku, sebagai nelayan.