Hamparan
yang luas dan dalam tak terhingga, warna birunya yang indah mengiringi bangsa
kita, ya, itulah laut. Tempat indah yang memanjakan mata dengan birunya air dan
karang-karang kecil yang tersebar, hingga makhluknya yang sering tampak muncul
ke permukaan. Tak hanya menjadi tempat pelarian orang, namun juga tempat
pencarian nafkah seorang nelayan. Hidup dekat pantai memang menjadi salah satu
alasan para nelayan memilih bekerja dengan laut, mencari ikan, ataupun
melakukan budidaya rumput laut.
Dengan kapal kecil yang memiliki
kapasitas terbatas, para nelayan sering kali memulai pencarian di malam hari
karena sedikitnya aktivitas manusia dan mengikuti kebiasaan ikan yang aktif
pada malam hari. Salah satu nelayan bernama Pak Sutarjo, yang lebih akrab
dipanggil Pak Tarjo, merupakan nelayan andal yang telah lama menekuni pekerjaan
ini. Ia bersiap untuk melakukan rutinitas malam harinya, yaitu mencari ikan di
laut. Ia memulai persiapan pada pukul 21.20. Saat ia ingin bergegas
meninggalkan rumah, ternyata putra kecilnya yang mulai beranjak remaja, sekitar
umur delapan setengah tahun, memperhatikannya dari kasur kamarnya. Ia mulai
mengerti bahwa bapaknya sering kali bepergian di malam hari, akhirnya ia
memutuskan untuk beranjak dari kasur dan mengikuti sang bapak.
“Bapak! Mau kemana malam-malam
begini?” Bapak yang sudah hampir menutup pintu rumah rapat-rapat pun segera
membuka pintu kembali dengan perasaan kaget. “Loh, Dimas, kok belum tidur?”
tanya Bapak.
“Pingin ikut, Bapak,” bukannya
menjawab pertanyaan sang bapak, ia justru meminta ikut. Akhirnya, sang bapak
memperbolehkan Dimas untuk ikut, namun ia diberi beberapa syarat seperti orang
tua pada umumnya, seperti berjanji akan menurut dengan orang tua, dan lain hal.
Bapak menggendong Dimas bagaikan
pilot mengudara di atas pundak sang bapak, pergi menuju rumah teman Bapak di
dekat rumahnya, yaitu Pak Doko, teman sekaligus partner Bapak saat bekerja.
“Tok! Tok! Assalamualaikum, Ko, wes siap?” tanya Bapak. Namun, ada yang
menjawab, tetapi bukan Pak Doko sendiri, melainkan sang istri.
“Waalaikumsalam! Bentar, Pak, Mas
Doko lagi siap-siap,” jawab sang istri dari balik pintu itu. Setelah siap,
Bapak dan Pak Doko siap berjalan menuju tempat kapal mereka parkir, di salah
satu sudut pantai. Hanya bermodalkan senter dan lentera sebagai pencahayaan,
membuat Bapak dan Pak Doko tak dapat melihat jelas keadaan pantai. Dengan
perlengkapan jaring ikan dan bermodalkan botol satu liter berisikan air minum,
Bapak dan Pak Doko siap mengarungi lautan, mendobrak kerasnya ombak pantai.
Setelah beberapa lama merasa
terombang-ambing di atas laut yang tak nampak isinya, hanya gelap gulita yang
tak terlihat dan suara jangkrik yang mulai samar-samar terdengar, kami merasa
sudah jauh dari bibir pantai. Itu berarti Bapak dan Pak Doko sudah siap memulai
pencarian ikan. Namun, saat kapal terombang-ambing, Pak Doko merasa kapal
seperti tertahan oleh sesuatu.
“Mas, kok aku ngerasa ni kapal kayak
nabrak sesuatu ya, kayak ada yang nahan, Mas,” tanya Pak Doko memecah
keheningan.
Bapak pun menjawab, “Ah, moso?
Coba-coba iki senterin.”
Ternyata, setelah Pak Doko
menyodorkan pencahayaan yang mereka miliki ke arah laut hitam itu, mereka
menemukan bahwa terdapat kayu tinggi mengelilingi area pantai tempat mereka
biasa mencari ikan. Mereka terkejut bahkan heran dengan apa yang terjadi.
“Mas Tarjo! Liat ini! SubhanAllah,
apa ya ini, Mas? Kirain tadi ada kayu nancep, pas diliat sampingnya… ternyata
banyak!” Bapak menganga melihat kondisi laut pada malam itu, akhirnya Bapak dan
Pak Doko memutuskan balik ke pesisir pantai dan kembali mengecek keadaan laut
pada siang hari.
“Bapak, tadi itu apa? Kenapa lautnya
ada pager-pagernya? Emang ada maling, ya, Pak, di laut?” tanyaku saat
perjalanan kembali ke rumah setelah Bapak gagal mendapatkan ikan pada malam
itu.
“Bapak juga gak tau, Dim. Itu
kayaknya kerjaan orang-orang sugih itu, memang, mereka gak punya pikiran,
hadeuh,” jawab Bapak dengan sedikit nada kesal.
Sesampainya kami di rumah, ternyata
kami mendapati Ibu yang sedang membersihkan meja makan. “Loh, Pak? Kok tumben
pulangnya cepat? Atau ndak jadi berangkat tadi, Pak?”
Bapak pergi ke belakang tanpa
menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibu. Aku pun menjawab, “Bu, tadi
aku sama Bapak liat ada kayu gede-gede, Bu, di laut, panjaaang banget, kayak
pager gitu, Buk.” Ibu yang mendengarku pun hanya tertawa dan mengira aku hanya
mengarang cerita atau salah lihat, dan akhirnya aku pun dituntun ke arah kamar
mandi untuk mencuci kaki dan pergi tidur.
“Mas Tarjo! Assalamualaikum! Mas!
Tok! Tok! Mas, bahaya, Mas!” Suara panik terdengar dari balik pintu yang
membuatku terbangun dari tidurku. Saat ku tatap arah luar kamar, aku melihat
Bapak sudah bergegas pergi bersama orang yang tadi mengetuk rumah. Rasa
penasaranku yang sudah menggebu-gebu membuatku berjalan keluar rumah, namun
langkahku terhenti akibat teriakan Ibu.
“Le! Mau kemana itu, heh! Mandi dulu
sini, Ibu mandiin!” Akibat teriakan Ibu yang terdengar dari belakangku, aku
akhirnya berbalik badan dan bersiap untuk mandi. Setelah aku menyelesaikan
segala persyaratan yang Ibu beri untuk memperbolehkanku pergi keluar rumah,
akhirnya aku terbebas dari itu. Aku melihat keramaian di pinggir pantai,
akhirnya aku berlari ke arah keramaian itu. Aku tak mengerti apa yang terjadi,
namun wajah orang-orang itu terlihat marah, dengan alis yang tertekuk dan suara
yang lantang meneriaki, “Hilangkan pagar laut! Ini bukan tanah milik orang
kaya! Ini laut milik Tuhan!” Aku yang memiliki badan yang tak sebanding dengan
orang besar yang berada di situ, aku memilih meminggir sebelum badanku
terdorong dan terombang-ambing di dalam lautan manusia.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, harap tenang,
semua akan kami proses dan kami selidiki, mohon bersabar.” Suara itu aku dengar
setelah aku menjauh dari kerumunan orang-orang tadi. Orang yang ku dengar
suaranya memakai pakaian seragam kerja corak-corak dan topi baretnya, ia
terlihat sedang mengkondisikan keadaan namun kalah suara akibat banyaknya orang
yang terlihat tak terima dengan perkataan bapak itu. Dari banyaknya orang yang
mengerubungi bapak itu, aku menemukan satu orang yang ku kenal, yaitu, Bapak.
Akhirnya ku berteriak, “Bapak!” Namun, Bapak seperti tak mendengar seruanku,
akhirnya aku pergi mendekat ke arah Bapak. Aku berhasil memegang tangan Bapak,
membuat Bapak tersentak akibat sentuhan yang ku berikan, dan Bapak mengajakku
jauh dari tempat itu.
“Le, ngapain kesini? Nanti kamu
keempet-empet orang loh, Le.” Tole
atau le merupakan panggilan yang
sering Bapak sebutkan untukku yang artinya anak laki-laki.
“Pak, ini kenapa? Kenapa orang-orang
marah-marah, lagi demo, ya, Pak, kayak di TikTok gitu?”
Bapak hanya menjawab, ini merupakan
urusan orang dewasa yang belum ku mengerti.
Setelah
ku besar, dan aku melihat berita yang sedang hangat terjadi di negri kita, aku
paham, bahwa kejadian yang kusaksikan saat ku kecil merupakan kejadian yang
serupa dengan hari ini, yaitu, pembangunan pagar laut dan sertifikat
kepemilikan tanah di atas laut yang dilakukan demi kepentingan pribadi oleh
oknum tak bertanggung jawab dan merugikan banyak orang, termasuk bapakku,
sebagai nelayan.