Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Angel | Tegar di Balik Buih Pagar

Cerpen Angel


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)

Baru-baru ini kami dihebohkan dengan makanan yang tumpah ruah, sebuah pesta besar-besaran selama tujuh hari lamanya. Jelas sekali rona gembira di setiap wajah kami, hal ini membikin bibir-bibir pantai sejauh saya memandang nampak gelap. Hanya samar pantulan bintang-bintang. Namun, sebagai gantinya saya melihat bayang-bayang bagai sinar mekar menyala dari balik tubuh saya, cantik sekali. 


Saya memiliki kecintaan amat besar pada buih putih yang menggelitik, suara desir ombak yang lembut, hingga pasir yang mampir di sela-sela jemari kaki. Kangen rasanya ikut bapak menjala ikan, semakin dihampiri, laut semakin memberikan kedamaian. Laut juga tidak serta merta memandang saya dengan nelangsa, sebab sepasang tangan yang tidak sama dan kaki yang melangkah tidak wajar.


Kalau saya ikut melaut, saya hanya perlu duduk dan membantu bapak memilah ikan. Tidak perlu berjalan kepayahan hingga sedikit-sedikit harus beristirahat. Setidaknya saya berguna sebagai seorang pria sulung di keluarga nelayan.


Fitrahnya kami sebagai pejuang lautan mestinya tak meninggalkan laut terlalu lama. Dengar-dengar ada sebuah perayaan kemenangan, beberapa orang berbaju rapih tempo hari membagikan banyak hal kepada setiap keluarga di pesisir. Hasil tangkapan ikan hari itu tidak jadi dibawa ke pasar, katanya mereka juga diberikan sejumlah uang dengan syarat membikin pesta seperti saat ini. Lampu dipasang besar-besar. Lautan yang kerap berkedip dari kapal-kapal dan bintang-bintang, kalah eksis dengan pesisir daratan.


Saya ikut senang sih, melihat ibu tersenyum senang dengan perlengkapan dapur terpenuhi, dan adik yang dijamin makan tiga kali sehari. Tapi saya tetap kangen laut. Kangen sekali.


“Saya kangen laut,” ucapku kecil.


Dengan percaya diri saya bangkit dari duduk melamun, bermodal tongkat mengkilat hasil diberi pria bermata bulan sabit baik hati kemarin. Sebelumnya saya hanya punya tongkat kayu sederhana bikinan bapak.


Tidak ada yang perlu ditakuti dari laut. Ia memberikanmu segalanya, apapun, semuanya. Saya sudah dari umur lima tahun mengarung lautan, semasa badan kecil saya masih nampak wajar-wajar saja. Banyak orang bilang, penyakit ini timbul dari keseringan main di laut. Bapak dan Ibu sempat melarang saya, tapi yang ada saya malah sakit-sakitan hingga mengigau dan berteriak-teriak. Lucu sekali ketika tetangga kami bu Sera malah menyebarkan rumor bilamana ini kutukan, saya telah diguna-guna. Ya, tidak lucu sih, untung saja orang pintar rupanya tidak terlalu pintar-pintar amat. Badan saya tidak kunjung kembali normal hingga kini.


Pikiran saya detik ini hanyalah ingin bertegur sapa saja, tak perlu memburu ikan, hanya ingin lebih dekat pada laut yang saya kangenin itu. Jangan salah, cacat begini saya masih punya kekuatan menarik tali dan mendorong perahu yang dicat merah putih tiga hari yang lalu. Mungkin kekuatan ini berasal dari keirian melihat bapak serta kangen yang menggebu-gebu. Sebenarnya saya tidak terlalu yakin bisa mendorongnya, kalau dengan bapak biasanya berdua, saya hanya ikut-ikutan. Wangi cat masih sangat khas, ada ikut campur tangan saya yang bermain kuas di sini. Tidak banyak sih, saya nambahin tulisan Jaka dan Tegar dengan cat warna hitam. Bapak itu Jaka, saya Tegar. 


Tangki minyak masih tersisa banyak, hanya butuh 5 liter sekali melaut. Saya kan tidak sedang nelayan, hanya ingin pesiar saja. Lampu kapal yang semakin redup saya nyalakan, jika normalnya lampu kapal kami kalah dengan orang-orang, kali ini saya merasa jadi diva di kegelapan hamparan lautan. Hanya kapal Jaka Tegar yang akan mengarung lautan malam ini, dengan Tegar sebagai kaptennya. Memikirkan hal ini membuat saya geli, semacam rasa bangga dan sedikit sombong yang siap bikin kepala saya membesar meledak. Tegar si kapten, gahar sekali jabatan itu.


Mesin telah menyala, saya siap menjenguk lautan. Tenggelam di suasana paling damai sedunia, apalagi kali ini saya sendiri sepanjang mata memandang. Lihatlah lautan! saya bisa menjadi pendekar dengan kapal merah putih yang nampak mengkilat. Daratan yang terang benderang membuat saya semakin senang, mengingat tidak terlalu kepayahan seandainya amit-amit saya lupa arah pulang.


Senyum saya mengembang, hingga bikin gigi saya kering. Tapi tak masalah, detik-detik merasakan angin laut secara intim tidak datang dua kali. Biarlah malam ini jadi rahasia saya, tidak mungkin juga saya bercerita pada ibu hingga bikin dia khawatir membayangkan anak ‘istimewanya’ dilepas dari ‘kandang’ sendirian.


***


Sudah hampir setengah jam saya berlayar, beberapa menit lagi saya ingin mematikan mesin saja, berdiam melamun terombang-ambing ombak lautan. Ah, tidak sabar sekali, perut saya semacam tergelitik dengan kupu-kupu di dalamnya. Aneh bin nyata, saya jatuh cinta dengan laut sebegininya. Pokoknya laut itu punya saya!


Di tengah-tengah kesyahduan menikmati angin laut dan tatapan tidak fokus ke depan. Saya samar-sama melihat berjajar garis. Oh Tuhan, bukankah cukup tubuh saya saja yang cacat jangan mata saya juga donk! Dengan panik saya mengucek-ngucek mata, cacat bukan dari bawaan lahir bikin saya agaknya was-was jika organ tubuh saya tiba-tiba tidak sejalan dengan semestinya.


Mata saya menyipit, mesin kapal masih menyala membawa saya semakin mendekat dengan pandangan garis-garis berjajar yang tidak saya pahami fotomorgana atau mata saya bermasalah atau saya sedang mengalami hal mistis saat ini.


BRAAKKKKK~.......


Sebuah tabrakan besar! Saya telah menabrak portal dunia lain, garis-garis yang saya lihat ternyata sebuah.... Bambu????


BAMBU! Bambu tumbuh di tengah laut, berjajar menyerupai pagar. Kapal saya tertabrak keras, beberapa berhasil mematahkan cagar bambu mistik yang saat ini malah menusuk bawah kapal hingga bolong. Bambunya nancep, kapal saya miring. Bapak.. ibu..... Tegar benar-benar patut dipandang nelangsa kali ini.


Saya panik, saya coba merangkak mencabut batang bambu besar yang menancap. Nihil, bambu-bambu ini menancap amat kuat, berarti bambu ini juga menancap di dasar sana. Detak jantung saya berdebar, bukan lagi jatuh cinta pada laut, namun ketakutan yang amat sangat.


Air semakin masuk, kapal semakin miring, saya sedikit lagi ikut terbalik dengan kapal ini. Tongkat pemberian pria bermata bulan sabit sudah hanyut entah kemana. Saya bakal binasa kah? Yaampun, apakah saya harusnya duduk manis saja menikmati pesta di daratan. Dasar sombong! Sombong kau cacat! Tegar Sombong!


Saya melompat, mengikhlaskan kapal gahar bapak yang dengan lancang saya pakai demi kesombongan saya. Nasib saya tak jauh dari berpegangan, tidak lagi dituntun ibu, disokong tongkat kayu, kali ini saya terkatung-katung di jajaran pohon bambu,... Laut? Kuda laut, anjing laut, bambu laut??


Gigi saya tak lagi kering merasakan angin laut, tapi bergetar kedinginan dengan gemelutuknya. Tangan yang tak bisa lurus ini berpegangan pelan-pelan pada bambu. Jajaran bambu ini ada ujungnya bukan? Jika saya mengikutinya saya akan sampai rumah kan? 


***


Keluarga pak Jaka terselimut duka, kepergian Tegar membawa luka. Di tengah-tengah pencarian Tegar sewaktu semalaman pemuda itu tidak pulang. Pak Jaka mengetahui jika kapalnya menghilang. Keesokan pagi para warga membantu menyisir, menemukan pagar panjang dari bambu yang tiba-tiba saja sudah sepanjang 16 desa jadi satu. Banyak yang bilang kedatangan orang-orang yang menyangoni mereka kapan hari ikut mendatangkan pekerja yang sibuk di tengah lautan. Kini para nelayan mesti mengitari pagar, pemuda bernama tegar tak kunjung ditemukan. Lenyap di balik lautan luas di balik jeruji pagar.