Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Anjani Sanggarwati | Gelombang yang Bercerita

Cerpen Anjani Sanggarwati 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  



Di sebuah desa pesisir bernama Teluk Biru, dimana laut adalah sumber kehidupan bagi semua manusia. Hampir semua penduduknya berprofesi sebagai seorang nelayan, salah satunya adalah Alif, seorang nelayan muda yang telah melaut sejak usia belasan.


Bagi sebagian orang, pilihan Alif mungkin terdengar aneh. Di usianya yang masih muda, ia lebih memilih menjadi nelayan daripada melanjutkan pendidikannya. Namun, ia tidak punya pilihan lain setelah kepergian ayahnya, ia harus menjadi tulang punggung keluarga, bekerja keras untuk mengaji ibunya yang sakit-sakitan.


Menjadi nelayan memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi Alif selalu percaya pada laut. Bahwa laut akan selalu memberi, selama kita sebagai manusia memperlakukannya dengan bijak.


Suatu pagi, angin berhembus lembut, langit tampak cerah, dan suara deburan ombak mengiringi langkah alif menuju perahu kecilnya. Seperti biasa, ia berangkat ke laut sebelum matahari sepenuhnya terbit, dengan harapan mendapatkan tangkapan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari..


Alif sudah terbiasa menghadapi kerasnya lautan, tetapi hari ini hatinya terasa lebih gelisah dari biasanya. Mungkin karena cuaca hari ini sedang tidak baik atau karena ia masih merasa lelah dengan rutinitas yang berat ini.


Saat perahunya mulai bergerak lebih jauh ke arah tengah laut, Alif melihat sekelompok nelayan lain yang sedang menarik jaring mereka. Salah satu diantara mereka terdapat Pak Hasan, seorang nelayan tua yang sudah seperti ayah kedua bagi Alif sejak kepergian ayahnya.


“Alif, hati-hati ya! Ombak hari ini bisa berubah tiba-tiba,” ucap Pak Hasan dari kejauhan. Alif mengangguk sambil tersenyum, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran orang-orang disekitarnya.


Ia pun mulai melanjutkan jalannya, menunggu dengan sabar sambil memperhatikan langit yang perlahan mulai berubah. Disisi itu, ia tetap berusaha tenang dan selalu berpikir positif bahwa hari ini tidak akan terjadi hal yang buruk.


Namun, tak lama kemudian angin bertiup begitu kencang, ombak mulai membesar dan langit yang tadinya cerah kini diselimuti awan yang kelabu. Alif menyadari bahwa badai akan segera datang, ia pun segera menarik jaringnya secepat mungkin.


Di tengah badai yang semakin kencang. Alif mendengar suara seseorang memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat perahu Pak Hasan yang berusaha mendekat dengan susah payah. Alif pun berusaha menjaga keseimbangan perahunya, hingga akhirnya Pak Hasan dan beberapa nelayan lainnya berhasil mendekat. 


Setelah berjuang melawan ombak dan badai, mereka akhirnya berhasil kembali ke daratan dengan selamat. Sampai Alif pun terjatuh ke pasir, tubuhnya terlihat lelah.


Saat tiba di rumah, ibunya langsung menggenggam tangannya erat, merasa lega melihat anaknya pulang dengan selamat.


Namun, dibalik keselamatannya. Ada kesedihan yang menghantui hati  Alif.


“kenapa kamu terlihat sedih begitu, Nak?” tanya ibunya kepada Alif.


Alif menunduk, suaranya lirih. “Beberapa tahun terakhir ini hasil tangkapan menurun drastis, laut selalu terkikis ombak, dan ikan juga semakin sulit ditemukan, Bu.” ucap Alif.


Sang ibu mengangguk, memahami kegelisahan anaknya. “Mungkin ini akibat abrasi dan rusaknya ekosistem laut,” ucap ibunya sambil duduk di samping Alif.


“Abrasi?“ Alif terdiam. Ia mengingat masa kecilnya, saat laut ini masih luas, penuh dengan bakau dan terumbu karang. Namun, kini semuanya nyaris hilang.


“Itulah masalahnya, laut kita butuh pagar, Alif,” lanjut ibunya.


Alif terdiam, ia berpikir bahwa pagar adalah sesuatu yang ada di daratan, bukan di laut. “Pagar laut?” tanyanya.


Ibunya tersenyum. “Bukan pagar seperti yang kamu bayangkan. Hutan bakau dan terumbu karang berperan sebagai pagar laut. Mereka melindungi laut dari abrasi, menjadi tempat hidup ikan, dan menjaga keseimbangan alam. Jika pagar ini rusak, maka laut pun akan kehilangan keseimbangannya.”


Alif pun mulai paham apa yang dikatakan oleh ibunya.


Keesokan harinya, ia  memutuskan untuk  mengajak warga desa menanam kembali bakau di sepanjang pesisir dan menjaga terumbu karang dari kerusakan. Namun tampaknya, tidak semua orang setuju dengan Alif.


“Buat apa repot-repot menanam bakau? Kita ini butuh ikan, bukan pohon!” seru seorang nelayan.


“Laut sudah berubah! Cara seperti itu tidak akan mengembalikan ikan!” tambah yang lain.


Mendengar perkataan para nelayan dan warga, Alif sempat ragu. Namun, Pak Hasan menepuk pundaknya. “Jangan menyerah, Nak. Kalau kita ingin perubahan, kita harus mulai dari diri sendiri.”


Bersama dengan para warga yang percaya dengannya, mereka mulai menanam bakau, serta melarang penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem laut dan sekitarnya.


Waktu berlalu, namun hasilnya tidak datang seketika. Hari, minggu, bahkan berbulan-bulan berlalu, keadaan tampak sama. Beberapa nelayan yang awalannya menolak mulai mencemooh.


“Lihat? Sudah berbulan-bulan, tetapi tetap saja ikan tidak kembali!” ejek para nelayan.


Keraguan mulai menyusup ke hati Alif setelah mendengar perkataan mereka. “Mungkin mereka benar, laut ini sudah terlalu rusak...”


Pak Hasan menepuk pundaknya lagi. “Tidak Alif.  Apa yang mereka ucap itu tidak benar, memang alam itu butuh waktu lama untuk pulih kembali, Nak. Sama seperti manusia, kalau kita sakit, pasti kita juga membutuhkan waktu untuk sembuh.”


Setahun berlalu, perubahan perlahan mulai terlihat. Laut yang tadinya terus terkikis, kini mulai stabil berkat akar bakau yang menahan pasir. Ombak pun tidak lagi menghancurkan daratan dan ikan-ikan kecil mulai muncul di sekitar akar bakau dan terumbu karang yang mereka jaga.


Para nelayan yang sebelumnya meragukan usaha ini, kini mulai melihat hasilnya. Mereka mencoba kembali ke laut dan mendapati tangkapan mereka yang lebih meningkat.


“Sungguh, laut ini memang sudah pulih kembali,” ucap salah satu nelayan dengan mata yang berbinar.

Melihat semua itu, Pak Hasan juga ikut bahagia dan bangga kepada Alif.


“Lihat Alif, semua sudah terbukti. Dan apa yang kamu perjuangkan akhirnya membuahkan hasil untuk kita semua,” ucap Pak Hasan dengan tersenyum bangga.


Namun, Alif menggeleng sambil tersenyum. “Bukan hanya Alif saja, Pak Hasan. ini juga berkat ibu saya.”


Pak Hasan tertawa. “Tapi kamu juga yang meyakinkan kami semua.”


Alif menatap laut yang tenang. Dulu, ia mengira pagar hanya untuk tanah dan rumah. Namun kini, ia tahu bahwa laut pun juga membutuhkan pagar.


Ia tahu bahwa pagar laut mereka memang tak terlihat seperti tembok atau pagar kayu. Tetapi fungsinya lebih besar, yaitu untuk melindungi laut, menjaga keseimbangan alam dan memastikan kehidupan di desa tetap berlanjut. Sehingga, kebutuhan ekonomi mereka dapat terpenuhi.


Dan warga desa Teluk Biru tidak lagi melihat laut sebagai sesuatu yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Mereka mulai merawatnya, menjaga pagar laut supaya tetap kokoh.


Sejak hari itu, Alif bukan hanya seorang nelayan, tetapi juga seorang pemuda yang terus belajar dan berusaha untuk kehidupan yang lebih baik bagi dirinya, bagi ibunya dan bagi desanya.