Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Aqila Khansa Khairunnisa | Suara Nelayan di Balik Layar

Cerpen Aqila Khansa Khairunnisa




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sudah dua jam sejak bel tanda pulang berbunyi. Perpustakaan yang biasanya ramai kini hanya menyisakan lima orang. Seorang adik kelas yang sibuk mencari antingnya yang tidak sengaja terlepas—entah jatuh di mana, penjaga perpustakaan yang duduk di balik meja, serta Winna, Tara, dan Jo yang tengah serius berdiskusi. 


Sebagai siswa kelas 12, serangkaian ujian harus mereka lakukan sebagai syarat kelulusan. Saat ini, mereka bertiga sedang berkumpul untuk membahas ujian praktik yang akan datang. Tugas mereka cukup menantang, yaitu membuat video dokumenter tentang ragam kehidupan di masyarakat. Namun, hingga saat ini, mereka masih belum sepakat mengenai topik yang akan diangkat.


Winna menyandarkan kepalanya ke meja, frustasi. “Kita udah diskusi hampir dua jam dan masih mentok di ide awal.”


Tara menghela napas, bersedekap. “Karena idenya Jo itu nggak masuk akal. Ngapain kita bahas kehidupan pengamen? Nggak ada urgensinya.”


Jo menatap tajam. “Nggak masuk akal gimana? Pengamen itu bagian dari masyarakat yang sering dipandang sebelah mata. Mereka hidup di jalan, bertahan dengan uang receh, dan sering dikejar-kejar satpol PP. Itu realitas yang perlu diangkat.”


“Tapi kita cuma punya waktu seminggu. Kamu pikir gampang cari pengamen yang mau diwawancara? Belum lagi, banyak dari mereka yang sengaja dibuat jadi ‘pekerja jalanan’ sama oknum tertentu. Bahaya kalau kita terlalu dalam menggali,” sahut Tara.


Winna menegakkan tubuhnya. “Berisik ah. Kita nggak akan selesai kalau terus berdebat gini. Kita butuh ide yang bisa diwujudkan, relevan, dan menarik.”


Jo dan Tara saling pandang, sama-sama enggan mengalah. Winna menarik napas panjang. “Gimana kalau kita cari topik yang lebih luas? Yang lebih memungkinkan untuk kita dokumentasikan.”


“Seperti?” tanya Jo skeptis.


Winna berpikir sejenak, lalu sebuah ide muncul. “Nelayan. Kita bisa mendokumentasikan kehidupan mereka. Bagaimana mereka berjuang melawan cuaca, harga ikan, dan kebijakan yang nggak selalu berpihak pada mereka.”


Tara mengernyit, tapi kali ini tanpa nada penolakan langsung. “Itu bisa. Ada banyak desa nelayan di sekitar sini.”


Jo masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Semoga kita benar-benar bisa mendapatkan cerita yang menarik.”


Mereka akhirnya sepakat dan segera mengurus perizinan ke sekolah. Setelah mendapat izin, mereka memilih sebuah desa pesisir yang dikenal dengan hasil lautnya. Kepala desa menyambut baik kedatangan mereka dan mengenalkan mereka pada Pak Rijal, seorang nelayan yang bersedia menjadi narasumber.


Pagi itu, laut tampak tenang. Winna, Jo, dan Tara berjalan menyusuri dermaga, melihat aktivitas nelayan yang tengah bersiap melaut. Pak Rijal, pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan kulit legam terbakar matahari, menyambut mereka dengan ramah.


“Kami ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan nelayan, Pak. Bagaimana bapak dan teman-teman menghadapi tantangan sehari-hari?” tanya Winna sambil menyalakan kamera.


Pak Rijal tersenyum samar. “Banyak tantangan, Nak. Dari harga bahan bakar, hasil tangkapan yang nggak menentu, sampai kebijakan yang kadang lebih menguntungkan orang besar ketimbang kami.”


Jo mengangguk. “Tapi sekarang bapak masih bisa melaut seperti biasa?”


Wajah Pak Rijal mengeras. “Nah, ini masalahnya. Belakangan kami susah melaut gara-gara pagar laut.”


Tara mengernyit. “Pagar laut?”


Pak Rijal mengangguk, wajahnya terlihat gusar. “Entah siapa yang memasangnya, tapi pagar itu benar-benar menghalangi jalur kami melaut. Dulu, kami bisa mencari ikan ke mana saja, mengikuti arus dan lokasi yang hasil tangkapannya bagus. Sekarang? Banyak area yang tertutup pagar bambu,”


“Mau tidak mau nelayan harus memutar jauh untuk mencapai perairan yang lebih terbuka, dan itu berarti lebih banyak bahan bakar yang terbuang. Belum lagi, jaring kami sering tersangkut di pagar itu. Kalau rusak, kami harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperbaikinya.” 


“Ada yang bilang pagar itu dipasang untuk mencegah abrasi atau melindungi wilayah tertentu. Kami sudah coba protes, tapi nggak ada yang peduli,” lanjut Pak Rijal. “Mau lapor ke siapa? Kalau orang-orang besar yang pasang, kami bisa apa?”


Pak Rijal menghela napas berat. “Kami hanya ingin melaut dengan tenang, mencari nafkah seperti biasa. Tapi sekarang, seakan-akan laut bukan lagi milik kami.”


Winna menatap sekeliling, mencoba mengamati setiap detail yang ada. Pandangannya akhirnya tertuju ke arah laut, tempat garis panjang yang tak wajar membentang di kejauhan. Pagar bambu itu menjulur jauh ke dalam air, seolah membelah lautan dan membatasi wilayah yang seharusnya terbuka. Tiang-tiangnya berdiri tegak, sebagian sudah miring dihantam ombak, sementara jaring-jaring kusut tersangkut di beberapa bagiannya.Winna, Jo, dan Tara saling pandang. Mereka sadar, ini lebih dari sekadar dokumentasi biasa.


Selama dua hari, banyak yang mereka dapatkan. Semuanya terekam dalam kamera milik Jo. Kehidupan nelayan, aktivitas di pasar ikan, dan tentu saja polemik pagar laut. Pak Rijal dan beberapa nelayan lain memberi kesaksian tentang dampaknya.


Setelah video mereka selesai diedit, Winna merasa ada sesuatu yang mengganjal. Sebagai remaja yang aktif di media sosial, ia terbiasa mencurahkan pikirannya di sana. Bisa dibilang media sosial berperan sebagai diary Winna. Tanpa berpikir panjang, ia menulis sebuah thread di media sosial tentang pengalaman mereka di desa pesisir.


“Kemarin aku baru saja menyelesaikan dokumenter tentang kehidupan nelayan. Tapi ada satu hal yang bikin miris. Di desa tempat kami syuting, ada pagar laut yang menghalangi nelayan melaut. Mereka sudah protes, tapi nggak ada tindakan.”


Winna mengunggah potongan video, termasuk kesaksian Pak Rijal. Ia tidak menyangka cuitan itu akan meledak.


Beberapa hari setelah unggahannya viral, berita tentang pagar laut mulai diliput oleh media nasional. Pemerintah daerah akhirnya turun tangan dan menyelidiki siapa dalang di balik pemasangan pagar tersebut.


Winna menerima banyak pesan, beberapa mendukung, beberapa mempertanyakan motifnya. Tapi ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya:


Kenapa di negara ini sesuatu baru ditindaklanjuti kalau sudah viral?


Pertanyaan itu ia sampaikan kepada Tara dan Jo—berkat tugas kelompok itu, kini mereka bertiga berteman baik. Belakangan ini, mereka sering bertemu untuk sekadar cafe hopping atau menjelajahi hidden gem di kota mereka—sore itu, mereka duduk di salah satu kafe favorit mereka, membahas bagaimana dokumenter mereka bisa membawa perubahan nyata bagi para nelayan.


Tara mengaduk minumannya pelan. “Iya, heran deh. Kalau sesuatu belum viral, orang-orang nganggep itu bukan masalah besar. Padahal kan udah lama nelayan di sana protes soal pagar laut, tapi nggak ada yang peduli.” 


Jo mengangguk, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Iya, baru setelah rame di media sosial, pemerintah gerak. Kayak nunggu ditegur dulu sama netizen baru mau turun tangan.”


Winna menghela napas, menatap layar ponselnya yang terus dibanjiri notifikasi. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya mengaktifkan silent mode.


Ia senang dokumenter mereka membawa perubahan, tapi di sisi lain, ada rasa janggal yang sulit diabaikan. Kenapa sesuatu harus viral dulu baru diperhatikan? Bukankah keadilan seharusnya berjalan tanpa perlu sorotan?


Sama seperti pagar laut itu—sudah lama para nelayan berjuang menghadapi rintangan yang menghalangi mereka. Tapi baru setelah dunia maya ikut bersuara, barulah tembok itu mulai runtuh.


Dan nyatanya, di negeri ini, pagar-pagar seperti itu bukan cuma ada di laut.