Cerpen Ardi Wina Saputra
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Bulan begitu bulat ketika sorak sorai pesta pora menggema di telinga. Suara itu makin lama makin jelas seiring dengan sinar bulan yang paripurna di hadapan lautan. Daryah mengulum senyum dari bibir pantai, sembari memejamkan mata, ia mencoba mengurai satu demi satu pekik euforia yang bersumber dari balik pagar laut di tengah pantai.
“Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas Samudra!”
Sayup-sayup terdengar di telinga Daryah, lirik lagu itu dinyanyikan oleh pria bersuara parau. Ia kenal betul suara itu, senyuman gadis itu semakin mengembang. Suara itu didengarkan dengan penuh konsentrasi hingga menenggelamkan suara-suara lainya. Makin lama makin jelas nyanyian itu. Kelopak mata Daryah pelan terbuka, ada lelaki rasaksa yang bernyanyi sembari membuka kedua tanganya.
Di hadapan mata Daryah, pagar laut berubah menjadi pintu yang terbuka perlahan. Tampak dari balik pintu, sesosok lelaki kurus terus menyanyi. Ikan-ikan menari tamborin mengiringi. Bintang laut bermain kecapi. Seluruh penghuni laut riang gembira. Suara lelaki itu tak lagi parau, merdu mendayu. Rambutnya ombak deras samudera. Wajahnya berkilau pantulan sinar rembulan. Ia berdiri tepat di ambang pintu pagar laut sembari membuka kedua tanganya. Daryah kegirangan, dilangkahkan kaki ke arah sumber suara. Ia kenal betul. Tak peduli basah kuyup seluruh tubuh hingga asin air laut memenuhi lidah. Ia tetap berjalan.
Dari arah daratan, tampak lidah-lidah api beterbangan. Segerombolan warga membawa obor lengkap dengan kentongan menuju bibir pantai, tempat si gadis merapal doa, berjalan tegak lurus pagar laut. Mereka hanya mampu berhenti hingga bibir pantai sambil berteriak satu sama lain, memanggil nama;
“Dar! Daryah! Dar!”
***
Tepatnya sehari sebelum warga mengejar-ngejar Daryah hingga bibir pantai, gadis yang mahir mengolah ikan itu berdebat dengan ibunya. Sebenarnya bukan sekali dua kali saja gadis itu berdebat dengan bunda kandungnya sendiri. Tiga bulan selepas kepergian bapaknya, ia sering tak sepaham dengan ibunya.
“Kau sama keras kepalanya dengan Bapakmu Nak! Sebegitu besarnya cintamu pada laut sehingga kau rela mengambil estafet kemelaratan keluarga ini?” umpat ibunya.
Daryah terdiam. Sudah lama ia menanak amarah. Namun semua itu dipendamnya. Ribuan kali dia berupaya untuk menyadarkan ibunya bahwa laut akan memberi mereka sumber penghidupan yang layak, tapi hasilnya nihil. Ibunya tetap bersih kukuh meninggalkan laut.
Semakin ibunya marah, semakin Daryah teringat kenangan bersama bapaknya. Ia ingat betul bahwa setiap pagi hari buta, ia sering mengantar bapak pergi ke laut. Tak lupa Daryah membawa bekal yang dimasak oleh ibunya. Meski lambat laun, Daryah sendirilah yang memasak bekal untuk bapaknya.
Ketika senja tepat berada di kaki langit, Daryah menunggu bapaknya pulang. Ia bersama teman-teman seusianya bermain di bibir pantai. Bapaknya tak kehabisan akal membuat Daryah tersenyum. Ia selalu membawa buah tangan berupa ikan yang kemudian dijual untuk hidup, dan sebagian kecil dimasak sendiri.
Lambat laun, ikan yang dibawa bapak Daryah tidak seberapa jumlahnya, bahkan setahun terakhir, hampir-hampir si bapak tak membawa seekor pun. Meski tak mampu membawa ikan, bapak Daryah tak kehilangan akal. Ia ambil sedikit terumbu karang, bintang laut, atau cangkang siput untuk dihadiahkan pada gadis semata wayang.
Daryah tersenyum dan tak sedikit pun mengurangi rasa bangga pada Bapaknya. Sambil pulang ke rumah dan bergandengan tangan, Daryah dan Bapaknya selalu menyanyikan lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’.
Senyum dan kebanggaan Daryah pada bapaknya nyantanya berbanding terbalik dengan ibunya. Ibu Daryah tampak murung bahkan kerab karib marah-marah sambil membanting piring dan panci ketika bapak tak mampu menangkap ikan seekor pun.
“Mas! Ayolah kita bertani saja di kampung halamanku! Mau sampai kapan kita mengandalkan laut yang tak berpihak pada kita!” ucapnya.
“Sabarlah Bu, kelak jika pagar laut itu dilepas, Bapak yakin ikan-ikan akan mudah lagi untuk ditangkap!” ujar bapak.
“Kau tak pandai membaca peluang Mas! Saat tetangga-tetangga punya proyek besar untuk memasang pagar laut dan rela menjual rumah hingga perahunya pada proyek itu, kau malah tetap ajek berlayar! Sekarang lihat! Aku dan anakmu tak mampu makan sebutir nasi!” Ibu Daryah semakin membuncah amarahnya.
“Sabar Bu, kita masih punya persediaan meski sedikit!” sela Daryah.
“Kau anak kecil diam saja! Sekarang lihat, saat pagar laut itu sudah terpasang dan hampir semua tetangga pindah rumah setelah terima uang besar, kita masih di sini-sini saja! Betapa bangganya teman-temanmu melihat bapaknya sudah berkerah dan bercelana kain ketika kerja! Tak mau kau seperti mereka? ” cerca Ibu Daryah semakin menjadi-jadi.
Sejak saat itu, rasa cinta yang dimiliki oleh Ibu Daryah pelan tapi pasti mulai terkikis. Ia sering keluar malam bahkan tak pulang. Parasnya yang menawan memang menjadikanya incaran para pejabat desa, terlebih pejabat yang hobi berkongkow-kongkow mewah dengan pihak korporasi setiap malam di balai desa.
Memang Daryah sering diajak, tapi ia menolak. Ia lebih memilih menemani Bapaknya dan memberi asupan motivasi pada Bapaknya. Ritual mengantar menjemput bapaknya di bibir pantai masih terus dilakukan meski semakin hari semakin sedikit anak-anak nelayan yang menjemput bapaknya.
Sebagian besar dari anak-anak itu memilih untuk pindah rumah bersama dengan bapak mereka yang dengan penuh kemantapan meninggalkan profesi sebagai nelayan. Profesi yang dikalahkan oleh uang dan iming-iming harta oleh para pengeruk kepentingan.
Nelayan-nelayan di wilayah itu memang berhamburan sejak keberadaan korporasi di bidang properti berniat mengambil alih pesisir pantai hingga lautnya untuk dijadikan sebagai proyek sepihak. Tidak sedikit dari para nelayan yang beralih profesi menjadi pemasang pagar laut dan menjadi polisi laut yang menjamin keamanan pagar laut itu. Tentu jika memilih profesi ini, mereka menjadi pegawai korporasi dan mendapat tukar guling rumah di perkampungan kota. Tidak sedikit pula yang memilih untuk menjual rumah dan perahunya untuk kemudian digunakan sebagai modal transmigrasi ke desa-desa, beralih agraris. Beberapa ada yang memilih untuk mencoba peruntungan baru dengan berdagang dan membuka toko kelontong di kota. Dari semua itu, hanya Bapak Daryah dan lima nelayan saja yang radikal menggantungkan diri pada laut.
***
Suatu ketika, kelima nelayan itu bersekongkol untuk mendobrak pagar laut. Niatnya adalah memberikan akses pada ikan-ikan dan pada perahu mereka agar bisa berlayar lebih leluasa lagi. Awalnya Bapak Daryah menolak. Namun karena rasa toleransinya pada rekan seperjuangan yang masih menggantungkan hidup pada laut, ia memilih setuju. Apalagi tak ada pilihan lain selain berusaha mendobrak pagar itu.
Pada hari keberangkatan, ia mengenakan pakaian terbaik. Satu-satunya kemeja batik dan satu-satunya celana kain. Ibunya semingu sudah tak pulang, mungkin ke balai desa yang sekarang menyediakan fasilitas penginapan mewah. Bapak-anak itu sudah biasa mengelus dada sehingga tak perlu pamit pada ibu. Daryah yang tak tak tahu apa-apa, serasa aneh melihat tampilan bapaknya. Berbeda dengan hari-hari biasanya, kali ini bapak menyanyikan lagu ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’, teramat kencang dan riang.
Sesampainya di bibir pantai, lima nelayan karib bapak Daryah telah menunggu lelaki berambut ombak itu untuk berlayar bersama. Tepat di bibir pantai, Bapak Daryah menciumi pipi Daryah begitu lama. Daryah tersenyum dan senang. Setelah itu, ia menggendong putri kesayanganya sambil berkata
“Setidaknya Bapak pernah diantar Daryah kerja mengenakan kemeja dan celana kain, agar Daryah semakin bangga sama Bapak! Bapak sayang Daryah”
“Daryah juga sayang Bapak!”
Selepas mengucapkan itu, Bapak Daryah membalikkan badan ia pergi bersama lima teman nelayanya. Kali ini ia berdiri di ujung perahu, melambaikan tangan pada Daryah sambil berteriak,
“Daryah, kalau nanti sore Bapak belum pulang, maka saat rembulan seperti telur mata sapi, doakan Bapak ya Nak!”
Daryah melambaikan tangan sembari berkata iya. Ia tak sepenuhnya paham maksud perkataan Bapaknya. Namun ia berhasil menangkap beberapa kata yang disampaikan seperti ‘belum pulang’, ‘rembulan’, ‘mata sapi’ dan ‘doa’.
Kali itu rute perahu yang dinaiki bapak Daryah tidak seperti biasanya, tidak memutari pagar laut tetapi malah mendekatinya. Daryah merasa aneh, tapi ia hanya bisa mengernyitkan dahi. Dari arah pagar laut, tampak tiga kapal patroli mendekati perahu yang dinaiki Bapak Daryah. Kapal ketiganya jauh lebih canggih. Kemudian, mereka melakukan gerakan memutar bagai formasi Cakrya Byuha. Perahu yang ditumpangi bapak Daryah terkepung berada di tengah putaran itu. Tak selang berapa lama, terdengar suara dentuman ledakan, dan api menyalak-nyalak dari perahu yang telah terkepung. Gadis itu menyaksikan semua, diiringi lengking suara dan derai air mata.