Cerpen Arie Fajar Rofian
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pagi itu, di batas cakrawala, langit membentang luas, menyatu dengan laut dalam garis abu-abu yang samar. Udara bergerak lambat, membawa aroma garam yang pekat, menyelinap masuk ke rongga paru-paru tanpa harus meninggalkan beban yang berat. Ombak datang dan pergi, menggulung butir pasir ke tepian, seakan-akan hendak menyapa kedua kakiku; menggenggam jari-jari kakiku dalam hangat yang tersirat. Kadang terlihat dekat, tetapi kemudian menjauh, seperti harapan yang tak pernah benar-benar lekat.
Ombak itu berbisik lirih, menyertakan sesuatu yang tak terlihat. Entah kenangan seseorang, entah doa dan harapan yang belum terjawab, entah monolog yang ditujukan pada diri sendiri. Aku berupaya mendengarkan, meski yang kudapati hanya kesunyian yang panjang. Di sisi lainnya, ombak yang sama menghantam di antara batu-batu karang, memecah dirinya sendiri menjadi riak yang berupaya riuh.
Sementara, cahaya matahari jatuh di atas permukaan ombak, menciptakan pantulan yang menyerupai pecahan kaca, seakan-akan ada sesuatu yang berkilauan di dalamnya. Aku duduk di tepian pantai dengan celana panjang yang terlipat hingga betis, memeluk kedua lutut, membiarkan ujung kakiku tenggelam. Di hamparan tak berbatas ini, aku merasa sangat kecil, seolah jika menutup mata cukup lama, aku bisa menghilang, menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting, semisal cangkang kerang yang terombang-ambing.
Di ujung dermaga, potongan bambu berderet, membentuk pagar laut yang berdiri kokoh. Aku tak tahu pasti siapa yang telah membangunnya, atau mengapa pagar laut itu harus ada di sana. Kerap, ketika senja merona, beberapa orang mendekati pagar laut itu dengan menggunakan perahu, entah untuk membetulkan atau memasang sesuatu, atau sekadar mengambil gambarnya sebagai latar berfoto.
Dari jauh, pagar laut itu menyerupai siluet hitam yang teriris oleh kilau cahaya senja meredup. Orang-orang datang berbondong-bondong, membawa kamera dan telepon genggam mereka. Beberapa dari mereka datang secara berpasangan, beberapa lainnya datang sendirian, duduk atau berdiri dengan lengan melipat di dada. Semua berlomba-lomba menyesuaikan posisi tubuh dalam bingkai layar, berpose dengan berbagai gaya, mencoba menangkap keindahan yang tak sepenuhnya dapat kupahami.
Aku merasa asing dengan situasi dan pemandangan itu, seakan sedang berada di dunia luar selain bumi. Ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan, yang bahkan aku sendiri tak tahu apa, dan itu sangat mengusik pikiranku.
Entah sudah berapa lama aku berada di tepian pantai, termenung dan membayangkan hal-hal yang terjadi di tempat ini beberapa waktu belakangan, terutama yang berkaitan dengan keberadaan pagar laut. Tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang menggores bulir pasir, memecah keheningan.
“Kholid?” suara tipis itu mengudara dari arah belakang, menyapaku dengan cara yang paling lembut.
Aku menoleh, menyaksikan seorang pria paruh baya berdiri beberapa langkah dari tempatku termenung, mengenakan seragam dinasnya yang tampak rapi dan berwibawa. Peci berwarna hitam membungkus kepalanya, kaku sekaligus memberi kesan tegas mengenai dari kelompok mana ia berasal. Kepala Desa, aku mengenalinya pada detik itu juga.
“Pak Arsa,” sergapku, sedikit terkejut.
“Sedang apa, kau tidak sekolah hari ini?”
Aku ingin lekas menjawab dengan kepala terangkat, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokan, seolah ada sesuatu yang tak terlihat menekan leherku. Kenyataan bahwa aku diminta ayah untuk membantunya mencari ikan pada hari sekolah bukanlah informasi yang bisa begitu saja kubagikan kepada orang lain, terlebih kepada seorang Kepala Desa. Belakangan, karena keberadaan pagar laut, jarak tempuh untuk melaut semakin jauh—dan solar yang dibutuhkan juga semakin banyak—sehingga ayah kerap kepayahan.
Lima detik pertama percakapan itu mulai terasa canggung.
“Pagar laut itu sebenarnya berfungsi untuk apa?” tanyaku, asal berucap, lebih karena ingin mengubah arah percakapan daripada harus memberi jawaban. “Kenapa banyak orang yang berfoto di sana?”
“Kau tahu, Kholid, pagar laut itu bukan sekadar potongan bambu yang dijajarkan sedemikian rupa, tetapi untuk menahan sesuatu dengan kekuatan yang tersembunyi dan tak terkendali. Selain melindungi desa kita dari abrasi, pagar laut itu dapat memitigasi ancaman tsunami. Mengenai orang-orang yang berfoto, mungkin itu bagian dari rasa syukur mereka karena pagar laut telah melindungi banyak hal, terutama melindungi desa kita.”
Aku mengangguk, takzim, seakan-akan ada setitik cahaya yang menerangi keterasingan yang sebelumnya tak kupahami. Barangkali, kepayahan yang dialami ayahku cukup sepadan jika dibandingkan dengan manfaat keberadaan pagar laut itu.
***
Pria itu merasa mual sekaligus jijik, perutnya bergejolak jika memikirkan apa yang telah dihasilkan oleh jemari tangannya. Kopi hitam di dalam cangkir telah tandas, asbak rokok semakin penuh, sedangkan asap tembakau sesak di udara. Ia ingin mengumpat atau melempar sesuatu ke dinding dingin yang mengelilinginya, tetapi tak bisa. Dinding itu bukan miliknya, baik secara harfiah ataupun metafora. Kini, yang tersisa hanyalah ingatan yang menjejalinya dengan perasaan bersalah.
Ia duduk di depan meja kerja di ruang kamar yang remang, memandangi secarik kertas berisi rangkaian kata yang terbaring di samping laptop yang terus mengeluarkan suara dengung mesin statis. Setiap huruf, setiap kata, setiap kalimat, setiap tanda baca, yang sebelumnya ditulis dengan menyertakan begitu banyak keyakinan, terasa sangat membingungkan, berubah menjadi sesuatu yang jauh dari kehendaknya.
Ia kemudian meremas-remas kertas itu, satu eksemplar cerita pendek mengenai manfaat pagar laut yang ditulisnya beberapa bulan lalu; membuangnya ke tempat sampah, bertumpukan dengan potongan kertas lainnya yang tidak berguna. Wajahnya melengos, menatap kaca jendela yang tak menampilkan apa-apa, selain pantulan dirinya sendiri yang muram dan buram. Cerpen itu bahkan tidak memiliki judul, atau ia hanya tak sempat memberinya judul karena dikerjakan dalam ketergesa-gesaan.
Pada suatu malam yang berkabut, Kepala Desa mendatangi pria itu ke kediamannya yang sempit dan beraroma pekat, membawa sebuah gagasan—atau lebih tepatnya semacam perintah—yang tak bisa ditolak. Dengan kemampuan yang dimilikinya, isi kepala Kepala Desa akhirnya berubah bentuk menjadi cerpen yang tak berjudul. Mesin cetak berbunyi, mengeluarkan kertas berisi kata-kata.
Kepala Desa tersenyum ketika kertas itu berpindah ke tangannya.
“Bagus sekali, cerita ini dapat memberi pengetahuan berharga ke orang banyak, terutama para nelayan!” seru Kepala Desa, menjetikkan jari tanda gembira.
Esoknya, sepekan sebelum pagar laut dibangun, cerpen itu bukan lagi miliknya, melainkan menjadi alat propaganda yang dikemas rapi, dan dibagikan ke sekolah-sekolah, semacam hadiah yang harus diterima dengan senyuman. Tujuannya sangat tersembunyi, agar warga desa atau nelayan yang tak pandai membaca, kelak tidak merasa keberatan dengan keberadaan pagar laut setelah mendapat pencerahan dari anak-anak mereka yang masih sekolah—dan membaca cerpen itu.
Hanya saja, cerpen itu tidak menyebutkan tentang kesulitan yang akan dihadapi oleh para nelayan, tentang perahu-perahu yang rusak akibat tak sengaja menabrak pagar laut. Tidak ada informasi mengenai SHM dan SHGB yang diterbitkan dengan cara tak berertika di sepanjang jalur pagar laut. Tidak ada informasi mengenai perusahaan pengembang yang sembunyi-sembunyi mengalirkan sejumlah rupiah ke para pemangku jabatan. Tidak ada sama sekali, cerpen itu hanya berfokus pada manfaat, alih-alih mudarat.
Malam-malam berikutnya, Kepala Desa kembali mendatangi pria itu, meminta dibuatkan cerpen dengan gagasan yang sama. Tentang bagaimana pagar laut itu menahan dan memecah ombak sebelum menuju ke tepian, menghindarkan desa dari kemungkinan abrasi dan tsunami, serta menjaga rumah-rumah di pesisir agar tetap bisa berdiri tegak. Cerpen-cerpen terus diproduksi meski tanpa sempat memiliki judul, kemudian dikumpulkan menjadi satu buku yang utuh.
Di televisi lokal, Kepala Desa tampil dan berbicara, semacam melakukan konseling sambil memamerkan buku kumpulan cerpen itu, yang diklaimnya secara sepihak sebagai bentuk kepeduliannya untuk mengedukasi banyak orang. Ia berdiri di atas perahu, di depan pagar laut, tangannya menunjuk-nunjuk, sementara sudut bibirnya saling menarik dan membentuk senyuman yang kerap dipertontonkannya sejak ia membagikan amplop putih sebelum pemilihan Kepala Desa.
“Kita, semua orang di desa, berutang pada pagar laut yang terbuat dari potongan bambu ini,” katanya, melalui intonasi yang sudah dilatih sedemikian rupa agar terdengar berwibawa. “Tanpa keberadaan pagar laut ini, mungkin wilayah desa akan terus terkikis dari tahun ke tahun, lalu habis.”
Orang-orang, yang sebagian besar merupakan suruhan Kepala Desa bertepuk tangan, meriah dan berlebih-lebihan. Sebagian lainnya mengangguk-angguk, atau hanya sekadar diam tanpa sempat memahami maksud di balik perkataannya. Tetapi tidak ada yang berani membantah. Di sela-sela tepuk tangan meriah dan berlebihan itu, buku kumpulan cerpen dibagi-bagikan secara gratis, dilempar dan diperebutkan.
Pria itu menyadari, cerpen hasil karyanya ternyata bukan untuk menyampaikan pengetahuan, melainkan alat kontrol, pengaruh, dan pendegradasian pikiran warga desa atas keberadaan pagar laut. Namun, ia hanya bisa pasrah, membiarkan jemarinya menunaikan tugas meski tak pernah menginginkannya. Jemari yang dulu dibangga-banggakannya, yang menghasilkan karya melalui perenungan mendalam, kini terkekang oleh persekongkolan jahat antara penguasa dengan korporat.
Nuraninya sempat terusik dan menolak, tetapi itu menjadi syarat mutlak yang diajukan oleh Kepala Desa agar ia bisa menikahi putri semata wayangnya. Sudah lama ia mencintai gadis itu, sejak pertama kali melihatnya berjalan di jalan setapak dengan buku di pelukannya ketika masa SMA. Namun, sebagai orang yang berkuasa, Kepala Desa tidak bisa menyerahkan sesuatu tanpa syarat. Terlebih, di matanya, pria itu tak memiliki apa-apa, kecuali kemampuan dalam merangkai kata.
Terdengar suara lirih antara Kepala Desa dengan seseorang yang merupakan perwakilan perusahaan pengembang dari ruang utama. Begitu lirih sampai-sampai pria itu tak tahu sama sekali isi percakapan mereka. Hening selama beberapa detik, lalu terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Kepala Desa, dengan senyum khasnya, tiba-tiba berdiri di garis pintu kamar yang remang itu.
“Kholid!” ucapnya tegas, serupa seorang Komandan yang hendak memberikan perintah. “Malam ini, segera buatkan draft peringatan tsunami untuk dijadikan plang yang akan dipasang di sepanjang pesisir pantai.”
Menantu pria itu mengangguk, meski hatinya menolak mati-matian. Kini, jemarinya seolah hanya ditakdirkan untuk menuliskan isi kepala orang lain: Kepala Desa.