Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Arini Fairuza Nasywah - Pagar Laut

 



Angin berhembus kencang berlalu lalang membawa harumnya garam, langit cerah berwarna biru membuat ombak - ombak menari kesana kemari. Rambut hitam pekat Rere berterbangan mengikuti ritme angin yang berhembus, kaki mungil Rere yang bergerak cepat menapak di atas halusnya pasir putih, tangannya yang mungil menggenggam sebuah layangan merah yang menari - nari di langit.

 

“Cepat lah Rika! kau lambat sekali, layanganmu akan jatuh jika kau berlari selambat siput.” Rere meledek adiknya yang sudah tertinggal jauh di belakangnya.

 

“Hei tunggu aku!” Ucap Rika kesal karena melihat ekspresi muka Rere yang dari awal sudah meledeknya.

 

“Udah tau kamu kalau lari cepat, masih aja ngga tau diri ninggalin aku di belakang, kalau aku tiba tiba keseret ombak dan kamu ngga sadar gimana?!” Keringat sudah terjatuh bercucuran di muka Rika.

 

Mendengar ucapan Rika yang berlebihan Rere pun merasa sedikit takut jika apa yang dikatakan Rika akan terjadi. “Ah kamu mengada ngada doang itu mah, masa iya ketinggalan dikit keseret ombak? kayak kamu ngga bisa berenang aja. Sudah lah ngga usah ngomong gitu, kalau kejadian beneran gimana? mending kita duduk di situ aja liatin pantai!.”

 

Keindahan laut tersebut membuat Rere dan Rika tidak dapat memalingkan pandangan mereka. Terangnya sinar matahari yang memancarkan cahayanya ke arah dua gadis mungil itu, membuat mata coklat mereka terlihat lebih indah. Rere dan Rika selalu menyempatkan waktu mereka untuk mengunjungi pantai yang sangat indah itu. Senang, sedih, marah, mereka akan luapkan semua itu saat mereka menghabiskan waktu untuk berbagi cerita disana. Rere sang kakak, memang memiliki sifat jahil. Setiap ada kesempatan, Rere pasti akan selalu menjahili adiknya, Rika.

 

Dua gadis itu hidup dan lahir di rumah yang sekiranya cukup untuk berteduh bersama Ayah dan Ibu. Ekonomi mereka juga bisa dibilang pas - pasan. Meski begitu, keluarga mereka tidak mementingkan kemewahan yang mereka dapatkan, melainkan mementingkan keharmonisan keluarga mereka. Keluarga yang harmonis, siap membantu satu sama lain, susah senang dilalui bersama, semua itu merupakan hal yang terpenting bagi mereka. Ayah yang selalu berjuang untuk menghidupi keluarga kecil tersebut dengan bekerja sebagai nelayan, Ibu yang selalu menjual sayur sayuran untuk membantu penghasilan Ayah, Rere dan Rika dua anak perempuan yang mempunyai cita - cita tinggi untuk membahagiakan kedua orang tuanya.

 

“Jangan lupa bersih - bersih, makanan juga udah aku siapin di atas meja, setelah bersih - bersih jangan lupa makan. Jadi gimana hasil tangkapan hari ini?” Lina sang Ibu yang sedang mencuci sayur - sayuran untuk esok hari bertanya kepada Wisnu sang Ayah yang baru saja sampai di rumah.

 

“Ya sekiranya cukuplah untuk makan kita dan sekolah anak - anak. Kamu ngga usah khawatir Lina, aku ini pekerja keras, ngga mungkin aku pulang sebelum keluargaku bisa makan. Kalau kamu? hasil jual sayurmu gimana?” Muka Lina memang sedikit terlihat cemas, dia selalu takut dan memikirkan bagaimana jika uang untuk hari ini dan esok kurang? bagaimana jika kebutuhan Rere dan Rika tidak tercukupi?. Wisnu selalu punya cara sendiri untuk menenangkan Lina, karena dia tau bahwa istrinya itu sangat menyayangi dua gadis kecilnya itu.

 

Mendengar pertanyaan yang terucap dari mulut Wisnu, Lina terlihat sedikit menghembuskan nafasnya secara kasar. “Ntahlah.. selama seminggu ini orang - orang kelihatannya kurang butuh sayuranku. Tapi emang akhir - akhir ini sayurannya keliatan ngga seger. Aku bingung harus ngapain lagi buat bantuin kamu, aku merasa bersalah ngga bisa bantu kamu.”

 

“Jangan bilang begitu lahh.. dengan kamu berusaha aja itu udah ngebantu keluarga kita. Pasti ada jalan keluarnya, jangan terlalu dipikirkan sayuranmu itu, lagi pula menjual sayuran memang tidak mudah karena sayur yang tergantung musim. Ah sudahlah, lebih baik kamu istirahat sekarang, hari ini kayaknya emang melelahkan buat kamu.” Melihat raut wajah Lani yang menampakan rasa sedih, dia tahu bahwa istrinya sedang memikirkan banyak hal yang mungkin salah satunya adalah hal yang buruk.

 

Seperti biasa, pada pagi hari mereka berkumpul di ruang keluarga mereka yang kecil sambil menyantap makanan yang telah disajikan oleh Ibu sebelum mereka semua melakukan aktivitas mereka. Setelah mereka selesai menyantap sarapan, Ayah mengayuh sepedanya menuju pantai tempat dia berlayar mencari ikan untuk kehidupan keluarganya, Rere dan Rika berlari kecil dengan kaki mungil mereka menuju sekolah, dan Ibu menunggu semua orang pergi barulah dia bisa merapikan rumah dan melanjutkan pekerjaannya menjual sayuran di sekitar rumah mereka.

 

Langit terlihat suram, gelap, banyak sekali awan yang nampak gemuk seperti ingin sekali menjatuhkan hujan yang begitu lebat. Sesampainya di pantai tempat sang Ayah akan berlayar, para nelayan yang siap menangkap ikan lainnya berkumpul terlihat kebingungan dan cemas menatap ke arah laut. Tanpa berpikir panjang, Wisnu langsung beranjak menghampiri kerumunan para nelayan tersebut. Terdengar samar - samar para nelayan berbincang mengenai ‘pagar laut’ yang tampak membentang sepanjang 30,16 kilometer. Melihat ‘pagar laut’ tersebut, Wisnu merasa terpuruk, semua pertanyaan membebani pikirannya. Bagaimana cara dia bisa membeli makan walau hanya sesuap ? bagaimana dengan masa depan kedua gadis kecilnya? bagaimana dengan istrinya? bagaimana dengan keluarga kecilnya?.

 

“Apa apaan ini?! kenapa semuanya ditutup oleh pagar laut itu?! siapa yang berulah?!” Wisnu tersulut oleh emosinya, semua pandangan para nelayan langsung tertuju pada Wisnu yang baru saja tiba dan berteriak.

 

“Hei Wisnu, tenanglah dulu. Kami semua juga tidak tau siapa dalang dari pagar laut ini. Kau ini baru datang,  janganlah kau membuat suasana ini makin panas” Ucap salah satu nelayan. Dia  merasa terganggu dengan kehadiran Wisnu yang baru saja datang dan membuat keributan.

 

“Tenang katamu?! bagaimana dengan keluargaku? aku berpenghasilan hanya dengan menjadi seorang pelayan dan istriku menjual sayuran hanya demi membantu keuangan keluarga kami! bagaimana aku bisa tenang saat keluargaku kesulitan dan aku tidak tau harus bagaimana untuk mencari uang yang cukup untuk keluargaku?!” Wisnu yang mendengar ucapan nelayan tersebut merasa tidak terima bahwa dirinya diperintahkan untuk tenang dengan keadaan yang sangat jelas mengancam pekerjaan dirinya. “Apa kau bahkan memikirkan keluargamu sendiri?! bagaimana jika keluargamu tidak bisa makan dalam beberapa hari kedepan?!”

 

Hendra, sesama nelayan sekaligus teman baik Wisnu, yang sedari tadi hanya menonton keributan tersebut, langsung  turun tangan setelah dia mendengar ucapan Wisnu yang menurutnya sudah berlebihan. “Sudah - sudah! semuanya bubar! tidak ada yang perlu dilihat lagi disini. Hei Wisnu, cobalah tenang sedikit, kami semua sama bingungnya disini. Benar kata orang itu, kau bahkan baru sampai. Seperti katamu itu, kau selalu akan mencari jalan keluarnya. Ingat itu.”

 

“Aku tidak peduli apa kata orang, yang penting aku akan tetap berlayar.” Tanpa berpikir panjang, Wisnu langsung mempersiapkan semua peralatannya untuk berlayar.

 

“Apa kau sudah gila?! cuaca sangat buruk, laut itu baru saja diberi pagar, dan kau tetap berlayar?” Tak peduli seberapa keras Hendra menghalangi dirinya, Wisnu tetap akan berlayar bagaimana pun caranya.

 

“Lebih baik kau pulang saja Hen. Jangan halangi aku.”

 

Awan yang sudah lama menahan dirinya agar satu tetes air hujan tidak jatuh sama sekali pun sudah tidak tahan menahan hujan yang begitu deras. Cuaca yang sangat buruk dan dipastikan sangat tidak baik untuk para nelayan berlayar bahkan tidak menjadi halangan Wisnu untuk berlayar. Langit yang semakin kelabu, ombak yang tenang berubah menjadi ombak yang memberontak, dan ‘pagar laut’ yang tampak siap untuk menjatuhkan siapapun yang berani berlayar melewatinya, tetap saja tidak menghalangi dirinya. 1 perahu kecil sudah berlayar menerjang ganasnya ombak.

 

“Aku pasti berhasil! tidak ada yang bisa menghalangiku!”

 

Badan ‘pagar laut’ tersebut sudah nampak di ujung matanya, dengan segala upaya dilakukan untuk melewatinya. Seperti yang diharapkannya, Wisnu berhasil melewati pagar tersebut. Baru saja dia berhasil melewatinya, ombak besar yang begitu ganas datang dan berhasil mendorong perahu kecil itu sampai mendorongnya mengenai tepat ‘pagar laut’ tersebut. Perahu kecil yang sudah hancur lebur itu bukanlah bagian terburuk, melainkan kepingan ‘pagar laut’ yang berhasil menusuk dan mencabik badannya.

 

Malam hari tiba dan Lina dipenuhi dengan kecemasan. Makanan yang tadinya hangat sudah dingin, kedua gadis kecil mereka sudah tertidur lelap, dan Wisnu sang Ayah belum pulang dan tidak ada kabar. Puncak malam hari tiba, Lina yang dari tadi menunggu kedatangan Wisnu sudah tidak kuat melawan rasa lelahnya. Baju yang terlipat rapi bahkan menunggu kedatangannya, berharap bahwa dia akan dikenakan untuk beristirahat. Tibalah malam yang akan menjadi malam terburuk bagi keluarga kecil itu.

 

“LINA! LINA!” Salah satu warga dekat rumah mereka berteriak sambil memukul pintu rumah sederhana itu.

 

“Ada apa ini? ini sudah sangat larut.” Dengan muka lelahnya, Lina diiringi dengan rasa penasaran.

 

“Tidak usah bertanya sekarang, kau harus segera pergi ke pantai! cepatlah!”

 

Tanpa berpikir panjang Lina segera pergi ke pantai dengan segala pikiran buruk yang menghantuinya. Dia merasa ini adalah salah satu alasan suaminya tak kunjung datang ke rumah. Dari kejauhan, terlihat bongkahan perahu kecil yang ditumpuk rapi dan warga yang berkumpul di satu titik dekat perahu kecil tersebut. Lina semakin dihantui dengan pikiran buruk tentang suaminya. Dan benar saja, suaminya Wisnu sudah terbaring tak bernyawa dengan kayu yang menancap di seluruh badannya.