Angin berhembus kencang berlalu lalang membawa harumnya
garam, langit cerah berwarna biru membuat ombak - ombak menari kesana kemari.
Rambut hitam pekat Rere berterbangan mengikuti ritme angin yang berhembus, kaki
mungil Rere yang bergerak cepat menapak di atas halusnya pasir putih, tangannya
yang mungil menggenggam sebuah layangan merah yang menari - nari di langit.
“Cepat lah Rika! kau lambat sekali, layanganmu akan jatuh
jika kau berlari selambat siput.” Rere meledek adiknya yang sudah tertinggal
jauh di belakangnya.
“Hei tunggu aku!” Ucap Rika kesal karena melihat ekspresi
muka Rere yang dari awal sudah meledeknya.
“Udah tau kamu kalau lari cepat, masih aja ngga tau diri
ninggalin aku di belakang, kalau aku tiba tiba keseret ombak dan kamu ngga
sadar gimana?!” Keringat sudah terjatuh bercucuran di muka Rika.
Mendengar ucapan Rika yang berlebihan Rere pun merasa
sedikit takut jika apa yang dikatakan Rika akan terjadi. “Ah kamu mengada ngada
doang itu mah, masa iya ketinggalan dikit keseret ombak? kayak kamu ngga bisa
berenang aja. Sudah lah ngga usah ngomong gitu, kalau kejadian beneran gimana?
mending kita duduk di situ aja liatin pantai!.”
Keindahan laut tersebut membuat Rere dan Rika tidak dapat
memalingkan pandangan mereka. Terangnya sinar matahari yang memancarkan
cahayanya ke arah dua gadis mungil itu, membuat mata coklat mereka terlihat
lebih indah. Rere dan Rika selalu menyempatkan waktu mereka untuk mengunjungi
pantai yang sangat indah itu. Senang, sedih, marah, mereka akan luapkan semua
itu saat mereka menghabiskan waktu untuk berbagi cerita disana. Rere sang
kakak, memang memiliki sifat jahil. Setiap ada kesempatan, Rere pasti akan selalu
menjahili adiknya, Rika.
Dua gadis itu hidup dan lahir di rumah yang sekiranya cukup
untuk berteduh bersama Ayah dan Ibu. Ekonomi mereka juga bisa dibilang pas -
pasan. Meski begitu, keluarga mereka tidak mementingkan kemewahan yang mereka
dapatkan, melainkan mementingkan keharmonisan keluarga mereka. Keluarga yang
harmonis, siap membantu satu sama lain, susah senang dilalui bersama, semua itu
merupakan hal yang terpenting bagi mereka. Ayah yang selalu berjuang untuk
menghidupi keluarga kecil tersebut dengan bekerja sebagai nelayan, Ibu yang
selalu menjual sayur sayuran untuk membantu penghasilan Ayah, Rere dan Rika dua
anak perempuan yang mempunyai cita - cita tinggi untuk membahagiakan kedua
orang tuanya.
“Jangan lupa bersih - bersih, makanan juga udah aku siapin
di atas meja, setelah bersih - bersih jangan lupa makan. Jadi gimana hasil
tangkapan hari ini?” Lina sang Ibu yang sedang mencuci sayur - sayuran untuk
esok hari bertanya kepada Wisnu sang Ayah yang baru saja sampai di rumah.
“Ya sekiranya cukuplah untuk makan kita dan sekolah anak -
anak. Kamu ngga usah khawatir Lina, aku ini pekerja keras, ngga mungkin aku
pulang sebelum keluargaku bisa makan. Kalau kamu? hasil jual sayurmu gimana?”
Muka Lina memang sedikit terlihat cemas, dia selalu takut dan memikirkan
bagaimana jika uang untuk hari ini dan esok kurang? bagaimana jika kebutuhan
Rere dan Rika tidak tercukupi?. Wisnu selalu punya cara sendiri untuk
menenangkan Lina, karena dia tau bahwa istrinya itu sangat menyayangi dua gadis
kecilnya itu.
Mendengar pertanyaan yang terucap dari mulut Wisnu, Lina
terlihat sedikit menghembuskan nafasnya secara kasar. “Ntahlah.. selama
seminggu ini orang - orang kelihatannya kurang butuh sayuranku. Tapi emang
akhir - akhir ini sayurannya keliatan ngga seger. Aku bingung harus ngapain
lagi buat bantuin kamu, aku merasa bersalah ngga bisa bantu kamu.”
“Jangan bilang begitu lahh.. dengan kamu berusaha aja itu
udah ngebantu keluarga kita. Pasti ada jalan keluarnya, jangan terlalu
dipikirkan sayuranmu itu, lagi pula menjual sayuran memang tidak mudah karena
sayur yang tergantung musim. Ah sudahlah, lebih baik kamu istirahat sekarang,
hari ini kayaknya emang melelahkan buat kamu.” Melihat raut wajah Lani yang
menampakan rasa sedih, dia tahu bahwa istrinya sedang memikirkan banyak hal
yang mungkin salah satunya adalah hal yang buruk.
Seperti biasa, pada pagi hari mereka berkumpul di ruang
keluarga mereka yang kecil sambil menyantap makanan yang telah disajikan oleh
Ibu sebelum mereka semua melakukan aktivitas mereka. Setelah mereka selesai
menyantap sarapan, Ayah mengayuh sepedanya menuju pantai tempat dia berlayar
mencari ikan untuk kehidupan keluarganya, Rere dan Rika berlari kecil dengan
kaki mungil mereka menuju sekolah, dan Ibu menunggu semua orang pergi barulah
dia bisa merapikan rumah dan melanjutkan pekerjaannya menjual sayuran di
sekitar rumah mereka.
Langit terlihat suram, gelap, banyak sekali awan yang nampak
gemuk seperti ingin sekali menjatuhkan hujan yang begitu lebat. Sesampainya di
pantai tempat sang Ayah akan berlayar, para nelayan yang siap menangkap ikan
lainnya berkumpul terlihat kebingungan dan cemas menatap ke arah laut. Tanpa
berpikir panjang, Wisnu langsung beranjak menghampiri kerumunan para nelayan
tersebut. Terdengar samar - samar para nelayan berbincang mengenai ‘pagar laut’
yang tampak membentang sepanjang 30,16 kilometer. Melihat ‘pagar laut’
tersebut, Wisnu merasa terpuruk, semua pertanyaan membebani pikirannya.
Bagaimana cara dia bisa membeli makan walau hanya sesuap ? bagaimana dengan
masa depan kedua gadis kecilnya? bagaimana dengan istrinya? bagaimana dengan
keluarga kecilnya?.
“Apa apaan ini?! kenapa semuanya ditutup oleh pagar laut
itu?! siapa yang berulah?!” Wisnu tersulut oleh emosinya, semua pandangan para
nelayan langsung tertuju pada Wisnu yang baru saja tiba dan berteriak.
“Hei Wisnu, tenanglah dulu. Kami semua juga tidak tau siapa
dalang dari pagar laut ini. Kau ini baru datang, janganlah kau membuat suasana ini makin
panas” Ucap salah satu nelayan. Dia
merasa terganggu dengan kehadiran Wisnu yang baru saja datang dan
membuat keributan.
“Tenang katamu?! bagaimana dengan keluargaku? aku
berpenghasilan hanya dengan menjadi seorang pelayan dan istriku menjual sayuran
hanya demi membantu keuangan keluarga kami! bagaimana aku bisa tenang saat
keluargaku kesulitan dan aku tidak tau harus bagaimana untuk mencari uang yang
cukup untuk keluargaku?!” Wisnu yang mendengar ucapan nelayan tersebut merasa
tidak terima bahwa dirinya diperintahkan untuk tenang dengan keadaan yang
sangat jelas mengancam pekerjaan dirinya. “Apa kau bahkan memikirkan keluargamu
sendiri?! bagaimana jika keluargamu tidak bisa makan dalam beberapa hari
kedepan?!”
Hendra, sesama nelayan sekaligus teman baik Wisnu, yang
sedari tadi hanya menonton keributan tersebut, langsung turun tangan setelah dia mendengar ucapan
Wisnu yang menurutnya sudah berlebihan. “Sudah - sudah! semuanya bubar! tidak
ada yang perlu dilihat lagi disini. Hei Wisnu, cobalah tenang sedikit, kami
semua sama bingungnya disini. Benar kata orang itu, kau bahkan baru sampai.
Seperti katamu itu, kau selalu akan mencari jalan keluarnya. Ingat itu.”
“Aku tidak peduli apa kata orang, yang penting aku akan
tetap berlayar.” Tanpa berpikir panjang, Wisnu langsung mempersiapkan semua
peralatannya untuk berlayar.
“Apa kau sudah gila?! cuaca sangat buruk, laut itu baru saja
diberi pagar, dan kau tetap berlayar?” Tak peduli seberapa keras Hendra
menghalangi dirinya, Wisnu tetap akan berlayar bagaimana pun caranya.
“Lebih baik kau pulang saja Hen. Jangan halangi aku.”
Awan yang sudah lama menahan dirinya agar satu tetes air
hujan tidak jatuh sama sekali pun sudah tidak tahan menahan hujan yang begitu
deras. Cuaca yang sangat buruk dan dipastikan sangat tidak baik untuk para
nelayan berlayar bahkan tidak menjadi halangan Wisnu untuk berlayar. Langit
yang semakin kelabu, ombak yang tenang berubah menjadi ombak yang memberontak,
dan ‘pagar laut’ yang tampak siap untuk menjatuhkan siapapun yang berani
berlayar melewatinya, tetap saja tidak menghalangi dirinya. 1 perahu kecil
sudah berlayar menerjang ganasnya ombak.
“Aku pasti berhasil! tidak ada yang bisa menghalangiku!”
Badan ‘pagar laut’ tersebut sudah nampak di ujung matanya,
dengan segala upaya dilakukan untuk melewatinya. Seperti yang diharapkannya,
Wisnu berhasil melewati pagar tersebut. Baru saja dia berhasil melewatinya,
ombak besar yang begitu ganas datang dan berhasil mendorong perahu kecil itu
sampai mendorongnya mengenai tepat ‘pagar laut’ tersebut. Perahu kecil yang
sudah hancur lebur itu bukanlah bagian terburuk, melainkan kepingan ‘pagar
laut’ yang berhasil menusuk dan mencabik badannya.
Malam hari tiba dan Lina dipenuhi dengan kecemasan. Makanan
yang tadinya hangat sudah dingin, kedua gadis kecil mereka sudah tertidur
lelap, dan Wisnu sang Ayah belum pulang dan tidak ada kabar. Puncak malam hari
tiba, Lina yang dari tadi menunggu kedatangan Wisnu sudah tidak kuat melawan
rasa lelahnya. Baju yang terlipat rapi bahkan menunggu kedatangannya, berharap
bahwa dia akan dikenakan untuk beristirahat. Tibalah malam yang akan menjadi
malam terburuk bagi keluarga kecil itu.
“LINA! LINA!” Salah satu warga dekat rumah mereka berteriak
sambil memukul pintu rumah sederhana itu.
“Ada apa ini? ini sudah sangat larut.” Dengan muka lelahnya,
Lina diiringi dengan rasa penasaran.
“Tidak usah bertanya sekarang, kau harus segera pergi ke
pantai! cepatlah!”
Tanpa berpikir panjang Lina segera pergi ke pantai dengan
segala pikiran buruk yang menghantuinya. Dia merasa ini adalah salah satu
alasan suaminya tak kunjung datang ke rumah. Dari kejauhan, terlihat bongkahan
perahu kecil yang ditumpuk rapi dan warga yang berkumpul di satu titik dekat
perahu kecil tersebut. Lina semakin dihantui dengan pikiran buruk tentang
suaminya. Dan benar saja, suaminya Wisnu sudah terbaring tak bernyawa dengan
kayu yang menancap di seluruh badannya.