Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Arip | Tirai Bambu di Laut Kami

 Cerpen Arip



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Mentari pagi yang cerah membangunkan kehidupan di sepanjang pesisir Teluk Renjana yang sunyi. Segara menggeliat, mencoba menyingkirkan rasa kantuknya. Tubuhnya masih lelah Setelah semalaman menemani kakeknya mengarungi lautan untuk mencari ikan. 


Setelah merapikan seragamnya, Segara keluar rumah sambil menenteng tas. Angin laut masih terasa dingin meniup wajahnya saat ia melangkah di jalan setapak berpasir. Di kejauhan, Segara melihat kakeknya sibuk menata ikan di atas bakul untuk dijual ke pasar.


“Hati-hati di jalan!” seru sang kakek.


Segara tersenyum, melambaikan tangan, lalu melangkah perlahan, meninggalkan rumah menuju sekolah.


Di tengah perjalanan, Segara melihat beberapa orang menurunkan sebuah mobil Rubicon di depan rumah Pak Kades. Mata Segara menyipit, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Ini adalah mobil kedua yang dibeli oleh Pak Kades dalam enam bulan terakhir.


“Dari mana Pak Kades mendapatkan uang sebanyak itu? Apa mungkin gaji seorang kepala desa sebesar itu?” gumamnya dalam hati.


Segara menghela napas panjang, mencoba menepis pikirannya yang penuh tanda tanya. Ia melanjutkan langkah menuju sekolah, meyakinkan dirinya bahwa mungkin ada alasan yang wajar di balik semua itu.


Saat sampai di sekolah, Segara melangkah masuk ke kelas dengan langkah tenang. Ia meletakkan tas di meja dan hendak duduk, tetapi tiba-tiba—bruk! Kursinya ditarik ke belakang oleh Topan. Segara kehilangan keseimbangan dan jatuh keras ke lantai. Seketika, suara tawa pecah di seluruh kelas.


“Hahaha! Lihat tuh, nelayan jatuh!” ejek Topan sambil menepuk-nepuk pundak temannya.


Segara meringis, menahan sakit di punggungnya. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah dan rasa malu di wajahnya.


Di tengah gelak tawa, Oceana bergegas mendekat dan mengulurkan tangan. “Segara, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut.


Topan mendengus. “Ngapain sih lu bantuin dia? Jijik nggak sih? Seragamnya aja lusuh, kayak lap di rumah gue!” Ia kembali tertawa, diikuti teman-temannya.


Segara menatap Topan tajam, tapi ia tetap menerima uluran tangan Oceana dan berdiri.


“Eh, Topan! Lu kok jahat banget sih? Gimana kalau Segara kenapa-napa?!” seru Oceana, matanya menyala penuh amarah.


Topan hanya menyeringai, lalu mengangkat bahu santai. “Santai aja, Ca. Dia kan anak nelayan, udah biasa jatuh di kapal,” ujarnya sambil terkekeh, diikuti tawa teman-temannya.


Segara mengepalkan tangan, menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Ia ingin membalas, tapi hanya bisa menggigit bibir, mencoba menekan amarah yang hampir meluap.


Sementara itu, Oceana masih berdiri tegak di hadapan Topan. “Kamu pikir ini lucu, hah?! Mainan?! Kalau Segara cedera, kamu tanggung jawab?!” suaranya meninggi, membuat suasana kelas mendadak hening.


Topan hanya terkekeh, seolah tak peduli. Dengan santai, ia kembali ke tempat duduknya, seakan kejadian tadi bukan hal besar. Segara menarik napas dalam, berusaha mengendalikan diri.


Saat bel pulang berbunyi, Segara segera pulang. Di tengah jalan, ia mendengar suara langkah kaki.


Segara menghela napas dan terus berjalan, tapi tiba-tiba sebuah dorongan kuat dari belakang membuatnya tersungkur ke tanah. Lututnya tergores di aspal kasar, dan sebelum ia sempat bangkit, satu pukulan mendarat di perutnya.


Namun, setelah pukulan terakhir itu, Segara tiba-tiba diam tak bergerak.


Wajah Topan memucat. “Eh… Segara?” Ia mengguncang tubuh Segara, tapi tidak ada reaksi.


Salah satu temannya berseru, “Topan, dia… dia pingsan!”


Topan panik. Tanpa pikir panjang, ia menggendong tubuh Segara. "Sial! Kita harus bawa dia ke tempat aman!" katanya, suaranya penuh ketakutan.


Untuk pertama kalinya, Topan merasa benar-benar takut.


Di tempat kosong yang sepi dan gelap, Topan meletakkan tubuh Segara dengan panik. Keringat dingin membasahi dahinya.


"Gimana ini? Kalau dia kenapa-napa, gue bisa kena masalah!" katanya dengan suara gemetar.


Salah satu temannya, Rian, menepuk pundaknya. “Santai, Pan. Dia Cuma pingsan. Sebentar lagi juga sadar.”


Topan menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba temannya yang lain, Dika, berbicara dengan nada lebih rendah. “Pan, daripada mikirin Segara, lo nggak takut bokap lo kena masalah lebih gede?


Topan mengerutkan kening. “Maksud lo?”


Dika melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang lain. “Gue nggak sengaja denger waktu bokap lo ngobrol sama seseorang di telepon. Lo tau kan soal proyek pagar laut itu? Ternyata itu semua ada permainan kotor. Bokap lo dapet suap biar proyek itu lancar. Makanya, dia bisa beli mobil baru terus.”


Mata Topan membelalak. “Serius lo?” suaranya menurun, seolah takut ada yang mendengar.


Rian mengangguk. “Gue juga pernah denger. Itu proyek gede, tapi yang kena dampaknya siapa? Para nelayan! Laut mereka bakal rusak, hasil tangkapan berkurang. Tapi bokap lo diem aja, karena dia udah dikasih duit.”


Topan terdiam, napasnya memburu. Ia tak pernah menyangka kekayaan ayahnya berasal dari sesuatu yang kotor.


Di sisi lain, Segara yang masih tergeletak mulai siuman. Meski matanya belum terbuka, telinganya menangkap setiap kata. Seketika, rasa sakit di tubuhnya terlupakan.


“Pagar laut… suap… nelayan menderita…” pikirnya dalam hati.


Segara menahan napas, tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya mulai jernih. Ia baru saja mengetahui sesuatu yang sangat penting—rahasia yang bisa mengguncang desanya.


Sementara itu, Topan masih berdiri dengan wajah tegang. “Bokap gue beneran terlibat sejauh itu?” tanyanya dengan suara pelan.


Rian mengangguk. “Iya, Pan. Gue denger sendiri. Para nelayan bakal kehilangan mata pencaharian. Tapi bokap lo nggak peduli, asal duit terus masuk.”


Topan mengepalkan tangan. Ia ingin membantah, tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada yang tidak beres dengan kekayaan ayahnya yang datang begitu cepat.


Di saat itu, Segara menggerakkan jemarinya. Tubuhnya masih lemah, tapi ia mencoba bangkit. Sayangnya, gerakan kecil itu menarik perhatian Dika.


“Eh, Pan… kayaknya Segara sadar!” serunya dengan panik.


Topan langsung berbalik. Ia melihat Segara yang mulai membuka mata dengan napas tersengal. Wajahnya seketika memucat. Jika Segara


Segara menatap Topan dengan waspada. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena tubuhnya masih terasa sakit, tetapi juga karena ia tahu dirinya dalam bahaya.


“Gue harus kabur dari sini,” pikirnya.


Tanpa menunggu lebih lama, Segara tiba-tiba mendorong tubuh Topan dengan sisa tenaganya. Dorongan itu cukup kuat hingga Topan terhuyung ke belakang. Tanpa membuang waktu, Segara berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu.


“Woy, kejar dia!” teriak Topan panik.


Rian dan Dika langsung berusaha mengejar, tapi Segara sudah lebih dulu berlari ke arah perkampungan nelayan. Nafasnya berat, kakinya terasa nyeri, tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: para nelayan harus tahu tentang rencana jahat ini!


Ia menerobos jalan setapak, melompati pagar kayu kecil, dan akhirnya tiba di dermaga tempat beberapa nelayan sedang membongkar hasil tangkapan.


“Pak! Semua harus tahu! Ini tentang pagar laut!” teriaknya dengan napas tersengal.


“Pak, saya dengar Kepala Desa kita disuap! Proyek pagar laut itu hanyalah kedok untuk meraup uang mereka!”


Suasana hening sejenak, lalu para nelayan saling memandang dengan kaget dan muram.


Para nelayan mulai berseru satu sama lain.


“Jadi benar? Kepala desa kita disuap?”


“Gimana nasib kita kalau pagar laut itu dibangun?”


“Kalau benar dia menjual laut kita, kita nggak bisa tinggal diam!”


Topan merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Ia melihat ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar. Wajahnya pucat, keringat membasahi dahinya.


“Gue… gue nggak tau apa-apa!” katanya gugup.


Pak Wirya menatapnya tajam. “Kamu bisa bohong ke kami, Nak. Tapi laut nggak pernah bohong. Kalau kamu memang nggak tahu apa-apa, kenapa kamu panik?”


Para nelayan mulai berteriak lebih keras. Beberapa dari mereka menggenggam erat tali dan jaring seolah siap bertindak. Topan mundur selangkah, lalu berbalik dan berlari pergi bersama Rian dan Dika, meninggalkan Segara dan para nelayan di dermaga.


Pak Wirya menoleh ke Segara. “Anak muda, kalau yang kamu katakan benar, kita nggak bisa tinggal diam. Kita harus melawan.”


Segara mengangguk, meski tubuhnya masih lelah. “Kita harus segera lapor ke KKP sebelum semuanya terlambat.”


Pak Wirya mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada nelayan lain. “Kita kumpulkan semua bukti. Kita tunjukkan kalau kita bukan orang bodoh yang bisa dibohongi!”


Malam itu, di rumah Pak Wirya, Segara, kakeknya, dan beberapa nelayan berkumpul dalam suasana tegang. Lampu minyak menerangi ruangan seadanya, sementara suara deburan ombak terdengar dari kejauhan.


“Kita harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat,” kata Pak Wirya dengan suara mantap. “Kalau proyek itu jadi, kita akan kehilangan laut kita.”


Segara mengangguk. “KKP pasti bisa membantu. Tapi kita harus melaporkan ini dengan jelas.”


Kakeknya menatap mereka. “Besok pagi, kita pergi ke kantor perwakilan KKP di kota. Ini satu-satunya cara.” Ucap sang kakek


Keesokan harinya, mereka berangkat ke kantor KKP. Setelah sampai, mereka langsung diterima oleh petugas KKP yang terkejut mendengar laporan mereka.


Tanpa menunggu lama, tim investigasi KKP mendatangi kantor desa tanpa pemberitahuan, mereka memeriksa dokumen proyek, dan menginterogasi beberapa staf.


Saat penggeledahan, ditemukan catatan transaksi mencurigakan serta dokumen kontrak yang tidak wajar dari pihak swasta kepada kepala desa.


Di tengah pemeriksaan, kepala desa mencoba menyangkal. “Ini pasti salah paham! Saya tidak tahu apa-apa!” katanya dengan panik.


Namun, salah satu staf desa akhirnya buka suara, mengakui adanya praktik suap. Bukti yang terkumpul cukup kuat untuk menyeret kepala desa ke meja hukum.


Para nelayan yang menunggu di luar mulai berbisik-bisik. Segara menatap kantor desa dengan napas tertahan.


 Beberapa bulan setelah investigasi, kepala desa dinyatakan bersalah atas kasus suap dan penyalahgunaan wewenang. Ia dijatuhi hukuman penjara, sementara proyek pagar laut resmi dibongkar. Pemerintah setempat, dengan bantuan TNI AL mulai merestorasi wilayah pesisir yang sempat rusak.


Para nelayan kembali beraktivitas seperti dulu. Kapal-kapal mereka berlayar di lautan yang kini bebas tanpa halangan pagar bambu. Suara tawa dan semangat kembali menghidupkan dermaga.


Sore itu, Segara dan Oceana duduk di atas batu karang, menikmati hembusan angin laut. Ombak bergulung dengan bebas, memantulkan cahaya matahari senja yang berkilauan di permukaan air.


“Akhirnya, laut ini kembali seperti dulu,” Oceana tersenyum, menatap langit  yang luas.


Segara mengangguk. “Ini bukan hanya kemenangan kita, tapi juga laut yang selama ini memberi kita kehidupan.”


Mereka duduk, menikmati ketenangan yang dulu sempat hilang. Kini, pantai dan laut bukan lagi milik segelintir orang, melainkan tetap menjadi rumah bagi mereka yang menggantungkan hidup di atasnya.