Semua
kemalanganku berawal dari pasak-pasak keparat itu!
Ingatan empat
tahun silam mendadak muncul bak kilas balik walau tidak kuinginkan. Dulu, aku
memiliki kebiasaan menghabiskan akhir pekan dengan melaut. Meskipun kini
bergaji belasan juta, dulu aku hanya anak yatim piatu yang bergantung hidup
dengan kail, tombak, hingga lembaran jala. Rupanya, kekasihku juga menyukai
laut walaupun ia adalah putri kesayangan seorang komisaris polisi. Saking
uniknya, kencan kami justru berlayar meninggalkan desa Kohod di kala senja.
Memang tidak lazim, tetapi menikmati hembusan udara beraroma garam berteduh
langit jingga yang teduh begitu tentram rasanya. Terlebih, kami bisa berbalas
cumbu rayu sambil menyantap rajungan atau berlomba memancing. Romantis, bukan?
Akan tetapi, kencan
manis ini justru berakhir di bulan Mei. Tidak ada nada yang melengking yang
saling berbalas di antara kami. Tidak ada muka masam atau punggung beku di
antara Kami. Penyebabnya justru aneh: Kami tidak bisa melaut sebagaimana
biasanya.
“Ini kenapa ada bambu
yang nyangkut, sih?” Kataku meruntuk selagi membuang bambu yang tersangkut di
mesin perahu.
“Sayang, Kita
kembali saja, yuk!” Pinta kekasihku dengan raut yang justru gamang, bukan
kecewa. “Lagipula, Kita bisa menonton ke bioskop ataupun makan di restoran,
bukan? Kita hilangkan beban ini Bersama dan berdampingan!” Ucapnya sambil
menepuk bahuku yang sedikit terkilir. Karena mentari kian terbenam, aku
mendayung kembali dan mengganti lokasi kencan kami.
Hanya saja, dia
tidak lagi muncul atau membalas pesan setelahnya.
Akhir pekan
berikutnya Aku melaut sebagai pelarian dari kehilangan dirinya. Setidaknya, aneka
prasangka yang bukan-bukan dapat hilang kala memburu puluhan rajungan. Hanya
saja, Aku malah menghadapi kejadian yang tak biasa.
“Hei, bukankah
bambunya malah makin banyak?” Kata temanku. “Kalau begini terus, bagaimana bisa
Kita ke tengah laut?”
“Lebih buruknya
lagi, Kita jadi susah mendapat rajungan,” Balasku menyebut kerugian lainnya.
Bukan tanpa alasan, bebatuan dan pasir yang dihujam oleh puluhan pasak bambu
menjadi alasan bagi para rajungan melarikan diri. Siapapun yang mematoknya,
mereka sudah membunuh banyak kehidupan, termasuk kami dan lautan ini. Ini
benar-benar buruk.
“Hei, Apa Kita
langsung cabut aja bambu-bambunya?” Usul temanku.
“Bukankah sebaiknya
Kita lapor dulu ke balai desa?” Tanyaku sedikit gamang.
“Bah! Tahu
sendiri tabiat Pak Kepala Desa seperti apa!” Hardik temanku lantang.
Ah, Aku lupa!
Pria itu amat terkenal berkat seribu satu macam gelagatnya: laporan yang
terbengkalai, menikmati kedai remang-remang, omongannya mencla-mencle, bantuan
yang takarannya tiada sama dengan timbangan, dan masih banyak lainnya. Singkat
saja, pria paruh baya bermoncong tajam itu adalah pria tua yang madar sokah,
dan congkak. Mengingat dia yang memangku kursi raja kerdilnya selama tiga
periode membuatku mengurut dada.
“Kita cabut saja
sendiri! Tak ada gunanya memang,” Ucapku agak naik pitam. Kami lekas mencebur
diri dan mengangkut belasan ke perahu. Barangkali, itulah alasan mengapa malam
itu Aku pulang dengan pontang-panting. Aduh! Bahuku mendadak nyeri.
Rupanya, urusan kami
masih belum berakhir!
Pada paginya,
gawaiku berguncang hebat hingga terjun bebas dari tepi jurang dari meja makan.
Aku bergegas dan mendapati adanya pesan masuk dengan nama dan isi yang tertulis
tebal berhuruf kapital. Ada apa dengan si Bos hingga menghubungiku tepat pukul
tiga pagi? Kalau dipikir lagi, mungkin ini ada kaitannya dengan klien yang
mendadak membatalkan kontrak atau semacamnya. Bah, itu masih bisa kuurus,
bukan!
“Mulai hari ini,
saudara telah diberhentikan perusahaan. Silahkan untuk menghadap Saya pukul
tujuh dan kemasi seluruh barang Anda.” Aku membacanya berulang kali.
Kenapa Aku
dipecat?
Walau nafasku
amat jejal, Aku masih mampu melangkah hingga tepat di depan batang hidungnya
tepat waktu. Lelaki repui yang menjadi bosku hanya mengulang isi pesan itu
berikut dengan secarik surat akhir kontrak. Tak ayal, Aku menyalak balik dengan
seluruh pencapaian yang kuraih untuk perusahaan. Melirik air mukanya yang penuh
acuh, Aku berpaling meninggalkan tempat penuh kobaran angkara murka.
Ping!
Rupanya, gawaiku
kembali berdering dan bergetar dari celana. Aku merogoh sakuku sebentar dan
mendapati panggilan dari temanku.
“Hei, Kau tidak
ada di rumah, kan?” Tanya dengan suara yang amat serak, “Ada Polisi sama Pak
Kades mendobrak masuk dan menggeledah rumahmu! Buruan Pergi dulu dari sini! Aku
juga lagi di kejar!”
Polisi?
Belum sempat
kutanya balik, telepon mendadak terputus. Sekilas, Aku mendengar pekikan
lantang dirinya yang menggerutu kesakitan. Apakah dia ikut tertangkap?
Lagipula, kenapa Kami mendadak menjadi penyamun yang tengah diburu? Aku lekas
berlari tunggang-langgang.
Tunggu, bukankah
ayahnya itu Komisaris di Teluk Naga? Aku mengusap layar gawai dan membuka aneka
media sosial dan mencari kontak pacarku. Aku dan ayahnya cukup akrab hingga
membuka pujasera di Ciputat. Untungnya, Aku menemukan kontaknya berkat status
dirinya yang terpampang paling pertama di Instagram.
Nahasnya, aku
malah mengamati dia dengan seorang lelaki, cincin di jari manis, dan kutipan
yang amat tidak kupahami.
“Betapa indah
hubungan yang siap berlabuh ke pelaminan. I Love You!”
Tunggu, apa ini? Aku langsung berganti ke fitur pesan langsung, tetapi
gagal kuakses. Kenapa cintaku dikhianati? Bukahkah kita, tepat di biduk di
kencan terakhir Kita, sudah saling bertukar janji untuk saling berbagi dan
berdampingan? Bahkan, mengapa Kau tidak memberiku sebuah perpisahan yang
layaknya sebagai seorang manusia?
Brukk!
Aku terbanting
dengan ponselnya yang meluncur pergi dari genggaman hingga mengarungi arus kali
yang amat berderu. Mataku kian buram, kian gelap. Telingaku tertutup hingga
suara yang terdengar hanyalah suara kaca pecah. Sesekali punggungku dihantam,
diikuti dengan beberapa sayatan yang amat perih. Keadaanku mendadak berubah
Ketika Aku … bertemu dengan temanku berkawan dengan pasak – pasak besi yang
menjadi sangkar pengasingan kumpulan orang-orang durjana.
“Kawan, apa yang
Kau renungkan?” tanya temanku yang kerutan di dahinya kian nampak bak menua
lebih dari empat tahun.
Benar juga …
sudah empat tahun telah berlalu ….
“Barusan,
berbagai kilas balik yang masih kuingat mendadak timbul,” Jawabku dengan helaan
nafas yang berat.
“Empat tahun
lalu?” Temanku menerka pikirku dengan mengungkit tentang waktu. Aku hanya
mengangguk kosong. Dia membuang muka sejenak dan kembali berkata, “Apapun yang
terjadi sejak empat tahun kita lalui itu hanya berkutat dengan pasak bamboo
laut hingga sangkar besi polisi. Tidak ada hal yang bagus, terlebih Kau yang
dunianya jungkir balik hingga porak-poranda. Buang saja semuanya dan mari
berpikir tentang masa depan!”
“Ada satu hal
yang mengganjal,” Balasku jujur. “Sebenarnya –”
“Apa pokok
perkara hingga beberapa pasak bambu saja sudah menjadi persoalan serumit ini,
bukan?” Potongnya dengan tebakan yang begitu jitu. “Sejujurnya, Aku juga enggak
tahu. Mumpung Kita ada di warteg, mari kita coba tanya dulu!”
Tahu-tahu,
sepasang mata kami berpaling dan tenggelam untuk menyaksikan dengan seksama
sebuah berita yang menjadi jawaban dari Yang Maha Kuasa.
“Berikut ini
perkembangan terkini dari misteri keberadaan pagar laut di Tangerang yang
memiliki sertifikat!” Ucap reporter belia yang sedikit tertekan oleh kerumunan
yang tengah sikut-menyikut. Selang beberapa menit, kedai makan ini mulai
dipadati oleh perutunya berbunyi gesekan yang amat nyaring. Semakin reporter itu
memberitakan, semakin larut semua manusianya menyimak kenyataan yang membuat
hati kian terpukulwarteg ini mendadaj jadi arena debat kusir menumpahkan rasa
kecewa.
“Hei, pagarnya
menjulang dari Kronjo hingga Teluk Naga, loh!”
“Sampai dibikin
sertifikat sebanyak 280 lembar!”
“Semuanya sampai
kongkalikong! Sekalian saja langit dibuat kavlingan!”
“Kawan, bukankah
Komisaris itu ayah pacar … maaf, mantanmu?” Tanya temanku berbisik sehening
mungkin dengan sedikit ralat. Aku hanya termangu melihat tangkapan wajah yang
mana kini dibingkai sebagai salah satu yang masuk daftar pencarian. Kemudian,
temanku melanjutkan dengan girang, “Wah, wah! Kita melihat para pejabat hingga
konglomerat saling lempar telunjuk nampaknya!”
Sedikit berbeda
dengannya, Aku hanya memasang air muka kosong. Namun bukan dalam artian sebuah
kotak yang kosong yang hanya memiliki udara yang hampa. Sejenak, ada rasa yang
berkemelut, namun semuanya berakhir dari realita dimana tiada satupun, selain
temanku, yang mau mengulurkan tangan di tengah ketidakadilan selama empat
tahun. Melihat kemelut yang berkobar amat hebatnya hingga memantik perburuan
massa yang marah justru memberi akhir pada rasa di hati yang kemelut. Hati
menjadi kosong bak sebuah air putih: mendadak sejuk dengan aliran yang tentram
hingga memenuhi cangkir kaca yang cemerlang.
“Hei, Kawan!” ucapku
seraya menepuk punggung bawahnya. Temanku sedikit terkejut melihat ada guratan
lembut yang menghias di bibirku. Aku lekas memberi usul, “Bagaimana kalau Kita
pergi? Biarkan saja pagar itu menjadi urusan Mereka disana.”
“Sudah
pastilah!” Sahut temanu amat jemawa. “Untuk apa Kita mengurus mereka yang telah
membuang kita? Mari Kita pergi dan melanjutkan hidup. Biarkan Mereka yang urus
pasak-pasak petaka tersebut!”
Benar! Semua
kemalanganku berawal dari pasak-pasak keparat itu!
Dahulu, Kitalah
yang teraniaya oleh pasak itu hingga ditikam oleh kampung dan kekasihku. Kini,
Kampung dan kekasihku justru yang ternaiaya oleh pasak mereka sendiri. Kampung
terkurung olehnya, mantanku sekeluarga diburu olehnya. Dunia betul-betul
terbalik menjadi panggung komedi yang tidak disangka-sangka.