Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Armin Karam - Pasak-Pasak Petaka

 



Semua kemalanganku berawal dari pasak-pasak keparat itu!

Ingatan empat tahun silam mendadak muncul bak kilas balik walau tidak kuinginkan. Dulu, aku memiliki kebiasaan menghabiskan akhir pekan dengan melaut. Meskipun kini bergaji belasan juta, dulu aku hanya anak yatim piatu yang bergantung hidup dengan kail, tombak, hingga lembaran jala. Rupanya, kekasihku juga menyukai laut walaupun ia adalah putri kesayangan seorang komisaris polisi. Saking uniknya, kencan kami justru berlayar meninggalkan desa Kohod di kala senja. Memang tidak lazim, tetapi menikmati hembusan udara beraroma garam berteduh langit jingga yang teduh begitu tentram rasanya. Terlebih, kami bisa berbalas cumbu rayu sambil menyantap rajungan atau berlomba memancing. Romantis, bukan?

Akan tetapi, kencan manis ini justru berakhir di bulan Mei. Tidak ada nada yang melengking yang saling berbalas di antara kami. Tidak ada muka masam atau punggung beku di antara Kami. Penyebabnya justru aneh: Kami tidak bisa melaut sebagaimana biasanya.

“Ini kenapa ada bambu yang nyangkut, sih?” Kataku meruntuk selagi membuang bambu yang tersangkut di mesin perahu.

“Sayang, Kita kembali saja, yuk!” Pinta kekasihku dengan raut yang justru gamang, bukan kecewa. “Lagipula, Kita bisa menonton ke bioskop ataupun makan di restoran, bukan? Kita hilangkan beban ini Bersama dan berdampingan!” Ucapnya sambil menepuk bahuku yang sedikit terkilir. Karena mentari kian terbenam, aku mendayung kembali dan mengganti lokasi kencan kami.

Hanya saja, dia tidak lagi muncul atau membalas pesan setelahnya.

Akhir pekan berikutnya Aku melaut sebagai pelarian dari kehilangan dirinya. Setidaknya, aneka prasangka yang bukan-bukan dapat hilang kala memburu puluhan rajungan. Hanya saja, Aku malah menghadapi kejadian yang tak biasa.

“Hei, bukankah bambunya malah makin banyak?” Kata temanku. “Kalau begini terus, bagaimana bisa Kita ke tengah laut?”

“Lebih buruknya lagi, Kita jadi susah mendapat rajungan,” Balasku menyebut kerugian lainnya. Bukan tanpa alasan, bebatuan dan pasir yang dihujam oleh puluhan pasak bambu menjadi alasan bagi para rajungan melarikan diri. Siapapun yang mematoknya, mereka sudah membunuh banyak kehidupan, termasuk kami dan lautan ini. Ini benar-benar buruk.

“Hei, Apa Kita langsung cabut aja bambu-bambunya?” Usul temanku.

“Bukankah sebaiknya Kita lapor dulu ke balai desa?” Tanyaku sedikit gamang.

“Bah! Tahu sendiri tabiat Pak Kepala Desa seperti apa!” Hardik temanku lantang.

Ah, Aku lupa! Pria itu amat terkenal berkat seribu satu macam gelagatnya: laporan yang terbengkalai, menikmati kedai remang-remang, omongannya mencla-mencle, bantuan yang takarannya tiada sama dengan timbangan, dan masih banyak lainnya. Singkat saja, pria paruh baya bermoncong tajam itu adalah pria tua yang madar sokah, dan congkak. Mengingat dia yang memangku kursi raja kerdilnya selama tiga periode membuatku mengurut dada.

“Kita cabut saja sendiri! Tak ada gunanya memang,” Ucapku agak naik pitam. Kami lekas mencebur diri dan mengangkut belasan ke perahu. Barangkali, itulah alasan mengapa malam itu Aku pulang dengan pontang-panting. Aduh! Bahuku mendadak nyeri.

Rupanya, urusan kami masih belum berakhir!

Pada paginya, gawaiku berguncang hebat hingga terjun bebas dari tepi jurang dari meja makan. Aku bergegas dan mendapati adanya pesan masuk dengan nama dan isi yang tertulis tebal berhuruf kapital. Ada apa dengan si Bos hingga menghubungiku tepat pukul tiga pagi? Kalau dipikir lagi, mungkin ini ada kaitannya dengan klien yang mendadak membatalkan kontrak atau semacamnya. Bah, itu masih bisa kuurus, bukan!

“Mulai hari ini, saudara telah diberhentikan perusahaan. Silahkan untuk menghadap Saya pukul tujuh dan kemasi seluruh barang Anda.” Aku membacanya berulang kali.

Kenapa Aku dipecat?

Walau nafasku amat jejal, Aku masih mampu melangkah hingga tepat di depan batang hidungnya tepat waktu. Lelaki repui yang menjadi bosku hanya mengulang isi pesan itu berikut dengan secarik surat akhir kontrak. Tak ayal, Aku menyalak balik dengan seluruh pencapaian yang kuraih untuk perusahaan. Melirik air mukanya yang penuh acuh, Aku berpaling meninggalkan tempat penuh kobaran angkara murka.

Ping!

Rupanya, gawaiku kembali berdering dan bergetar dari celana. Aku merogoh sakuku sebentar dan mendapati panggilan dari temanku.

“Hei, Kau tidak ada di rumah, kan?” Tanya dengan suara yang amat serak, “Ada Polisi sama Pak Kades mendobrak masuk dan menggeledah rumahmu! Buruan Pergi dulu dari sini! Aku juga lagi di kejar!”

Polisi?

 

Belum sempat kutanya balik, telepon mendadak terputus. Sekilas, Aku mendengar pekikan lantang dirinya yang menggerutu kesakitan. Apakah dia ikut tertangkap? Lagipula, kenapa Kami mendadak menjadi penyamun yang tengah diburu? Aku lekas berlari tunggang-langgang.

Tunggu, bukankah ayahnya itu Komisaris di Teluk Naga? Aku mengusap layar gawai dan membuka aneka media sosial dan mencari kontak pacarku. Aku dan ayahnya cukup akrab hingga membuka pujasera di Ciputat. Untungnya, Aku menemukan kontaknya berkat status dirinya yang terpampang paling pertama di Instagram.

Nahasnya, aku malah mengamati dia dengan seorang lelaki, cincin di jari manis, dan kutipan yang amat tidak kupahami.

“Betapa indah hubungan yang siap berlabuh ke pelaminan. I Love You!”

Tunggu, apa ini? Aku langsung berganti ke fitur pesan langsung, tetapi gagal kuakses. Kenapa cintaku dikhianati? Bukahkah kita, tepat di biduk di kencan terakhir Kita, sudah saling bertukar janji untuk saling berbagi dan berdampingan? Bahkan, mengapa Kau tidak memberiku sebuah perpisahan yang layaknya sebagai seorang manusia?

Brukk!

Aku terbanting dengan ponselnya yang meluncur pergi dari genggaman hingga mengarungi arus kali yang amat berderu. Mataku kian buram, kian gelap. Telingaku tertutup hingga suara yang terdengar hanyalah suara kaca pecah. Sesekali punggungku dihantam, diikuti dengan beberapa sayatan yang amat perih. Keadaanku mendadak berubah Ketika Aku … bertemu dengan temanku berkawan dengan pasak – pasak besi yang menjadi sangkar pengasingan kumpulan orang-orang durjana.

“Kawan, apa yang Kau renungkan?” tanya temanku yang kerutan di dahinya kian nampak bak menua lebih dari empat tahun.

Benar juga … sudah empat tahun telah berlalu ….

“Barusan, berbagai kilas balik yang masih kuingat mendadak timbul,” Jawabku dengan helaan nafas yang berat.

“Empat tahun lalu?” Temanku menerka pikirku dengan mengungkit tentang waktu. Aku hanya mengangguk kosong. Dia membuang muka sejenak dan kembali berkata, “Apapun yang terjadi sejak empat tahun kita lalui itu hanya berkutat dengan pasak bamboo laut hingga sangkar besi polisi. Tidak ada hal yang bagus, terlebih Kau yang dunianya jungkir balik hingga porak-poranda. Buang saja semuanya dan mari berpikir tentang masa depan!”

“Ada satu hal yang mengganjal,” Balasku jujur. “Sebenarnya –”

“Apa pokok perkara hingga beberapa pasak bambu saja sudah menjadi persoalan serumit ini, bukan?” Potongnya dengan tebakan yang begitu jitu. “Sejujurnya, Aku juga enggak tahu. Mumpung Kita ada di warteg, mari kita coba tanya dulu!”

Tahu-tahu, sepasang mata kami berpaling dan tenggelam untuk menyaksikan dengan seksama sebuah berita yang menjadi jawaban dari Yang Maha Kuasa.

“Berikut ini perkembangan terkini dari misteri keberadaan pagar laut di Tangerang yang memiliki sertifikat!” Ucap reporter belia yang sedikit tertekan oleh kerumunan yang tengah sikut-menyikut. Selang beberapa menit, kedai makan ini mulai dipadati oleh perutunya berbunyi gesekan yang amat nyaring. Semakin reporter itu memberitakan, semakin larut semua manusianya menyimak kenyataan yang membuat hati kian terpukulwarteg ini mendadaj jadi arena debat kusir menumpahkan rasa kecewa.

“Hei, pagarnya menjulang dari Kronjo hingga Teluk Naga, loh!”

“Sampai dibikin sertifikat sebanyak 280 lembar!”

“Semuanya sampai kongkalikong! Sekalian saja langit dibuat kavlingan!”

“Kawan, bukankah Komisaris itu ayah pacar … maaf, mantanmu?” Tanya temanku berbisik sehening mungkin dengan sedikit ralat. Aku hanya termangu melihat tangkapan wajah yang mana kini dibingkai sebagai salah satu yang masuk daftar pencarian. Kemudian, temanku melanjutkan dengan girang, “Wah, wah! Kita melihat para pejabat hingga konglomerat saling lempar telunjuk nampaknya!”

Sedikit berbeda dengannya, Aku hanya memasang air muka kosong. Namun bukan dalam artian sebuah kotak yang kosong yang hanya memiliki udara yang hampa. Sejenak, ada rasa yang berkemelut, namun semuanya berakhir dari realita dimana tiada satupun, selain temanku, yang mau mengulurkan tangan di tengah ketidakadilan selama empat tahun. Melihat kemelut yang berkobar amat hebatnya hingga memantik perburuan massa yang marah justru memberi akhir pada rasa di hati yang kemelut. Hati menjadi kosong bak sebuah air putih: mendadak sejuk dengan aliran yang tentram hingga memenuhi cangkir kaca yang cemerlang.

“Hei, Kawan!” ucapku seraya menepuk punggung bawahnya. Temanku sedikit terkejut melihat ada guratan lembut yang menghias di bibirku. Aku lekas memberi usul, “Bagaimana kalau Kita pergi? Biarkan saja pagar itu menjadi urusan Mereka disana.”

“Sudah pastilah!” Sahut temanu amat jemawa. “Untuk apa Kita mengurus mereka yang telah membuang kita? Mari Kita pergi dan melanjutkan hidup. Biarkan Mereka yang urus pasak-pasak petaka tersebut!”

Benar! Semua kemalanganku berawal dari pasak-pasak keparat itu!

Dahulu, Kitalah yang teraniaya oleh pasak itu hingga ditikam oleh kampung dan kekasihku. Kini, Kampung dan kekasihku justru yang ternaiaya oleh pasak mereka sendiri. Kampung terkurung olehnya, mantanku sekeluarga diburu olehnya. Dunia betul-betul terbalik menjadi panggung komedi yang tidak disangka-sangka.