Cerpen Arsyi Aisyah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di pesisir pantai yang tak lagi tenang, ombak berdebur tanpa irama, seakan lupa bagaimana harus kembali. Angin asin berembus, bukan membawa kesejukan, melainkan sesak yang menyelinap hingga paru-paru.
Di atas teras rumah kayu yang mulai lapuk, seorang pemuda bernama Samudra duduk diam. Matanya kosong menatap laut yang seolah semakin menjauh. “Tiga puluh enam belas … ” Berulang kali, seperti gema yang melayang di udara.
Banyu yang sedari tadi memperhatikannya, mendengus. “Apa sih, Dra? Ada apa dengan tiga puluh enam belas?”
Samudra tidak menjawab. Tawanya tiba-tiba meledak, hampa, menggema di udara asin yang menggigit kulit.
“Gil-”
“Enggak gila!” Potongnya cepat. Mata Samudra membara. “Keserakahannya yang gila! Tiga puluh enam belas kilometer, Nyu. Itu bukan angka biasa!”
Belum sempat Banyu membalas, langkah berat terdengar menghantam pasir. Pak Baruna melintas, entah keberapa kalinya. “Pak, dari tadi mondar-mandir. Mau ke mana?” tanya Banyu.
Pria itu berhenti, menatap laut dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. “Mau nangkap ikan, tapi jalan biasa dipager, euy.”
Banyu mengernyit. “Dipager? Bercanda, Pak!”
Pak Baruna tidak langsung menjawab. Ia menendang pasir dengan ujung sandal jepitnya, lalu mendesah pelan. “Tiap pagarnya 1,5 meter, dari anyaman bambu,” katanya akhirnya. Suara tawa kecil lolos dari bibirnya, tapi tak ada kebahagiaan di sana. “Seperti laut ini bukan punya kami lagi.”
Angin bertiup lebih kencang. Dedaunan kelapa berdesis, seperti turut mengeluh. Banyu bergidik, sementara Samudra tetap terpaku menatap selembar kertas di depannya. “Kamu, Dra, parah. Gak nyapa Pak Baruna,” tegur Banyu.
Samudra tersenyum kecil. “Tenang. Lebih baik kau perhatikan ini … ”
Banyu mendekat, lalu tertegun. Kertas di depan mereka … bernapas. Banyu mengusap matanya, mecoba memastikan ia tidak berhalusinasi. Tapi tidak. Kertas itu benar-benar bergerak, seolah memiliki nyawa sendiri. Lalu, suara parau terdengar. Seperti kertas yang digesekkan dengan kasar.Tidak. Bukan hanya bernapas. Ia bergerak, melompat, dan mulai berbicara. “Ubur-ubur ikan lele, hayu ngobrol dong, le … ”
Banyu melompat mundur “Gila! Gila! Sumpah gila!”
Kertas itu—atau lebih tepatnya, Sertifikat—tertawa, suaranya nyaring seperti kertas yang diremas. “Aku ini saksi sah! Aku pengesah! Semua sudah ditandatangani, disegel, dan resmi! Aku yang bilang laut bisa dibatasi! Aku yang menetukan siapa yang boleh lewat, siapa yang tidak!”
Samudra menatapnya tajam. “Laut gak bisa dibeli”
Sertifikat tertawa lebih keras, seolah mengejek. “Tiga puluh enam belas kilometer, Nak. Laut tak lagi bebas. Semua ada pemiliknya”
Banyu membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Di kejauhan, suara besi beradu terdengar samar. Krekk … Krekk …
Mereka menoleh ke arah laut.
Di batas pagar yang membentang di tengah samudra, sebuah bayangan muncul.
Seorang pria tua berdiri di perahu kecilnya, tubunya separuh menyatu dengan laut. Matanya kosong, kulitnya dipenuhi garis-garis kelelahan. “Kalian … ” suara itu serak, seakan berbicara dari dalam air. “ … masih bisa mendengarku?”
Banyu mundur selangkah. “Siapa … siapa kamu?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Tangannya terangkat, memperhatikan seutas jaring koyak, berlubang di sana-sini. Setetes air menetes dari jaring itu, jatuh ke laut … lalu lenyap, seolah tersedot oleh sesuatu yang lebih dalam. “Inilah yang tersisa dariku … setelah lautku dipenjara.”
Angin berhembus dingin.
Samudra mengerjap, lalu berbisik, “Pak … Pak Baruna?”
Pria itu tersenyum tipis. “Dulu, iya. Tapi setelah pagar itu datang … aku hanya tinggal separuh.”
Sertifikat bergerak gelisah. “Aduh, duh! Udah-udah, jangan drama! Yang penting sekarang aturan sudah sah, laut sudah punya batas! Enak, kan? Rapi, tertib!”
Pak Baruna menatapnya tajam, “Pagar itu bukan sekadar bambu. Ia mengikat laut … dan semua yang ada di dalamnya. Jika dibiarkan, kalian juga akan menjadi seperti aku.”
Banyu menelan ludah.
Pak Baruna perlahan menghilang, larut dalam ombak. Tapi sebelum benar-benar lenyap, bisikannya berhembus di udara. “Laut selalu menyimpan apa yang hilang. Kalian hanya perlu menemukan cara membukanya kembali …”
Lalu ia lenyap.
“Dra … barusan?”
Samudra meraih Sertifikat yang masih melayang di udara. ” Kamu bilang laut ini punya batas?”
Sertifikat tertawa kecil. “Hahaha, iya. Hitam di atas putih!”
Ombak menggulung tinggi. Tiba-tiba dari dalamnya, muncul tangan-tangan dari jaring koyak, meraih udara seperti tentakel gurita. Salah satu tangan itu melesat ke arah Sertifikat.
Cras!
Sertifikat menjerit. “Tidak! Aku resmi! Aku sah!” Tapi laut tidak peduli. Ia menarik kertas itu ke dalam perutnya yang gelap.
Dan tiba-tiba …
Begitu banyak dokumen-dokumen asing yang mengguncang mereka. Nama Pak Baruna ada di sana— tapi bukan sebagai pelaku utama. Ia hanyalah saksi yang dipaksa diam. Samudra menggenggam kertas itu erat. “Mereka harus tahu ini.”
Sebelum Samudra dan Banyu sempat begerak …
Retak!
Pagar bambu di tengah laut mulai retak. Ombak menggulung tinggi, angin berdesir kencang, membawa rintihan samar. Siluet-siluet hitam muncul di kejauhan—wajah-wajah kosong, nelayan-nelayan yang hilang.
Banyu menengang. “Mereka kembali?”
Salah satu sosok melangkah mendekat, kulitnya kebiruan, penuh luka, tetapi matanya masih menyimpan seberkas kehangatan. “Terima kasih sudah menemukannya.”
Lalu mereka larut kembali, melebur dalam samudra yang menelan mereka sejak lama.
Hening. Seolah badai telah berakhir.
Samudra menatap dokumen di tangannya. Ada sesuatu yang sebelumnya terlewat. Kalimat dipojok bawah, ditulis dengan tangan yang gemetar. “Yang menemukan ini juga akan menjadi bagian dari laut.”
Samudra merasa tangannya basah. Bukan keringat—air asin merembes pelahan dari kulitnya.
“Dra, tanganmu … !” Banyu berseru panik.
Angin berbisik di telinga Samudra, “Kamu menemukannya, sekarang kamu jadi bagian dari kami.”
Tubunya mulai berubah. Transparan, seperti air. Samudra tersenyum tipis. “Laut menyimpan yang hilang, bukan?”
Banyu mencoba meraih tangannya, tapi jemarinya telah larut—seperti tinta yang menghilang dalam air. Basah di kulitnya bukan lagi sisa ombak, melainkan arus yang perlahan menariknya pulang. “Dra, tahan-“ Suara Banyu tercekat.
Ombak menggulung lembut, menyapu batas antara manusia dan laut. Samudra tersenyum sekali lagi—tipis, nyaris fana. Lalu, ia hanyalah riak yang melebur dalam samudra.
Banyu terduduk di pasir terisak tanpa suara, tubuhnya gemetar. Di tangannya, dokumen itu terasa lebih berat—lebih basah. Matanya menangkap baris terakhir yang belum sempat terbaca. “Laut sudah mengikatku. Jika kamu membaca ini, aku telah menjadi bagian dari ombak. Bungkam, atau sebentar lagi giliranmu.”
Nama di bawahnya membuat Banyu terkejut—Samudra.
Di kejauhan, batas laut tampak berubah. Tidak ada pagar bambu. Tidak ada sekat. Hanya air luas yang menggulung tanpa batas. Di dalamnya, samar, bayangan seseorang berdiri di antara ombak. Menunggu. Laut tetap berdebur pelan. Seakan tersenyum dalam diam.
“Bungkam, atau sebentar lagi giliranmu.”