Cerpen Arya Ramadhan Suryadinata
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
“Put! Apa-apaan kamu tadi? Airnya mengenai mataku! Sakit tahu,” aku berteriak sambil mengusap mata kananku yang sedikit merasakan sebuah pasir di bagian luarnya. Ia hanya tertawa. Kakinya berjalan mendatangiku dan memegang satu lengan dan satu lagi mencoba meraba mata kananku.
“Dimana? Ini? Lebay kamu ah. Orang ga ada, tuh ga ada sama sekali.” Jawabnya, ia berbohong. Aslinya memang ada tapi sudah menjadi kebiasan dia saja.
“Apa sih! Ngawur kamu Putra. Ini mata aku sampai merah loh. Nih, kalau ga percaya, liat jempol ku. Liat! Ada pasir kan?” Aku menyodorkan jempolnya di depan mukanya. Ia melihat jempol ku yang ternodai pasir, ia hanya cekikikan layaknya anak kecil.
“Yaudah, maaf ya. Tadi aku niatnya-” Mukanya tergenang air asin laut. Disaat hal itu terjadi, ia melihatku dengan mata coklat mematikannya itu. Seolah sedetik saja pun tidak terlewat, ia mulai mengejarku. Aku merasa otakku tidak mampu merespon atas apa yang akan terjadi, makanya aku berlari menghindari dia dengan tawa layaknya orang tak waras.
Sekarang, kami tengah berlari dari ujung ke ujung di sebuah pantai. Bertelanjang kaki, rambut yang tercampuri ketombe dan serbukan pasir, kantong celana yang tersimpan pasir, dan tawa yang mampu mewarnai suara di langit senja ini. Kami selalu melakukan hal ini, dan apakah kami bosan? Tidak. Pantai dan laut inilah yang mempertemukan kami, yang menjelaskan siapa kami berdua dan apa maksud dari kedua belahan hati menjadi satu.
Aku masih tertawa sembari kakiku yang masih bergerak tanpa henti layaknya sebuah mesin. Namun, mesin tersebut berhenti disaat punggungku diterkam dari belakang, ia mendapatkanku. Kami berdua jatuh diatas pasir basah dengan tawa, rasanya tuhan memberkati pita suara kami agar terus tetap tertawa. Aku mencoba menangkap kedua bola matanya di tengah tawa melalui umpan mataku. Aku mendapatkan jackpot, kedua bola mata berwarna almond tersebut berhasil aku tangkap. Sebuah puisi indah tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi sekarang.
“Ini terdengar klise tapi apakah kamu mau mendengarkannya?” Ia bertanya dengan senyuman dan gigi putih kekuningannya yang menonjol dibalik bibir tersebut. Aku mengangguk pelan. Aku ingin sekali mendengar apa yang akan ia katakan namun punggungku sudah menggigil terkena air dari laut.
“Apa samanya laut dengan kedua matamu?” Tanyanya dengan mata yang masih sibuk mencari ada apa didalam kedua mataku.
“Sama-sama cantikkan? Ketebak kamu Putra. Kamu memang terlalu gampang ditebak. Belajar lagi saja kau dengan Kang Bagus. Istrinya bilang ia jago sekali menggombal.” Aku cengengesan menjawab pertanyaannya. Ini bukan pertama kalinya dia menggunakan gaya menggoda ini kepadaku. Sungguh klasik.
“Aku punya teknik yang lebih baik dari Kang Bagus. Hanya saja.. Jangan pikirkan dia, ya? Dia sudah berusia lima puluh tahun, kamu tahu itu.” Katanya dengan kening yang mengkerut dan mata yang terbaca ‘aku khawatir’.
“Ih! Dramatis banget sih put. Bisa aja kamu iri gitu sama Kang Bagus.” Aku mengejeknya sambil mengubah posisi tubuh yang awalnya telentang menjadi ke samping menghadap Putra layaknya sumbu y.
“Bukan dramatis,” ia menjawab dengan ragu sambil memainkan bibirnya. “Yang bikin mirip laut sama mata kamu adalah, aku selalu ingin loncat ke dalam. Menjelajah ada apa didalam suatu hal yang indah ini, mempelajari apa yang aku harus ketahui agar aku tidak pernah keluar lagi. Biarkan kami menjadi satu.”
Seolah waktu berhenti bermain denganku, semua layaknya terhenti. Mataku tidak berkedip, suara burung yang terus mengusik kami dari atas seolah terjatuh dan jadi santapan para warga, serta suara laut yang bersorak akan kami seolah terdiam karena suatu hal.
“Jelek ya?” Ia bertanya heran. Bagaimana tidak? Aku layak seorang mayat. “Kalau emang jelek, iya deh, aku akan berguru dengan Kang Bagus.”
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tubuhku layaknya sebuah magnet yang memaksakan diriku mendekati dirinya. Aku tertawa lagi dan memeluk tubuh jangkung tersebut. Tuhan, aku mencintainya.
“Jadi, ga jelek?”
***
Terkadang, aku berpikir bagaimana kerang terbentuk. Dengan segala bentuk yang berbeda-beda dan berserakan di pesisir pantai. Rasanya tidak lengkap bila aku tidak mengambilnya dan mengumpulkannya di tengah sore di hari libur. Sudah satu jam aku melakukan hal ini. Biasanya hal ini aku lakukan dengan cepat karena tangan yang penuh dengan kerang ini akan segera lepas ketika ia bertemu dengan Putra. Namun, tepat pukul 5.46 WIB, tangkai hidung yang dimiliki oleh anak bernama Putra tidak dapat ditemukan di laut mengarah pelukanku. Laut tidak tinggal di pulauku. Ia tinggal di sebuah pulau yang jauh dari pulauku. Ia pernah bercerita itu memakan waktu yang sangat besar. Tidak ada banyak tumpangan yang bisa ia pilih selain mendayung perahu kecilnya yang hanya mampu menopang satu orang saja. Katanya, ia berjanji akan merangkai sebuah kapal yang cukup untuk dua orang agar aku bisa bertemu dengan keluarganya. Selain perahu, sudah menjadi tradisi dan janji kami untuk selalu bertemu di pantai ini, karena hanya inilah dimana kita bisa saling melepas rindu karena jarak kami yang sangat jauh. Hari Sabtu jam 4.00 sudah menjadi tradisi kapan kita akan bertemu. Namun, janji ini tampaknya sedang tidak berlaku. Aku tengah mencari dimana bocah satu itu.
Selama pencarian, yang baru aku sadari bahwa sebuah pagar tampaknya dipasang di tengah-tengah laut. Hal ini sangatlah baru. Pagar tersebut berjajar mengelilingi pantai. Walau memang tampaknya tidak semua tertutup tapi ini merupakan peningkatan yang tidak perlu sebenarnya. Namun, di antara pagar-pagar tersebut, Putra melambaikan tangannya diatas perahu kesayangannya. Aku menjawab kembali lambaiannya.
“Hey! Maaf, seharusnya aku sampai satu jam yang lalu namun langai sudah akan berubah gelap. Apakah undangan masih berlaku?” Ia melempar dayung di atas pasir dan segera menghampiriku.
“Ya, lagipula aku juga tidak ada rencana. So, yeah, what’s up?” Aku dengan bangga tersenyum menjawab pertanyaannya. “Lagipula, kenapa kau sangat lama? Maksudku, bukan biasanya kau begini.”
Ia menggaruk belakang kepalanya dengan mulut yang dimiringkan. “Entahlah, di rumahku ada hal desas-desus tentang pembatas ini. Dan ternyata bukan hanya di pulauku saja, pulau mu juga berlaku.
Mendengar jawabannya, perutku mendadak mulas. Aku tidak suka bila perutku melakukan hal tersebut. Bila hal itu terjadi, di masa yang akan mendatang akan hal yang tidak beres.
“Hey, kamu tidak apa-apa? Kenapa? Mukamu jadi pucat begitu. Apa perlu aku panggil bantuan? Tenang, perahuku akan aman dan sekali lagi tidak ada yang perlu dikhawatirkan di pulau sana.” Ia menebak dengan tepat, tapi bukan itu.
“Tenang, aku tidak apa-apa. Maaf membuatmu panik. Serius.” Aku meyakini nya. Ia masih memasang muka was-was tapi itu bisa diusahakan. “Kau janji akan selalu menemuiku?”
Mukanya yang masih mode was-was langsung berubah ke mode kebingungan. Tapi, ia pasti tidak mau menunjukkannya secara langsung. “Ya, tentu, sudah menjadi prioritasku. Kau adalah janji yang harus selalu ku tepati.”
***
Banyak sekali kerumunan tengah menutupi pandanganku mengarah lantai. Seolah seluruh rakyat sudah dipanggil untuk bertemu di pantai ini. Tapi, untuk alasan apa? Di pantai ini tidak ada yang begitu spesial dan tetap sama demi waktu ke waktu. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan kerumunan. Tubuh aku terasa seperti akan hancur. Jumlah orang di sini benar-benar luar biasa. Ketika saya mampu melewati ujian maut kerumunan orang, aku mendapatkan hasilnya. Di depanku, ada semacam tembok besar yang menghalangi pandangan kami dari dunia lain. Sial. Sepertinya ini seperti dunia dystopian yang saya tonton di TV. Aku tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan tidak ada yang memberitahu saya apa yang harus saya lakukan. Tapi yang aku tahu, aku tidak dapat bertemu dengannya, dengan Putra. Kaki ku tanpa berpikir panjang langsung berlari menuju tembok sialan tersebut. Aku berlari dan berenang layaknya orang tidak waras. Orang-orang yang berada di lokasi kejadian berteriak histeris memanggil namaku yang tengah tergila-gila akan tembok ini. Orang-orang yang mengambang di laut mencoba mengejarku dari belakang. Tapi aku tidak peduli, aku terus berenang hingga mencapai tembok. Aku memukul tembok tersebut, berharap siapapun yang membuat tembok ini cukup bodoh hingga menjadi rapuh. Orang-orang menarik bahu saya ke belakang. Mereka mencoba menghentikanku tapi hatiku tidak tergoyah melawan otot-otot abang-abang di desaku. Sebuah tetes air jatuh dipipiku, berkali-kali. Dan aku lengah.
Mereka mendapatkanku dan membawaku ke daratan. Beberapa kali aku mencakar punggung pemuda yang tengah mengangkutku, maaf, tapi ini tidak bisa dibiarkan. Mereka membawaku ke rumah, dan hal yang kudapati adalah ibuku menganggapku sudah kehilangan salah satu benda paling mahal, otakku. Ia mengurungku di kamar dan aku tidak bisa apa-apa selain tersiksa layaknya latihan siksa neraka. Aku terjatuh tak berdaya di lantai kamarku yang dingin, aku sudah tak berdaya dan tak bermakna. Namun, aku sadar darah mengucur di tanganku. Aku segera melihat kesana kemari untuk suatu hal yang bisa memperbaikinya. Namun, bukannya menemukan P3K, aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa menyembuhkan hatiku. Aku melihat celana jeans yang aku pakai kelar bermain di pantai dengan Putra. Di kantong belakang sebuah carik kertas melambaikan tangannya ke aku. Aku dengan gesit dan mengambilnya.
Teruntuk Nata
Aku mungkin tak bisa mengalahkan kemampuan menulismu. Aku tidak sejago mu. Aku bukan Chairil Anwar. Namun, yang ini aku sampaikan. Apabila sesuatu saat nanti sebuah tembok menghalangi kita berdua. Kamu harus tahu aku memanggil namamu dibalik dinding berharap kamu akan menjawab. Kalau perlu, aku akan membolongkan tembok ini dengan tanganku, tak peduli seberapa parahnya untukku. Dimana kau berada, aku akan selalu mencintaimu dan akan terus berkabung namamu hingga alam semesta membiarkan kami bertemu lagi. Setiap kali aku ingin menemuimu, akan kutatap laut seperlu yang ku mau.
Tertanda
Putra