Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Athaya | Mimpi di Balik Pagar

Di sebuah desa kecil di pesisir utara Tangerang, terdapat sebuah pemukiman warga di tepi laut. Desa itu bernama Pulau Merdeka, dan meski nama desanya terdengar seperti tempat yang bebas dari segala masalah, kenyataannya tidak begitu. Laut yang indah itu, yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat, kini menjadi ancaman bagi mereka. Abrasi semakin menggerus daratan, ombak besar terus datang menerjang pantai, dan cuaca yang tak menentu membuat mereka tak lagi merasa aman.

Salah satu warga desa, Dimas, seorang nelayan muda, merasa sangat khawatir. Ia sudah mengarungi laut sejak kecil, namun akhir-akhir ini ia semakin kesulitan untuk menangkap ikan. Laut yang dulu kaya akan hasil laut, kini tampak kosong. Bahkan, rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh di pinggir pantai kini mulai bergeser, tergerus ombak yang semakin ganas.

“Dimas, lihat itu! Rumah Pak Hadi hampir tenggelam!” seru temannya, Andi, sambil menunjuk ke arah rumah yang hampir tenggelam di pinggir laut.

Dimas mengerutkan kening. Ia mengerti betul bagaimana rasanya kehilangan rumah karena diterjang ombak. Ayahnya pernah bercerita tentang masa kecil mereka yang selalu bermain di pantai, memancing ikan, dan menikmati kebahagiaan sederhana. Namun, semua itu kini tinggal kenangan. Laut yang dulu menjadi sahabat, kini menjadi musuh.

Pada suatu hari, sebuah kabar datang dari pemerintah. Mereka berencana untuk membangun pagar laut di sepanjang pesisir Tangerang, termasuk di wilayah Pulau Merdeka. Pagar laut ini diklaim sebagai solusi untuk mengatasi abrasi dan mencegah air laut semakin masuk ke daratan. Meskipun banyak yang berharap pagar laut ini bisa menyelamatkan desa mereka, Dimas dan beberapa warga lain merasa ragu.

"Apakah pagar laut ini benar-benar akan melindungi kita, atau justru membuat kita semakin terisolasi?" pikir Dimas sambil berjalan pulang dari pertemuan desa.

Malam itu, Dimas duduk di halaman rumahnya, memandang laut yang terus bergulung dengan gelombang yang menakutkan. Ia berpikir keras. Pada satu sisi, pagar laut mungkin bisa melindungi mereka dari ancaman langsung, namun di sisi lain, apa yang akan terjadi dengan kehidupan mereka jika pagar itu dibangun?

Budi memutuskan untuk menemui kakeknya, Pak Tamin, yang sudah lama tinggal di desa itu. Pak Tamin adalah sosok yang sangat dihormati di desa, seorang lelaki tua yang penuh kebijaksanaan. Setelah mendengar cerita tentang pagar laut, Pak Tamin hanya tersenyum tipis.

“Pagar itu mungkin bisa mencegah ombak, tapi tidak bisa menghentikan perubahan. Laut itu hidup, Nak. Ia tidak bisa dijinakkan dengan pagar,” kata Pak Tamin, sambil menghisap rokoknya perlahan.

Dimas terdiam, mencerna kata-kata kakeknya. Ia merasa ada kebenaran dalam ucapan itu, namun ia juga tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada laut. Tanpa laut, mereka akan kehilangan mata pencaharian. Tanpa laut, desa ini bisa hilang.

Keesokan harinya, Dimas pergi menemui kepala desa, Pak Jaya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang proyek pagar laut dan dampaknya bagi kehidupan mereka.

“Pak Jaya, apa benar kita hanya akan diberi pagar laut dan bukan solusi lain?” tanya Dimas dengan tegas.

Pak Jaya menatap Dimas sejenak, lalu berkata, “Proyek ini dirancang untuk melindungi kita, Dimas. Kita semua tahu bahwa laut semakin ganas, dan jika kita tidak bertindak, kita semua bisa hilang dalam sekejap. Namun, tentu saja, kita akan berusaha untuk mengurangi dampak negatifnya. Pembangunan ini akan melibatkan masyarakat, dan kami juga berharap ada solusi untuk membantu mereka yang terdampak.”

Dimas mengangguk, tetapi hatinya masih ragu. Ia tahu bahwa pembangunan pagar laut itu membutuhkan pengorbanan besar, dan ia tak yakin apakah semua orang di desa akan mendapatkan keuntungan dari proyek ini.

Pada suatu malam, saat angin laut berhembus kencang, Dimas duduk di tepi pantai, merenung. Ia tahu bahwa ada banyak pihak yang mendukung pagar laut, termasuk sebagian besar warga desa yang merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan rumah mereka. Namun, ia juga mendengar suara-suara protes dari beberapa nelayan dan keluarga yang merasa kehilangan. Mereka khawatir jika pagar itu dibangun, mereka akan terputus dari laut, yang sudah menjadi sumber hidup mereka selama ini.

Suatu hari, saat Dimas sedang termenung, seorang wanita muda mendekatinya. Wanita itu adalah Rina, seorang aktivis lingkungan yang baru saja pindah ke desa itu. Rina datang untuk membantu warga desa agar dapat menyuarakan pendapat mereka tentang dampak lingkungan dari proyek pagar laut. Ia percaya bahwa ada cara lain untuk melindungi desa tanpa harus menghancurkan ekosistem pesisir.

            “Apa yang kamu pikirkan, Dimas?” tanya Rina, duduk di samping Budi.

Dimas menghela napas panjang. “Aku bingung, Rina. Laut ini adalah hidupku, tetapi pagar laut ini juga bisa menyelamatkan kita. Tapi apakah itu solusi yang benar?”

Rina tersenyum. “Solusi yang benar adalah yang melibatkan kita semua, Dimas. Jika kita hanya menunggu pagar laut dibangun, kita hanya akan menjadi penonton dalam hidup kita sendiri. Kita harus mencari cara untuk melibatkan seluruh desa dalam keputusan ini. Kita bisa melibatkan ilmuwan untuk meneliti dampak ekologisnya, dan kita juga bisa mencari cara untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang rusak.”

Dimas menatap Rina, merasakan secercah harapan muncul. Ia menyadari bahwa meskipun pagar laut bisa melindungi mereka dari ancaman langsung, solusi yang lebih mendalam adalah dengan memulihkan kembali alam yang telah rusak.

Dimas tahu, perjalanan mereka belum berakhir. Pagar laut mungkin tetap dibangun, tetapi mereka harus memastikan bahwa laut dan kehidupan mereka tetap terhubung dengan alam. Pagar laut akhirnya dibangun di sepanjang pantai Pulau Merdeka.

            Meskipun proyek pagar laut terlihat menjanjikan perlindungan, konflik yang lebih besar sedang berkembang di baliknya—sebuah intrik mengenai kepemilikan tanah yang melibatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Konflik ini perlahan mengubah nasib desa Pulau Merdeka. Pagar laut ini dibangun di sepanjang pesisir yang dulu merupakan tempat tinggal banyak keluarga nelayan, termasuk keluarganya. Namun, ada sesuatu yang lebih buruk yang Dimas dan warga desa tak ketahui.

Suatu sore, ketika Dimas sedang duduk bersama temannya, Andi, ia mendapat kabar mengejutkan. Seorang warga desa yang dikenal baik, Pak Arif, baru saja menerima sebuah surat dari pihak yang mengaku mewakili perusahaan pengembang proyek pagar laut.

"Ini surat pemalsuan," kata Pak Arif sambil menunjuk surat yang diterimanya. "Surat ini mengklaim bahwa tanah milik saya telah dibeli oleh perusahaan untuk pembangunan pagar laut. Tapi saya tidak pernah menandatangani apa pun!"

Dimas tercengang. "Apa maksudnya? Tanah Pak Arif ini jelas miliknya sejak dulu."

Pak Arif mengangguk, wajahnya tampak tegang. "Itulah yang saya pikirkan. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Saya tahu bahwa tanah ini bukan untuk dijual, apalagi kepada perusahaan yang tidak jelas siapa pemiliknya."

Setelah pemeriksaan lebih lanjut, ternyata Pak Arif bukanlah satu-satunya yang menerima surat tersebut. Beberapa warga desa juga menerima surat serupa, yang menyatakan bahwa tanah mereka sudah dibeli atau bahkan dipindahtangankan tanpa sepengetahuan mereka. Hal ini mengarah pada kesimpulan yang mengerikan: ada orang-orang yang memalsukan dokumen kepemilikan tanah untuk keuntungan pribadi, memanfaatkan proyek pembangunan pagar laut untuk meraup keuntungan besar.

Namun, ketika kasus ini mulai terbuka ke publik, masalah semakin rumit. Ternyata, kepala desa, Pak Jaya, terlibat dalam pemalsuan surat tanah tersebut. Investigasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa Pak Jaya menerima suap dari perusahaan pengembang untuk memfasilitasi pemalsuan dokumen tanah milik warga, dengan imbalan uang yang besar. Ia sengaja mengabaikan keluhan warga mengenai dampak pagar laut, karena ia lebih mengutamakan keuntungan pribadi dari proyek ini.

Pak Jaya akhirnya ditangkap oleh polisi setelah bukti pemalsuan surat tanah dan suap terungkap. Berita penangkapannya mengguncang desa. Banyak warga yang merasa dikhianati, terutama nelayan-nelayan yang kehilangan mata pencaharian mereka karena pagar laut dan sekarang harus berhadapan dengan kenyataan bahwa tanah mereka telah dijual tanpa izin mereka.

Setelah serangkaian kejadian ini, warga desa Pulau Merdeka mulai bangkit. Mereka bekerja sama dengan aktivis lingkungan dan pengacara untuk menghentikan proyek pagar laut yang merusak ekosistem dan menggusur kehidupan mereka. Mereka menuntut agar proyek ini dibatalkan, dan setelah proses panjang, akhirnya pemerintah pusat memutuskan untuk menghentikan pembangunan pagar laut tersebut.

Namun, penghentian itu tidak cukup untuk mengembalikan apa yang telah hilang. Pagar laut yang sudah terlanjur dibangun akhirnya dibongkar satu per satu. Para pekerja konstruksi yang sebelumnya terlibat dalam pembangunan pagar laut, yang kini menyadari kesalahan mereka, bergabung dengan warga untuk meruntuhkan pagar yang telah mengancam kehidupan mereka.

Dimas berdiri di pantai, memandang ke laut yang tak pernah berubah. Ia tahu bahwa meskipun pagar laut telah dibongkar, perjuangan mereka belum berakhir. Laut tetap menjadi sahabat, tetapi mereka harus terus berjuang untuk melindunginya, dan yang lebih penting, untuk melindungi tanah mereka—tanah yang telah menjadi rumah bagi mereka selama bertahun-tahun.

Dengan tekad yang baru, Dimas dan warga Pulau Merdeka berjanji untuk menjaga tanah mereka, menjaga laut, dan menjaga satu sama lain. Mereka tidak hanya melawan proyek yang salah, tetapi juga memperjuangkan hak mereka untuk hidup damai di tanah yang telah memberi mereka segala yang mereka butuhkan.

Pagar laut yang dibangun untuk melindungi desa, kini hanya menjadi kenangan tentang perjuangan yang tak akan pernah dilupakan.