Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Atikah Zahra Ratifah Y | Mimpi Anak Nelayan

    Pagi itu sama dengan pagi hari lainya. Matahari bersinar terang di luar sana ditemani dengan percakapan para warga yang bertegur sapa. Kehidupan di Desa Kohod tidak sama dengan di pusat kota sana, di Desa Kohod para penduduk nya mayoritas bekerja sebagai seorang nelayan atau petani. Dikarenakan meningkat nya kemiskinan, banyak anak anak dari Desa Kohod yang memilih untuk bekerja sebagai nelayan dan mendapatkan upah di bandingkan harus mengeluarkan uang untuk pendidikan mereka. Tahun ini aku menginjak usia 17 tahun, berbeda dengan teman teman ku yang ingin langsung bekerja, aku ingin berusaha melanjutkan pendidikan ku.

   Aku segera bangun dan merapikan tempat tidurku – kebiasaan kecil yang selalu diajarkan orang tua ku – dan bergegas keluar dari kamar untuk menghampiri ibu yang kutahu pasti keberadaan nya, yaitu di dapur. “Masak apa bu?” Tanyaku pelan. Ibu menoleh sekilas dengan cepat dan segera fokus kembali dengan masakan nya. “Ikan goreng dan tahu dek, sana kamu cepat mandi sudah jam berapa loh ini.” Aku mengangguk dan segera bersiap dengan cepat. 

    Di rumah sederhana ini yang berisikan 5 anggota keluaraga yaitu, Bapak, Ibu, dua kakak laki-laki ku–yang jarak umur nya lumayan jauh dengan ku–, dan aku, anak bungsu perempuan. Sebagai anak bungsu aku lebih banyak menuruti kemauan Bapak dan Ibu. Kak Aldo, kakak pertama ku sudah menikah dan tinggal di Desa Kohod tidak jauh dari rumah kami. Sedangkan, kak Angga mencari peruntungan di Jakarta sana dan jarang sekali pulang menengok kami disini. 

   “Bu bapak sudah berangkat?” Ujarku dengan mulut penuh nasi. “ Kamu itu kalo makan selesaikan dulu makan mu baru bicara, iya Bapak mu itu dari shubuh sudah berangkat.” ucap Ibu. Semenjak kedua kakakku pergi dengan tujuan nya masing masing, rumah ini sepi sekali rasa nya, hanya ada aku, bapak, dan ibu. Dulu biasa nya walau dengan menu sederhana kami tetap menyempatkan untuk sarapan dan mengobrol di pagi hari. 

      “ Bu aku pergi ya! doakan lancar ya bu!” Teriakku sambil berlari. “ Ya! hati hati ya dek!” Balas Ibu. Aku segera berlari — walau memang jarak ke sekolah tidak jauh tapi tetap saja, malas rasanya dihukum jika telat — untung nya masih tersisa beberapa menit sebelum bel masuk. “Eh Yu lo udah ngerjain PR MTK belum? liat dong, ketiduran gue semalam.” Aku menghela nafas, baru saja duduk lastri sudah menodongku dengan meminta contekan PR MTK. “Lo sih kebiasaan! ada nih, cepetan sebelum bu Anggi masuk.” Omel ku kepada Lastri. “ Yeayy makasih  Ayuu, nanti gue traktir deh di pantai.” Senang sekali Lastri ini dapet contekan, aku hanya dapat menggelengkan kepala melihat kelakuan teman ku ini. 

     Di sekolah, aku dikenal sebagai murid pintar yang selalu mendapat rangking, walaupun memang sekolah ku bukan sekolah favorit atau pun  berakreditasi A, tetap saja itu menjadi sesuatu hal yang membanggakan serta harapan agar aku bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah.

     Kegiatan di sekolah berjalan seperti hari biasa nya dan melelahkan.  Biasa nya setelah pulang sekolah aku selalu menyempatkan ke pantai yang dekat dengan Desa Kohod, dari kejauhan aku dapat melihat pagar laut yang seperti menjadi pembatas, yang kutahu pagar tersebut berfungsi untuk menahan abrasi. Beberapa hari lalu, Aku sempat melihat berita tentang pagar laut tersebut, tentang sertifikat ilegal dan beberapa isu lain nya.

    Hanya dengan duduk diam menatap laut, kegiatan ini menjadi suatu hiburan setelah seharian berkutat dengan pelajaran. “nih batagor mang Iip.” Lastri memberikan sebungkus batagor kepadaku — yang kutebak itu seharga lima ribu. Sesuai janji Lastri  membelikan ku jajanan  khas Bandung ini, jajanan gerobak banyak di jual pada sore hari di pantai, apa lagi jika sedang banyak pengunjung. “Makasih Las tau aja lu kesukaan gue.” Ucapku sambil menerima sebungkus batagor. “Iyalah! lu kan setiap kesini jajan nya batagor doang!” Sewot Lastri dengan gaya mulut bebek. Aku hanya menampilkan cengiran dan fokus membuka sebungkus batagor tersebut. 

     Hari berlalu demi hari. Aku dengan kegiatan sekolah, Bapak yang tiap hari pergi melaut, Ibu dengan urusan rumah, serta kedua kakak laki-laki ku  yang untung nya masih sering bertukar kabar. Semua berjalan normal, sampai tadi pagi, para guru bertanya kepada kami tentang siapa yang ingin mendaftar kuliah. Aku sendiri punya keinginan besar untuk melanjutkan pendidikan ku, namun memang terhalang biaya. Hal itu membuat ku takut dan khawatir.  Suatu sore setelah  aku pulang dari pantai, kulihat bapak dan ibu sedang mengobrol –yang kelihatannya serius– di ruang tamu.“Assalamualaikum Pak, Bu.” Sapa ku sambil mencium tangan mereka satu per satu.“Walaikum salam Dek.” jawab mereka kompak. 

    Setelah bersih-bersih, kami berkumpul kembali pada saat makan malam. Suasana di meja makan terasa hening, jadi aku memtuskan untuk bertanya,“Pak dapet banyak hari ini?” Bapak menoleh kepada ku.” Enggak Dek, lagi susah  keadaan di laut.” Seketika aku teringat dengan berita di tv, “Karna pagar laut itu ya pak?” tanya ku pelan.  Bapak menghela nafas — terlihat lelah— “Iya Dek, para nelayan yang lain juga sedang kesusahan karna pagar laut itu”. Ibu hanya menyimak percakapan kami dengan diam. “Kenapa bapak tidak lapor kan ke pihak berwenang?” Tanya ku lagi. “Sudah dek, Bapak dan nelayan yang lain sudah melapor, karna pagar laut itu membuat lautan menjadi dangkal dan para ikan menjauh. Sehingga Bapak susah mencari ikan.” Jawab Bapak. dengan jawaban dari Bapak, aku mengurungkan niat berbicara mengenai keinginan untuk berkuliah.. 


    Tadi siang Bu Anggi memanggil ku setelah pulang sekolah. Ternyata Bu Anggi menawarkan ku untuk mendaftar KIP kuliah, beliau berkata bahwa aku mempunyai potensi dan kemauan yang tinggi agar bisa masuk universitas, Beliau berjanji akan membantu mengurusi pendaftaran dan dokumen yang dibutuhkan. Mendengar hal itu, rasa nya seperti  mimpi! Tak pernah terbayang olehku aku akan dapat beasiswa untuk kuliah. Tak perlu berpikir lama segera ku iyakan tawaran Bu Anggi. Tidak sabar rasanya memberitahukan kabar bahagia ini kepada Bapak dan Ibu.

      Pada hari minggu, tidak sama seperti hari minggu lainya,  kami sarapan bersama kak Aldo dan istrinya, kak Yasmin, yang sedang berkunjung ke rumah.  Rumah mereka memang tidak terlalu jauh, tapi keduanya sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa berkunjung jika hari libur.

     Saat keadaan hening aku memutuskan untuk memberitahu tentang KIP kuliah. “Bapak, Ibu.” panggil ku gugup. Bapak dan ibu hanya menoleh dan menungguku untuk berbicara. “Aku mau kuliah.” Sekilas aku bisa menangkap ekspresi kaget dari seluruh anggota di meja makan itu, mungkin mereka tidak menyangka aku mau kuliah. “Kamu serius mau kuliah? Tidak mau langsung nikah atau bekerja saja? Seperti anak tetangga sebelah.” Dengan cepat aku menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Ibu. “ Enggak lah Bu, aku gak sama kayak mereka, aku mau bisa punya uang sendiri baru menikah.” Sejenak keheningan merayap diantara kami. “Bukannya bapak melarang kamu kuliah, tapi kamu tahukan keadaan bapak lagi sulit?” Sahut Bapak tiba-tiba,“Tabungan bapak memang ada buat kamu, tapi tidak banyak, rasa-rasanya belum cukup agar bisa menguliahkan kamu.” Lanjut Bapak. 

    “Bapak, ibu, dan kak Aldo tidak perlu khawatir soal biaya, kata guruku aku bisa dapat KIP kuliah dan seluruh biaya kuliah serta biaya hidup akan ditanggung oleh pemerintah” Setelah mendengar penjelasan ku lebih lanjut dan mendengar bahwa Bu Anggi bersedia membantu, wajah Bapak dan Ibu terlihat lega. “Maaf ya dek, Ibu sama Bapak belum bisa wujudin keinginan mu dan Ibu akan selalu doakan agar kamu sukses Dek.” Ibu menangis dan memelukku erat. Sedangkan Bapak  menatapku dengan penuh rasa syukur dan mata yang berkaca-kaca. 

 Ya Allah  semoga engkau mengabulkan doa dan harapan keluarga ini


5 bulan kemudian

     Hari berlalu dengan cepat, Aku sudah mendaftar KIP kuliah dengan semua persyaratan dan dokumen yang sudah disiapkan. Bu Anggi membantu ku menyiapkan segala nya dengan baik. Ujian Akhir Sekolah pun sudah lewat berlalu. Semua berjalan lancar. Hari ini adalah hari pengumuman, gugup sekali rasanya. 

 

TINN TINNN


   “ASSALAMUALAIKUM AYU!.” Bu Anggi datang tergopoh-gopoh ke rumahku. “Ayu kamu lolos seleksi! Kamu bisa kuliah Yu!” Aku yang masih memproses ucapan Bu Anggi merasa kaget dan sangat bersyukur. Bahagia sekali rasa nya saat impian mu terwujud satu persatu. Bapak dan Ibu yang mendengar hal itu, tidak berhenti mengucapkan rasa syukur dan memelukku erat, dan segera mereka memberitahu kabar baik ini ke kedua kakak ku.  

 Aku yakin hal ini menjadi langkah awal untuk mewujudkan impianku yang lain. 


4 tahun kemudian

 CEKREK CEKREK 

    “Menghadap ke kamera semua!” “ Ya bagus! Bapak sama Ibu boleh peluk anak nya!” “Oke!” Seru sang Fotografer. Hari ini kami melakukan foto keluarga. Sangat senang rasanya karna semua anggota keluarga berkumpul kembali, Bapak, Ibu, Kak Aldo dan istri nya, Kak Angga–jangan tanya kenapa dia belum nikah–, dan aku. 

    Hari ini merupakan hari spesial bagiku, karna selain kami melakukan foto keluarga. Hari ini merupakan hari kelulusan ku. Setelah menjalani kuliah selama empat tahun, aku berhasil lulus tepat waktu dan dan lulus dengan hasil cumlaude . Aku yang dulu mungkin tidak pernah berpikir bahwa, seorang anak nelayan biasa, yang hidup dari penghasilan bapak nelayan. Hari ini bisa kuliah dan lulus dari universitas. 

    Bagi anak Indonesia di luar sana, jangan takut bermimpi, bermimpilah setinggi mungkin dan ketika kamu mecapai nya jangan lupa untuk membantu orang di bawahmu. dan satu hal yang penting, bahwa semua anak Indonesia  memiliki hak yang sama dalam pendidikan.