Cerpen Aulia Fatihatu Zulfanisa
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku hidup di suatu hutan, tapi bukanlah hal yang rumit untuk menemukanku, cukup jejakkan saja kakimu beberapa ribu langkah dan kita pasti bertemu. Namun, terkadang aku bersembunyi, lebih tepatnya tersembunyi. Tersembunyi dibalik semak-semak atau mungkin pohon-pohon kecil yang lambat laun semakin kokoh.
Di hutanlah juga aku tumbuh menjadi kuat nan tinggi. Sudah terbiasa bagiku untuk setiap hari mendengar burung-burung berkicauan, berpapasan dengan beranekaragam hewan, atau melawan dahsyatnya badai. Aku tak pernah bosan, selalu menyenangkan mendengar nyanyian burung atau menyapa rusa yang lewat. Hanya saja, aku tak terlalu suka jika malah gajah yang menghampiriku.
Naasnya, suatu ketika, bukanlah seekor gajah, tapi beberapa orang yang bukan hanya datang, namun juga membawaku dan teman-temanku pergi. Sebagian dari orang-orang itu bertubuh kurus, tapi mereka kuat. Cukup kuat untuk membawaku dan sebagian teman-temanku keluar dari hutan ini, kami terpaksa untuk itu. Aku tak dapat menolak, karena aku dilahirkan bisu. Memberontak? Tidak, kami pun tidak dianugerahkan kemampuan itu.
Mereka membopong badanku menuju truk merah besar yang terparkir di ujung hutan. Oh tidak, aku melihat begitu banyak truk yang membawa sebagian dari kami. Truk itu tanpa atap, sehingga terpaksa bagi kami untuk selalu di bawah langit setiap hari. Tak ada ranting pohon atau dedaunan yang melindungi. Ketika siang, begitu panas dan menghauskan. Ketika malam, begitu dingin menusuk… jiwa.. Aku sudah merindukan hutan. Di sana aku tak perlu merasakan kelaparan.
Perjalanan yang begitu panjang akhirnya berakhir juga. Setelah begitu lama terpapar cahaya langit siang dan malam, panas dan dingin, di dalam bak truk tanpa atap ini, kami menginjakkan kaki di tanah baru. Ntah di tempat apa, yang jelas hutan lebih baik.
Tempat ini bising memekakkan, berbeda dengan hutan yang syahdu nan riang. Tak dapat kuhirup udara segar, yang ada malah diriku terinjak-injak oleh manusia-manusia kurus, juga menyeretku dengan kasar. Lalu, mereka mengikatku dengan temanku. Tidak! Ini bukanlah sebuah ikatan. Ini jauh lebih menyakitkan. Ada sesuatu yang menusukku.
Ketika malam tiba, pencahayaan di tempat ini remang-remang. Kulihat banyak manusia berlalu lalang. Mereka berjalan cepat kesana-kemari, juga sibuk mengikat yang lain. Tak lama dari itu, ada manusia gendut yang diikuti si pendek mendekat ke arahku.
“Apakah ini cukup kuat?”
“Saya pastikan ini kuat Pak. Kami memilih yang terbaik dari hutan.”
Si gendut menggoyang-goyangkan tubuhku seakan memastikan.
“Pastikan semuanya kuat. Mulai pindahkan semunya di malam hari,”
“Baik, Pak.”
Maka ini bukanlah tempat terakhir. Aku akan dibawa kemana lagi?
Aku pikir, di malam ini mereka akan memindahkanku ke tempat yang baru. Aku sungguh berharap itu adalah hutan. Namun, nyatanya tak semeter pun aku berpindah tempat.
Keesokannya, si manusia gendut dan kurus itu mendatangiku lagi, lebih tepatnya hanya mendekat ke arahku.
“Pak, tak ada izin untuk ini,”
“Hahaha…” gelak si pria gendut dengan nada mengejek.
“Tak ada izin atau tak kau tahu cara mendapat izin?! Saya ingin semuanya rampung dengan cepat!”
Itulah percakapan yang kudengar jelas dari mereka. Mereka tak tahu aku mendengar tiap kata dengan seksama. Jika mereka tahu pun, mungkin mereka juga tak peduli.
Aku tak tahu mengapa dalam percakapan itu si gendut tiba-tiba marah. Juga apa yang sedang orang-orang ini lakukan. Dan untuk apa mereka membawa kami.
Di pagi hari, aku mendapati pria jangkung yang asing di lokasi ini. Aku tak pernah melihat ia sebelumnya. Ternyata, ia menemui si gendut. Sayangnya, mereka cukup jauh, sekitar lima meter dariku. Syukurnya, di pagi hari tak banyak kegiatan yang dilakukan sehingga aku dapat mendengar percakapan mereka walau samar-samar.
Samar-samar kulihat amplop coklat diberikan kepada si jangkung. Tebal, cukup tebal. Namun, si jangkung tampak enggan menerima.
“Ini salah, Pak. Saya tidak dapat memberikan izin untuk ini,”
“Apa kurang? Bagaimana dengan ini?” ucap si gendut sembari memberikan dua amplop coklat lagi.
“Bagaimana dengan nelayan, Pak?”
“Laut itu luas. Sangat luas untuk berlayar dan mendapati ikan di bagian lain. Lagipula, proyek ini juga akan membantu masyarakatkan? Kami akan mempekerjakan orang-orang dari kampung ini. Urus saja surat izinnya dan terima ini.”
Oh tidak, ini suatu bencana. Ini suatu kebobrokan. Seonggok uang haram yang diterima si jangkung dari si gendut akan membawa petaka. Aku tak sudi untuk dijadikan bagian dari kerusakan itu! Jika aku dapat memilih, jika aku dapat berlari, jika aku dapat berbicara, dan jika aku dapat memberontak, sudah pasti kulakukan. Tuhan, ampunilah aku, karena tak bisa kulindungi mereka yang lemah.
Nelayan-nelayan malang yang dicuri haknya. Sudahlah sulit, makin ditambah sulit. Beban orang-orang terkasih yang diemban, makin-makin membuat susah.
Aku ini hanyalah sebatang bambu yang hidup di hutan sedari lamanya. Selalu kubanggakan batangku yang kuat nan tinggi, terkutuklah sekarang. Ya Tuhan, jadikanlah aku rapuh tanpa terkena ombak. Agar tak menjadi bagian dari kemalangan manusia yang lemah. Ya Tuhan, datangkanlah angin kencang agar kami patah, agar kami bukanlah menjadi penghalang rezeki orang yang lurus. Biarkanlah kami menanggung sakit, agar para nelayan-nelayan itu tetap dapat berlayar bebas. Tetap dapat menjaring ikan dengan aman. Supaya mereka tetap dapat menyekolahkan dan memberi makan anak cucunya. Aku ini hanyalah sebatang bambu yang hidup di hutan sedari lamanya, sedari induk gajah melahirkan anak tertua hingga sang anak lebih kekar dari ayahnya. Namun, aku yang sudah dewasa dan bersahaja, hilang sudah kebanggaanku. Tanpa dapat memberontak, mereka membawaku ke laut. Menancapkan kaki-kakiku ke terumbu yang hidup. Menjadikan aku sebagai tameng perang melawan yang lemah.
Apa kau dapat bayangkan jika dirimu menjadi penyebab matinya seseorang?
Ikan-ikan tak lagi berenang bebas. Beberapa terjebak di sela-sela tubuhku. Kudengar mereka mengutuk batang-batang bambu ini. Biarlah begitu, karena memang kami yang memisahkan seorang ibu dan anak ikan. Seekor telah mati terjerat di sela-selaku, olehku.
Kulihat tadi, sebuah kapal yang dinahkodai lelaki tua nan kurus diusir kasar dan harus berlayar lebih jauh lagi. Tubuhnya yang begitu renta, terlihat lemah, namun harus melawan arus yang lebih ganas demi seonggok nasi. Padahal, ada yang menerima seonggok pundi-pundi. Tak hanya si kakek, tiap harinya aku mendengar sumpah serapah dari orang yang berbeda. Aku melihat kapal-kapal penuh sahaja itu mengusir pencari-pencari nafkah di laut. Punya siapakah laut ini?Sungguh kejam perlakuan mereka. Mereka yang bernasib malang, sering mengutukku. Tapi biarlah begitu. Adalah sebuah keharusan untuk mengutukku. Karena dengan banyak doa-doa dari orang yang terzalimi, aku semakin lama semakin hancur. Dan biarkan batang bambu yang terkutuk ini hancur lebur. Izinkan juga aku mengutuk mereka yang tamak. Terkutuklah tiap-tiap jiwa yang curang. Kehidupan yang akan mencurangi mereka, melucuti perlakuan kejam mereka. Kuatlah wahai tubuh-tubuh yang lemah, karena jiwamu kuat melawan bajingan.
Aku doakan diriku mati di laut. Bambu hutan yang ingin kokoh di hutan, malah menjadi pagar laut memagari hak-hak nelayan. Memisahkan rezeki dan pencari rezeki, membantu mereka yang tidur berlapis emas. Tak ada perjuangan yang dapat kulakukan, tapi ketahuilah bahwa sebatang bambu mengutuk kekejian itu. Aku ini sebatang bambu dan mereka manusia. Biarkan aku mati agar kembali kau mengarungi sisi lautan. Matikanlah aku sebelum kau yang mati. Angkatlah kaki-kakiku dan bakarlah diriku. Atau biarkan saja aku mati di laut terbawa ombak, agar tiap-tiap yang melihat jasadku mengetahui kekejaman yang pernah dilakukan mereka yang tamak.