Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Auri Angkasa Bangun | Ombak di Balik Pagar Laut

Cerpen Auri Angkasa Bangun 



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


2016 di rumah kecil...


Rumah ini adalah rumah tempatku berteduh, rumah ini adalah saksi bisu kasih sayang Ayah kepadaku, walau aku dibesarkan tanpa adanya peran dari ibu, tapi hebatnya ayah bisa menggantikan peran sulit itu. Kata ayah Ibuku meninggal karena sakit namun, aku tak percaya perkataan Ayah karena, tak ada bukti yang menyatakan Ibu meninggal Karena sakit.


Sejak aku kecil Ayah sudah membuat pagar untuk menghalangi ombak beserta air laut yang akan menerjang wilayah desaku. Ayahku bisa dibilang orang penting bagi desaku karena ialah yang menyelamatkan desaku dari pasang surut air laut. Sejak aku umur 9 tahun aku sudah bertanya-tanya pada Ayah mengapa Ayah sering meminta maaf pada foto 2 pasang suami istri di malam hari namun,Ia terus mengelak pertanyaan itu.


Karena rasa penasaran ku sangat kuat, aku nekat menguping perkataan Ayah di malam itu samar-samar ku dengar kata-kata yang sering ayah ucapkan sambil menangis menatap foto itu ia berkata 


"Maafkan aku, jika aku tak membiarkan kalian kalian pasti masih di sini bersama rasya."menangis ayah mengelus foto itu.


Tak sengaja aku jatuhkan remot TV di sebelahku, ayah menghampiriku dengan wajah marah ia menyuruhku kembali ke kamar dan melarangku untuk menguping pembicaraannya lagi sebagai anak aku tentu kesal dan penasaran Mengapa ayah terlalu takut jika aku menanyakan tentang ibu 


Ada apa dengan ibu ?


Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Aku juga sudah bertanya dengan orang-orang sekitar tentang alasan ibuku meninggal tapi, jawaban mereka semua sama seperti ayahku 


"Ibumu meninggal karena sakit."Namun anehnya aku masih tak percaya jawaban mereka itu. 


Sampai aku berumur 15 tahun. Mereka kira aku sudah tidak memperdulikan Alasan ibuku meninggal Namun, nyatanya aku masih mencari tahu akan hal itu. Aku bukan hanya menanyakan orang-orang sekitar karena aku sudah pasti tahu jawaban mereka, jadi aku mulai pergi ke daerah yang katanya teman pelaut Ayahku berada di sana. Ternyata sebelum Ayah menjadi kepala desa, Ayah dulu adalah seorang nelayan yang mencari ikan di laut dekat Desaku.


 Desa teman Ayahku lumayan jauh, dari desaku ke sana banyak memakan waktu, untungnya temanku vernon menemaniku untuk mencari rumah nya.Akhirnya kami bertemu dengan teman ayahku, Ia bernama tuan Robert aku mulai menanyakan sambil merekam agar ada bukti dan juga Aku ingin menyebar Petualanganku ini ke internet. Aku mulai bertanya dengan hal-hal kecil, seperti bagaimana status ayah dan ibuku. Dan juga bagaimana kedekatan mereka saat itu. 


Ia menjawab dengan baik-baik saja, sampai aku bertanya tentang kematian ibuku, terlihat mimik wajahnya ragu untuk menjawab pertanyaanku namun aku memohon kepadanya, karena sudah bertahun-tahun aku mencari informasi tentang ibuku meninggal namun, tak ada satupun yang ingin mengatakan sejujurnya kepadaku. Aku siap menerima semua kenyataan, Aku berjanji tak akan dendam pada orang yang mencelakai ibu. Jadi aku memohon hanya untuk menjawab pertanyaanku dengan benar, ia mulai menjawab


" Ibumu dulu bukan meninggal karena sakit,ibumu meninggal karena tenggelam di lautan karena, cuaca hari itu buruk namun, ia tetap bersikeras untuk ikut, waktu itu kami terombang-ambing disana aku tak bisa mengingat hal itu lagi."


 Ia hanya memberitahu aku itu saja, aku sudah tebak pasti ibu meninggal ada sangkut paut nya dengan lautan namun, dia tidak menjelaskan kronologi dan karena siapa ibu meninggal. Tuan Robert menyuruhku pulang karena hari mulai malam ia bilang 


" Biarkan ayahmu yang menjelaskan ini semua."


Aku bergegas pulang sambil menangis di seiring jalan Vernon mencoba menenangkanku 


"Aku turut berduka atas ibumu walau ini sudah terlambat. Aku berjanji akan selalu menemanimu untuk mencari tahu hal ini."


Aku pulang dan mencari ayah untuk menjelaskan detail kejadian saat itu, dengan suara bergetar aku bertanya kepada ayah aku tak tahu mengapa dia membohongiku, ayah menangis, ia bilang Aku akan mengetahuinya saat aku besar nanti, kecewa aku dengan jawabannya aku terlepas mengatakan 


" Bagaimana jika aku besar ayah sudah meninggal ? "


tak sangka kata-kata ini keluar dari mulutku, aku membuat ayah sedih, ia berjalan ke kamar. Aku menghampirinya dan meminta maaf, aku berjanji tidak akan mencari tahu tentang ibu lagi.


 Berdiri aku di depan pagar laut yang menjulang tinggi sambil termenung, angin mengibaskan rambutku. Vernon datang dan menatapku. Aku menceritakan kejadian tadi malam. 


"Maaf ya Vern aku terlalu menyusahkanmu hanya karna masalah hidupku, mulai sekarang aku tak ingin melanjutkan untuk mencari tentang kematian ibu lagi, aku sudah ikhlas ia pergi aku tak mau ayah juga ikut pergi Vern..."


 Vernon mengelus kepalaku dia mengerti perasaanku saat ini, aku menangis di pelukan hangatnya.


Tahun demi tahun berlalu. Aku sekarang sudah bukan anak SMA lagi aku Sudah kuliah sekarang, Sangat senang aku di terima di universitas impianku namun, aku harus meninggalkan ayah dan desa ini aku pasti akan merindukan pagar laut yang kokoh ini. Aku berjanji akan pulang dengan membawa gelar sarjana. sebelum aku pergi ayah memberiku kalung dengan mutiara biru bersinar  aku bertanya 


"Dimana ayah mendapat kalung ini ? aku tak melihat mutiara biru seindah ini, terimakasih ayah." kagumku pada mutiara itu.

" Mutiara indah ini adalah hasil pencarian ayah dan ibumu dulu, ia cantik seperti dirimu." ayah mengelus kepalaku dengan lembut.


 Aku memeluknya sambil menangis dan menyuruh ia agar menjaga kesehatannya. Aku menitip ayahku dengan Vernon untuk menjaganya agar tidak lupa untuk minun obat dan makan. Vernon memegang janji itu dengan baik. 


Ternyata dunia luar sangat sibuk jadi aku jarang menelpon Vernon untuk menanyakan kabar ayahku, dia selalu bertanya kapan aku pulang namun, disini aku tak ada kesempatan pulang, aku sangat sibuk di sini. Sampai dimana vernon menyuruhku pulang segera tapi, ia tak memberikan alasan apapun aku takut ada terjadi sesuatu dengan ayah jadi aku bergegas untuk pulang ke rumah karena saat itu juga aku diberi cuti.


Aku sudah berada di desa lamaku, banyak sekali perubahan namun, aku tak memperhatikan lebih jelas  aku bergegas ke rumahku untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat ada banyak orang di sana yang berkumpul di rumahku aku berlari sekencang-kencangnya tak tahu apa yang ku pikirkan dalam hati dan pikiran ini, aku melihat ayah terbaring diselimuti kain kafan tak bernyawa, aku berlutut di depan jasadnya, aku peluk ayah untuk yang terakhir kalinya.


 Menangisku tak henti, Vernon mencoba menenangkanku namun, aku menyalahkan diriku sendiri 


" Mengapa aku tak sering pulang untuk melihat ayah ? mengapa aku tak menanyakan kabar ayah akhir-akhir ini ? mungkin aku bisa berbicara dengan ayah sekali saja, untuk yang terakhir kalinya..."


Vernon memelukku, dia bilang ini bukan salahku tapi takdirlah yang membuat ini. Setelah ayah dikebumikan aku duduk diranjang ayah, menangis menatap fotonya Vernon datang dan meberikan sepucuk surat. 


" Surat itu dari ayahmu, ia menitipkan ini kepadaku, mungkin ini tentang ibumu. "


 Aku mengambil surat itu, terus membacanya isi surat itu adalah.


"Untuk Rasya yang ayah sayang... maaf ya rasya, ayah nyembunyiin semua ini dari kamu. Ayah cuma mau bilang sebenarnya ayah ini bukan ayah kamu, ayah kamu sudah meninggal dari waktu kamu umur 2 tahun.Ayah dan ibumu meninggal bersama. Saat itu di kapal yang terombang-ambing dibawa ombak dan hujan yang deras. Maafkan ayah tak menyelamatkan mereka berdua tapi mereka menitipkan pesan dengan ayah, untuk menjagamu sampai akhir hayat ayah. Ayah memegang janji itu, maaf selama ini ayah kurang menjagamu dengan baik. Mutiara itu adalah mutiara yabg dicari oleh ayah, ibumu untuk hadiah ulang tahunmu. ayah minta maaf karena tidak bisa menyelamatkan ibu dan ayahmu waktu itu,walau ayah bukanlah ayah kandungmu ayah selalu sayang kamu Rasya."


 Menangis tersentuh, sendu ku membaca surat itu. Akhirnya aku tahu mengapa ibuku meninggal namun, ternyata selama ini ayah yang kukenal sebagai pahlawanku bukan ayah kandungku, melainkan teman ayahku. terima kasih ayah walau kau bukan ayahku, aku akan menganggapmu terus begitu. Beruntungku bisa mengenal dirimu kau memegang janji itu dengan amanah, tak ada orang yang sekuat dirimu ayah.


Dari sini aku sadar ternyata orang yang disebut Keluarga itu bukan berarti adalah orangtua kandung kita tapi adalah orang yang bisa menjadi peran penting bagi hidup kita dan menjadi rumah nyaman kita.



Terduduk ku di pinggir pantai menatap senja yang ingin tenggelam, meneteskan air mata...melihat kelomang yang kembali ke rumahnya. Vernon datang, ia duduk di sebelahku Vernon berkata padaku.


" Kau tau ? di balik pagar laut yang terlihat kokoh dan tegar ini, menyimpan ombak yang menerjang nya terus menerus tanpa henti namun, ia tetap kuat menahan air laut itu. Berusaha lah seperti pagar laut, dia tak mau orang-orang tau bagaimana besarnya masalah yang ia hadapi, tapi ia selalu melindungi orang-orang yang merawatnya dengan baik, ia tetap terlihat tegar, agar tak menyusahkan mereka."


Tersenyum ku melihat kearahnya dan berkata


" Jadi maksud kamu, kamu itu adalah pagar laut dan aku ombaknya. Berarti kamu menganggapku itu masalah kamu ?" Bercandaku meliriknya.


Ia tertawa dan mengusap kepalaku 


"Bukan begitu, tapi nggak papa kalau kamu ombaknya aku siap jadi pagar laut untukmu selamanya."


Kami tertawa di bawah senja yang indah...


Hidup itu bagai laut yang luas, yang memiliki kedalaman dan keindahan yang tidak terhingga.

Hidup itu juga bagai api yang menyala, yang memerlukan bahan bakar untuk terus menyala. Namun, yang terpenting hiduplah dengan cinta dan kasih sayang, Sayangilah orang yang memperdulikanmu sebelum tuhan menyayanginya.