Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Azi Aryadi Najar | Pagar Pemisah Dua Dunia

Cerpen Azi Aryadi Najar




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Pada hari itu sangatlah rancu, dimana seorang nelayan bernama Jupri sedang duduk disebelah temannya yang bernama Supri. Kedua teman sejoli itu duduk bersama dan sambil mengobrol tentang masa-masa menjadi nelayan yang sangat damai tanpa sebuah problematika di sebuah negara yang ditempatinya.


“ Dulu kita sangatlah mudah dalam mencari ikan yah?”. Kata Jupri


“Iya dulu kita sangat mudah dalam mencari ikan sebelum dibangunnya pagar laut yang dibangun oleh pejabat negara ini yang tidak memperdulikan rakyat nelayan ini.”  Balas Supri


“ Dulu negara ini sangatlah indah sebelum porak poranda’’. Balas Supri menambahi


Mereka pun mengingat masa-masa saat kecil dimana dunia yang belum terpisah oleh pagar-pagar yang dibuat. Dahulu mereka bercita-cita menjadi Nelayan, dimana profesi nelayan saat itu sangatlah banyak yang menggandrungi, dikarenakan berjasa dalam memenuhi sumber pangan yang berguna untuk semua.


Saat sedang termenung tiba-tiba datang sekelompok pejabat yang datang untuk melanjutkan mega proyek itu, merekapun bentrok dengan sekelompok pejabat itu. Yah seperti yang bisa ditebak tentu mereka kalah dikarenakan  kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki para pejabat tersebut. Melihat para pejabat berpakaian resmi berjalan melewati mereka tanpa rasa bersalah, Supri dan Jupri hanya bisa terdiam. Mereka membatasi lautan yang dulu mereka cintai dengan alat berat, memperbaiki pagar yang semakin tinggi dan kokoh.


“Bagaimana kalau kita melawan?” tanya Jupri dengan nada marah. “Kita harus menjaga laut ini, menjaga kehidupan kita.”


Supri menggelengkan kepala, matanya kosong seolah kehilangan arah. “Lawan? Apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya nelayan biasa. Mereka punya segalanya—uang, kekuasaan, dan alat-alat untuk mengalahkan kita.”


Suasana sekitar menjadi hening, hanya suara ombak yang terdengar keras di kejauhan. Pagar laut yang semakin besar itu berdiri kokoh seperti tembok pembatas antara dua dunia. Dunia laut yang mereka kenal dan cintai, dan dunia baru yang semakin terbentuk di balik pagar itu, dunia yang semakin tidak mengenal mereka.


“Pagar itu bukan hanya pembatas fisik,” kata Supri perlahan. “Tapi juga pembatas antara dunia lama dan dunia yang baru. Dunia yang dulunya kita kenal sebagai tempat yang damai, kini telah berubah menjadi lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang tidak mengerti apa artinya hidup sebagai nelayan.”


Jupri menatap pagar itu dengan penuh kebencian. “Dulu, saat kita masih kecil, lautan ini adalah rumah kita. Kita bisa berjalan ke sana kemari, mencari ikan, merasakan kedamaian yang hanya bisa ditemukan di laut. Tapi sekarang, mereka menghalangi kita dengan pagar ini.”


Supri mengangguk perlahan. “Dunia ini berubah, Jupri. Tapi bukan kita yang mengubahnya. Pagar ini hanya menjadi simbol dari keserakahan mereka, dari ketidakpedulian mereka terhadap kita. Tapi kita masih bisa berjuang, bukan dengan kekerasan, tapi dengan cara yang lebih bijak.”


Supri meraih tangan Jupri dan menggenggamnya erat. “Kita bisa mencari cara lain untuk bertahan, Jupri. Mungkin kita bisa mulai berbicara dengan mereka yang ada di luar pagar, mencari jalan agar mereka bisa mendengar suara kita.”


Jupri menatap Supri dengan tatapan yang lebih tenang, meski masih ada kemarahan di dalam hatinya. “Kau benar, Supri. Kita harus mencari cara untuk membuat mereka mendengar. Laut ini adalah milik kita, bukan hanya milik mereka yang punya uang atau kekuasaan.”


Mereka berdiri bersama, menatap pagar yang semakin menjulang tinggi di hadapan mereka, menutup pandangan mereka terhadap lautan yang dulu bebas dan penuh kehidupan. Namun, meskipun pagar itu tampak kokoh dan tak tergoyahkan, dalam hati Jupri dan Supri, mereka masih merasa ada secercah harapan.


“Mungkin kita bisa mulai mengorganisir para nelayan lainnya,” kata Supri, menyarankan dengan penuh semangat. “Jika kita bersatu, suara kita akan lebih kuat. Kita bukan hanya berbicara untuk diri kita sendiri, tapi untuk masa depan anak cucu kita. Laut ini adalah warisan yang harus dijaga.”


Jupri mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. "Tapi bagaimana kita bisa berbicara dengan mereka yang ada di dalam pagar itu? Mereka terlalu tinggi, terlalu jauh dari kita."


Supri memandang Jupri dengan tatapan penuh keyakinan. “Mereka mungkin tidak mendengarkan kita sekarang, tapi kita harus mencari cara untuk menjangkau mereka. Mungkin kita bisa membuat suara kita terdengar lewat cara yang berbeda dengan cerita kita, dengan pengalaman kita, dan dengan apa yang sebenarnya mereka hancurkan. Laut bukan hanya tempat kita mencari ikan, tapi tempat kita hidup. Mereka harus tahu itu.”


Jupri berpikir sejenak. Suaranya mulai terdengar lebih mantap. “Kau benar, Supri. Kita harus mencari cara agar mereka tahu apa yang hilang dari dunia mereka apa yang hilang dari kita. Pagar itu mungkin membatasi kita, tapi tidak akan bisa menutup mata kita terhadap kenyataan.”


Supri tersenyum tipis, merasa semangatnya mulai terbangun kembali. “Kita mulai dari yang kecil, Jupri. Kita kumpulkan nelayan-nelayan yang masih mau berjuang, kita buat gerakan. Dengan teknologi yang ada sekarang, kita bisa menyebarkan suara kita ke seluruh dunia. Mungkin mereka akan mendengar.”


Jupri tersenyum, meskipun rasa cemas masih menghantuinya. “Mungkin ini bukan perjuangan yang mudah, tapi kita tidak bisa menyerah begitu saja. Laut ini adalah rumah kita. Kita harus berjuang untuk itu.”


Mereka berdua berdiri lebih lama, memandang ke arah lautan yang luas, seolah berharap ada secercah harapan yang datang dari balik pagar yang membatasi dunia mereka. Meskipun dunia sudah berubah, dan pagar itu semakin menutup jalan mereka, Jupri dan Supri tahu bahwa suara mereka tidak akan pernah bisa dibungkam selamanya.


“Kita akan bertahan,” kata Supri, dengan tekad yang lebih kuat. “Dan kita akan membuat mereka mendengar. Laut ini bukan milik mereka. Laut ini adalah milik kita.”


Jupri mengangguk, merasa sebuah semangat baru mulai menyala dalam dirinya. Ia tahu, perjuangan ini tidak akan mudah, dan mungkin tidak akan ada jalan yang instan untuk mengubah segalanya. Tetapi, satu hal yang pasti mereka tidak bisa hanya duduk diam dan membiarkan segalanya hancur begitu saja.


“Kita harus berani, Supri,” kata Jupri dengan suara yang semakin mantap. “Tidak hanya untuk kita, tapi untuk anak-anak kita, untuk generasi yang akan datang. Laut ini harus tetap menjadi rumah kita. Kita harus mempertahankan hak kita.”


Supri tersenyum, dan kedua temannya itu saling menatap dengan penuh pengertian. Meskipun dunia di sekitar mereka tampak semakin jauh dan terpisah oleh pagar-pagar yang diciptakan, mereka tahu bahwa ada satu hal yang tidak bisa dipisahkan rasa cinta mereka terhadap laut, dan semangat untuk melindunginya.


Mereka mulai merencanakan langkah-langkah kecil, dimulai dengan berkumpulnya para nelayan di sekitar mereka. Mereka akan berbicara, menyatukan kekuatan mereka, dan melawan ketidakadilan yang terjadi. Supri mengusulkan agar mereka membentuk komunitas nelayan yang lebih solid, yang dapat menyuarakan ketidakpuasan mereka kepada masyarakat luas. Jupri mulai memikirkan cara untuk memanfaatkan teknologi, seperti media sosial, untuk menyebarkan pesan mereka.


Seiring berjalannya waktu, suara-suara mereka mulai terdengar. Para nelayan yang sebelumnya pasrah mulai bangkit, berbicara dalam satu suara. Perlahan, mereka menarik perhatian banyak orang baik dari kalangan nelayan maupun masyarakat luas. Mereka tidak lagi diam, tidak lagi terjebak dalam ketakutan dan keputusasaan. Pagar itu, meskipun masih ada, tidak bisa menutup suara mereka.


Mereka membuat petisi, mengadakan aksi damai di depan kantor-kantor pejabat yang berkuasa, dan menyebarkan cerita mereka melalui berbagai saluran. Media mulai meliput, dan masyarakat mulai memperhatikan apa yang sedang terjadi. Pagar laut yang dulunya tampak tak tergoyahkan mulai mendapatkan tekanan.


Supri dan Jupri terus berjuang, meski jalan mereka masih panjang. Namun, mereka tidak merasa sendirian lagi. Mereka tahu, perjuangan ini bukan hanya milik mereka, tetapi milik semua orang yang peduli dengan nasib laut dan masa depan anak cucu mereka.


Suatu hari, saat matahari terbenam di ujung horizon, Jupri dan Supri berdiri di tepi laut, memandang luasnya lautan yang kini terasa lebih dekat dari sebelumnya. Pagar itu mungkin masih ada, namun di hati mereka, mereka tahu bahwa harapan masih hidup.


“Laut ini adalah milik kita,” kata Supri dengan penuh keyakinan. “Dan kita akan terus berjuang untuk itu.”


Jupri tersenyum dan memandang lautan, merasa seolah angin laut berbisik dengan lembut, mengingatkan mereka bahwa perjuangan ini jauh dari selesai. Namun, dengan semangat yang membara di dalam hati mereka, Jupri dan Supri tahu bahwa selama mereka bersatu dan berjuang dengan tekad, tak ada pagar yang bisa menghalangi mereka untuk kembali meraih kebebasan mereka di laut yang telah lama mereka cintai.