Cerpen Azka Aidan Pujolaksono
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Langit senja memerah di barat, memantulkan cahaya keemasan di atas permukaan air yang tenang. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Di sebuah gubuk kayu sederhana di tepi pantai, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, Arman, duduk di samping ayahnya, Pak Harun. Matanya yang penuh keingintahuan menatap ke arah laut, di mana deretan pagar laut ilegal berdiri kokoh, memisahkan mereka dari kehidupan yang dulu mereka kenal.
"Bapak, kenapa kita nggak bisa mancing lagi di laut sana? Kenapa ada pagar-pagar itu?" tanya Arman polos, menunjuk ke arah pagar laut yang menghalangi pandangan.
Pak Harun menghela napas panjang. Matanya menerawang, seolah-olah mencoba mengumpulkan kenangan yang selama ini terpendam. Ia menatap Arman, lalu memandang kembali ke laut. "Dulu, Arman, sebelum pagar-pagar itu ada, laut ini adalah sumber kehidupan kita," ujarnya pelan.
Arman terheran-heran. "Maksud Bapak?"
Pak Harun menarik napas lagi, lalu mulai bercerita. "Dulu, sebelum pagar-pagar itu dibangun, Bapak adalah seorang nelayan. Setiap pagi, Bapak pergi ke laut dengan perahu kecil kita. Ikan melimpah, Arman. Kita bisa hidup dengan cukup hanya dari hasil tangkapan. Tapi semuanya berubah ketika pagar-pagar itu muncul."
"Kenapa mereka bikin pagar-pagar itu, Bapak?" tanya Arman, matanya penuh kebingungan.
Pak Harun mengangguk perlahan. "Mereka bilang itu untuk melindungi pantai dari abrasi, tapi sebenarnya, itu hanya alasan. Pagar-pagar itu dibangun oleh orang-orang yang punya kuasa dan uang. Mereka ingin menguasai laut ini, mengambil semua ikan untuk diri mereka sendiri dan untuk menandai kepemilikan tanah illegal mereka. Nelayan-nelayan kecil seperti kita tidak boleh lagi melaut di sana. Mereka bilang itu zona terlarang."
Arman terdiam, mencerna kata-kata ayahnya. "Tapi kenapa kita nggak melawan, Bapak?"
Pak Harun tersenyum getir. "Kita sudah mencoba, Nak. Bapak dan nelayan-nelayan lain pernah protes, bahkan mendatangi pemerintah setempat. Tapi siapa yang mau mendengarkan suara orang kecil seperti kita? Mereka punya uang, punya kekuasaan. Sedangkan kita, hanya punya tenaga dan harapan. Tapi harapan itu perlahan-lahan hilang, Arman."
Suara Pak Harun mulai bergetar. "Setelah pagar-pagar itu berdiri, ikan-ikan mulai menghilang. Mereka mengambil semua sumber daya laut, dan kita tidak punya apa-apa lagi. Bapak tidak bisa lagi melaut. Tidak ada lagi ikan yang bisa ditangkap. Kita kehilangan mata pencaharian, Arman. Bapak harus bekerja serabutan, jadi kuli bangunan, apa saja yang insyallah bisa menghasilkan uang yang halal untuk kita bertahan hidup."
Arman menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik pagar-pagar itu tersimpan cerita sedih yang selama ini disembunyikan ayahnya. "Bapak, kita nggak bisa ngapa-ngapain ya?" tanyanya.
Pak Harun mengusap kepala Arman dengan lembut. "Kita masih punya harapan, Nak. Meskipun sulit, kita harus tetap berusaha. Bapak hanya ingin kamu tumbuh menjadi orang yang lebih baik, yang bisa melindungi orang-orang kecil seperti kita. Jangan biarkan ketidakadilan seperti ini terjadi lagi."
Arman mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan dan kemarahan. Ia menatap kembali ke arah pagar laut, yang kini terlihat seperti simbol penindasan yang memisahkan mereka dari kehidupan yang seharusnya.
"Bapak, aku janji, suatu hari nanti aku akan merobohkan pagar-pagar itu," ujar Arman dengan tekad yang menggebu.
Pak Harun tersenyum kecil, meskipun air matanya hampir jatuh. "Bapak percaya padamu, Nak. Tapi ingat, yang terpenting adalah kamu tumbuh dengan hati yang baik dan pikiran yang jernih. Jangan biarkan kebencian menguasaimu."
Matahari semakin tenggelam, meninggalkan langit yang gelap. Di kejauhan, pagar-pagar laut itu masih berdiri kokoh, seolah menantang siapa pun yang berani melawannya. Tapi di hati Arman, api semangat telah menyala. Ia tahu, suatu hari nanti, ia akan mengubah segalanya.
Dan di tengah senja yang semakin pekat, ayah dan anak itu duduk berdampingan, menatap laut yang dulu pernah menjadi sumber kehidupan mereka, berharap suatu hari nanti, pagar-pagar itu akan runtuh, dan laut akan kembali menjadi milik mereka.
Masa Lalu yang Terkubur
Beberapa tahun sebelumnya, sebelum pagar-pagar itu berdiri, kehidupan di desa pesisir itu begitu damai. Pak Harun adalah nelayan yang dihormati. Setiap pagi, ia dan nelayan lainnya pergi ke laut dengan perahu-perahu kecil mereka. Ikan melimpah, dan hasil tangkapan mereka cukup untuk menghidupi keluarga.
Tapi semuanya berubah ketika sebuah perusahaan besar datang ke desa itu. Mereka membawa janji-janji manis tentang pembangunan dan perlindungan pantai dari abrasi. Warga desa awalnya percaya, tapi kemudian mereka menyadari bahwa perusahaan itu hanya ingin menguasai laut mereka.
Pagar-pagar laut dibangun dengan cepat, memblokir akses nelayan ke daerah tangkapan ikan yang subur. Nelayan-nelayan kecil seperti Pak Harun tidak bisa lagi melaut di sana. Mereka dipaksa untuk mencari pekerjaan lain, tapi tidak ada yang bisa menggantikan penghasilan dari melaut.
Pak Harun mencoba melawan. Ia dan beberapa nelayan lainnya mengadakan protes, mendatangi kantor pemerintah setempat, bahkan mencoba menghubungi media. Tapi semua usaha mereka sia-sia. Perusahaan itu punya uang dan kekuasaan, dan mereka tidak peduli dengan nasib nelayan kecil.
Kehidupan Pak Harun dan keluarganya semakin sulit. Mereka harus berhemat, dan seringkali tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Istrinya, Ibu Sari, harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Arman, yang saat itu masih kecil, tidak mengerti mengapa kehidupan mereka berubah drastis. Ia hanya tahu bahwa ayahnya tidak lagi pergi melaut, dan mereka tidak lagi makan ikan segar seperti dulu.
Harapan di Tengah Kegelapan
Meskipun hidup mereka penuh dengan kesulitan, Pak Harun tidak pernah menyerah. Ia terus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Arman.
"Arman, kamu harus belajar yang rajin," kata Pak Harun suatu malam. "Dengan pendidikan yang baik, kamu bisa mengubah nasib kita. Kamu bisa melawan ketidakadilan dan membawa perubahan untuk desa kita."
Arman mengangguk, meskipun ia belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud ayahnya. Tapi ia tahu bahwa ia harus belajar dengan giat, dan suatu hari nanti, ia akan membawa perubahan.
Masa Depan yang Cerah
Bertahun-tahun kemudian, Arman tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan penuh semangat. Ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kota besar, dan mempelajari hukum dan lingkungan. Ia tidak pernah melupakan janjinya kepada ayahnya, dan selalu berusaha untuk membawa perubahan.
Setelah lulus, Arman kembali ke desanya dengan tekad yang kuat. Ia bekerja sama dengan organisasi lingkungan dan hukum untuk menuntut perusahaan yang telah merampas laut mereka. Dengan pengetahuan dan semangatnya, Arman berhasil menggerakkan warga desa dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Setelah perjuangan yang panjang, pagar-pagar laut itu akhirnya dirobohkan. Laut kembali menjadi milik nelayan kecil, dan kehidupan di desa itu perlahan-lahan pulih.
Pak Harun, yang kini sudah tua, menatap bangga ke arah Arman. "Kamu telah membuktikan janjimu, Nak. Bapak bangga padamu."
Arman tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Ini semua berkat Bapak, yang selalu mengajarkan aku untuk tidak pernah menyerah."
Dan di tepi pantai yang kini bebas dari pagar-pagar itu, ayah dan anak itu duduk berdampingan, menatap laut yang telah kembali menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tahu, meskipun perjuangan mereka berat, harapan dan tekad yang kuat akan selalu membawa mereka ke masa depan yang lebih baik.