Suatu malam di bulan April
2024, dua anak muda berjalan menuju ke tempat hiburan malam di kawasan Pantai
Indah Kapuk 2 (PIK 2), sebut saja tempat hiburan malam itu HW. Dua anak muda
itu masing-masing datang sendiri. Yang seorang, anak muda ganteng berwajah khas
Chindo, bertubuh tinggi atletis, mahasiswa tahun pertama di sebuah perguruan
tinggi ternama di Jakarta Utara, berusia 19 tahun. Itulah Rolan Danur. Satunya
lagi seorang gadis cantik berwajah eksotik, langsing, lincah dan enerjik.
Namanya Dona Sefa, berusia 18 tahun.
HW adalah tempat
berkumpulnya anak-anak orang kaya di kawasan perumahan mewah PIK 2 dan
sekitarnya, baik anak-anak remaja murid sekolah-sekolah esklusif di Pantai
Indah Kapuk (PIK 1 dan PIK 2), maupun para mahasiswa yang kuliah di perguruan
tinggi swasta elite di Jakarta dan Tangerang. Pokoknya HW adalah tempat paling
skena untuk anak-anak muda seusia Rolan Danur dan Dona Sefa.
Rolan Danur pun biasa
menghibur diri di tempat hiburan malam seperti HW itu. Dona Sefa sebetulnya
baru kali kedua menginjak kakinya di HW PIK, ia lebih sering mencari hiburan
malam di pusat kota Jakarta seperti di kawasan SCBD. Dona Sefa pernah sekali
diajak ke tempat hiburan malam HW oleh pacarnya, Rolan Danur. Dona Sefa ialah
mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta Selatan.
Malam itu, tanggal 20
April, Dona Sefa baru saja pulang dari perjalanan wisata keluar kota bersama
keluarganya. Malamnya ia berkunjung ke HW PIK 2. Ia datang ke HW mencari Rolan
Danur walaupun tidak berjanjian sebelumnya. Dijumpainya Rolan Danur sedang
duduk bersama beberapa temannya di teras tempat merokok. Dona Sefa pun ikut
bergabung dan berusaha mengobrol dengan Rolan Danur, tapi lelaki muda itu tidak
memedulikannya. Bahkan kemudian Rolan Danur bangkit dari tempat duduknya dan
meninggalkan teras merokok itu.
Tidak berapa lama Dona
Sefa juga meninggalkan tempat itu dan kembali mencari Rolan Danur. Dona Sefa
melihat Rolan Danur sedang berdiri sendirian di belakang bar. Sesaat kemudian
Dona Sefa menghampiri Rolan Danur.
Mereka lantas tampak
berbicara. Dona Sefa sepertinya mengajak Rolan Danur ke suatu tempat. Tapi
tampaknya Rolan Danur menolak ajakan Dona Sefa. Namun Dona Sefa tetap memaksa
dengan gigih dan tidak putus asa untuk mengajak Rolan Danur ke suatu tempat
yang diinginkan oleh Dona Sefa. Sepanjang malam itu Dona Sefa tetap membuntuti
Rolan Danur. Akhirnya pada pukul dua dini hari setelah HM mulai kosong, Rolan
Danur pun bersedia pergi ke suatu tempat itu untuk berkencan dengan Dona Sefa.
”Selamat malam semua!”
Teriak Dona Sefa melambaikan tangannya kepada beberapa teman Rolan Danur yang
belum pulang. Berdua mereka meninggalkan HW yang mulai kehilangan gegap
gempita.
Keesokan harinya Dona Sefa
tidak pernah pulang ke rumahnya. Ia pun tidak bisa dihubungi oleh orang tua dan
teman-temannya.
Dua jam setelah Dona Sefa
dan Rolan Danur berkencan. Sejatinya Dona Sefa telah mati dicekik oleh Rolan
Danur di sebuah kamar hotel mewah tidak jauh dari tempat hiburan malam HW.
Sebuah bra dan sebuah celana dalam milik Dona Sefa melingkar di lehernya
sendiri. Rok yang dikenakan Dona Sefa tersingkap sampai pinggang dengan kondisi
hampir telanjang.
Delapan belas jam kemudian
Rolan Danur dengan hati cemas, gelisah, dan panik telah selesai mengemas sebuah
koper besar di dalam koper tersebut tubuh tak bernyawa Dona Sefa dijejal
selayaknya pakaian penuh di dalam koper tersebut.
”Maafkan aku, Dona, aku
tak sengaja membunuhmu,” lirih Rolan Danur sambil menyeret koper besar
berisikan mayat itu ke mobilnya.
”Aku tidak sengaja
mencekik kamu, sayang,” imbuhnya setengah berbisik.
Ya, ketika itu Rolan Danur
dan Dona Sefa sedang bercumbu, Rolan Danur merasa Dona Sefa terlalu memaksa dan
sangat agresif, perilaku bercumbu Dona Sefa justru menyakiti Rolan Danur.
”Kenapa kamu menarik-narik dan mencakar kelaminku?” Tanya Rolan Danur pada
koper. ”Bukan aku yang salah,” kata Rolan Danur masih kepada koper.
***
Rolan Danur lahir di Singapura, ayahnya
seorang pengusaha kelas kakap di negeri ini, ibunya seorang pengacara sukses
merangkap bendahara umum sebuah partai politik di negeri ini.
Ayah Rolan Danur meski sebagai pengusaha
besar juga pemakai narkoba, ibunya yang pengacara berusaha menutupi perilaku
suaminya itu serapat-rapat mungkin, walaupun ibunya Rolan Danur sering
mendapatkan perlakuan KDRT dari ayahnya. KDRT yang dilakukan ayahnya terhadap
ibunya sering dilihat oleh Rolan Danur kecil hingga kini. Bahkan ketika Rolan
Danur masih SD, ia pernah ditampar dan ditendang oleh ayahnya, saat ayahnya
mabuk berat akibat minuman beralkohol. Rolan Danur kecil ketika itu hanya bisa
meringkuk di tempat tidur dan menangis sesenggukan menahan sakit.
Ibunya melihat Rolan Danur sangat
kesakitan, sehingga ibunya berinisiatif membawa Rolan Danur ke klinik dokter
pribadi mereka. Ketika diperiksa oleh dokter, ternyata tulang selangkang Rolan
Danur patah!
Peristiwa itu membekas dalam benak Rolan
Danur, menjadi semacam trauma akut yang bisa menjadi bom waktu yang bisa
meledak kapan saja dan tentu membahayakan kehidupan Rolan Danur kelak.
Pernah pada suatu waktu ketika Rolan Danur
masih SMP, seorang gadis teman sekelas Rolan Danur bercanda dengan berpura-pura
memukul sisi kepala Rolan Danur. Reaksi Rolan Danur sungguh tak disangka dan
mengagetkan. Rolan Danur menyambar tangan gadis teman sekelasnya itu lalu
memutarnya dengan keras sehingga si gadis merasakan tangannya hampir remuk.
Banyak teman-teman Rolan Danur yang telah merasakan kekerasan tingkah laku
Rolan Danur. Saat SMA Rolan Danur lebih bisa mengontrol emosinya, hingga ia
mengenal Dona Sefa.
***
Dengan perasaan berkecamuk
Rolan Danur menyeret koper besar berisikan tubuh Dona Sefa yang sudah tidak
bernyawa lagi ke parkiran mobil. Koper itu lantas ia letakkan di bagasi
mobilnya dibantu oleh seorang petugas kebersihan hotel.
”Berat sekali koper ini,”
kata petugas kebersihan itu sambil mengangkat koper, ”Tapi isinya bukan manusia
kan, Mas?” terlontar candaan dari petugas kebersihan hotel kepada Rolan Danur.
”Isinya mayat, Pak,” jawab
Rolan Danur sambil tersenyum miris, ”Bukan pak, bukan mayat, saya bercanda,”
lanjut Rolan Danur sembari tertawa yang dibuat-buat.
Rolan Danur menaiki
mobilnya dan memberikan uang tip yang cukup besar untuk petugas kebersihan
hotel. Rolan Danur yang masih linglung dan bingung harus berbuat apa langsung
tancap gas keluar dari parkiran hotel.
Hari menjelang sore. Tanpa
arah, akhirnya mobil Rolan Danur mengarah ke pesisir pantai. Ya, pesisir pantai
itu terletak di suatu desa di sebuah kecamatan di Kabupaten Tangerang. Melihat
pesisir pantai membentang di hadapannya, Rolan Danur menghentikan mobilnya.
Setelah mesin mobil mati, lantas ia turun dari mobilnya.
Sejenak Rolan Danur
memandang pantai yang membentang di hadapannya. Malam pun tiba. Pantai menjadi
gelap, hanya terlihat kerlap-kerlip kecil dari lampu perahu-perahu nelayan yang
melaut malam itu. Rolan Danur menurunkan koper besar berisikan mayat Dona Sefa.
Bersusah payah ia menyeret
koper hingga ke bibir pantai.
Rolan Danur berniat
membuang koper itu ke laut. Ia ingin membenamkan koper besar itu ke dasar
lautan. Tentu agar koper bertambah berat, Rolan Danur harus menambah pemberat
dalam koper. Ia lantas membuka koper berisikan mayat Dona Sefa yang tampak
meyedihkan dan mengenaskan itu, lalu dijejalkannya lagi koper dengan
batu-batu besar. Setelah Rolan Danur merasa cukup, ia menutup kembali koper
besar itu.
Bersusah payah lagi Ronal
Danur menyeret koper dari pinggir pantai ke tengah lautan. Merasa cukup jauh
dari bibir pantai, ketika air laut telah mencapai batas lehernya, Ronal Danur
berhenti, koper ia tinggalkan begitu saja dalam keadaan tenggelam.
Rolan Danur kembali ke
mobilnya. Ia ambil ponselnya lantas ia nyalakan. Ponselnya yang telah penuh
dengan puluhan panggilan tak terjawab dan ratusan pesan WA dari teman-temannya,
dari teman-teman Dona Sefa, serta tentunya dari orang tua Dona Sefa.
Alih-alih membalas pesan
WA, Rolan Danur malah mengirimkan share location kepada ayahnya,
disertai pesan WA: ”Aku akan memaafkan perbuatan ayah kepadaku, tapi dengan
syarat kabulkan permintaanku ini, buatkan pagar setinggi-tingginya dan
sejauh-jauhnya di lokasi pantai ini!”.
Maka tiga jam setelah
pesan terkirim. Ketika hari masih gelap, tampak beberapa orang berbadan tegap
bekerja dengan tangkas membuat pagar dengan bahan bambu di area di mana koper
besar berisikan mayat Dona Sefa dibenamkan. Pagar itu terbuat dari bambu dan
memiliki tinggi sekitar 6 meter. Pemasangan pagar laut itu dibentuk dari
anyaman bambu, paranet, dan juga pemberat berupa karung berisi pasir.
Orang-orang yang mengerjakan pagar laut itu tentu saja orang-orang suruhan
ayahnya Rolan Danur pengusaha sekaligus penguasa kawasan Pantai Indah Kapuk.
***
Pada tanggal 1 Mei 2024 setelah 10 hari
Dona Sefa menghilang. Rolan Danur datang ke kantor Polisi dan mengakui bahwa ia
telah membunuh Dona Sefa. Ia pun mengatakan bahwa mayat Dona Sefa ia masukkan
ke dalam koper dan ia tenggelamkan di lautan.
Polisi pun menangkap Rolan Danur, dan
langsung bergerak menuju titik lokasi tempat koper berisikam mayat Dona Sefa
ditenggelamkan.
Tapi polisi tidak menemukan koper
tersebut, sekelompok polisi yang bertugas ke TKP hanya melihat pagar laut yang
membentang dan pagar-pagar itu bergerak sendiri seperti ular raksasa yang
memanjang hingga sepanjang 30,16 kilometer di kawasan pesisir pantai Tangerang.
Kelompok polisi hanya bisa takjub, terpukau dan terkesima tanpa bisa berbuat
apa-apa.***
Jakarta, 27 Februari 2025