Saat itu tepat pukul 00.19. Laut sedang puncak pasang
seperti lidah-lidah tajam yang menampar daratan. Damar terbangun dengan
bulir-bulir keringat memaku wajah. Paniklah dia dan mulai membangunkan
Nurhayati yang masih terlelap. Sambil menggerundel, ibunya terpaksa bangkit,
meraba-raba dinding, lantas menyalakan sakelar lampu.
“Ibu dengar, tidak?” tanya Damar masih diserang kepanikan.
Sementara Nurhayati mendelik marah karena tidurnya terganggu.
“Tidak. Memangnya apa?”
“Ada suara jeritan dari laut, Bu.”
Maka, makin marah Nurhayati dan memilih kembali menjemput
mimpi. Tetapi, alih-alih tidur, Damar justru menemukan keganjilan lain selain
suara jeritan dari arah laut: dia tidak mendengar dengkuran bapaknya yang
seberisik bunyi kaki-kaki kereta. Rasa penasaran tinggi membuat Damar bertanya
lagi ihwal keberadaan sang bapak. Nurhayati kesal dan menyahut Jaja masih
kerja. Mulai sekarang bapaknya bakal punya pekerjaan baru, berangkat malam
untuk kemudian dilanjutkan melaut pada paginya yang masih buta. Ini karena
beban ekonomi kian melukai bahu mereka, semua harga kebutuhan pokok meroket.
Damar jadi ingin cepat lulus sekolah dan ikut bapaknya melaut saja. Nahasnya,
Damar masih duduk di bangku SD.
Anehnya suara itu tetap berdengung di telinga Damar di
malam-malam berikutnya. Bahkan sekarang dia juga sering mendengar derap kuda.
Damar lagi-lagi bertanya, apakah di sekitar sini ada yang punya kuda. Nurhayati
tambah bingung dengan pertanyaan anaknya. Wajahnya digelayuti keraguan perihal
omong kosong Damar. Dia sedikit takut jika anaknya diserang paranoia. Mana ada
warga pesisir memelihara kuda? Membangun kandangnya saja tak sanggup, apalagi
sebanyak yang Damar ceritakan. Nurhayati memilih mengabaikan keluhan anaknya
yang baginya tak masuk akal.
Ini merupakan kesialan anak berusia 10 tahun. Sampai detik
ini Damar masih dihantui suara anomali tersebut. Terlebih dia sempat bermimpi
sesuatu yang amat mengusiknya. Untuk pertama kali dia berkunjung ke laut saat
langit kelam tanpa bintang-kemintang terpeta di bentangan makrokosmos. Sepasang
kakinya berpijak tepat di atas permukaan air laut yang beriak pelan namun penuh
gejolak.
Entah bagaimana dia dapat berdiri tegak di sana tanpa
tenggelam, dia sendiri tak tahu. Namun, kali ini telinganya bukan hanya
mendengar jerit atau derap kuda berlari atau ringkikan hewan itu. Dari
tempatnya menapak dia bisa menangkap pelbagai suara lebih jelas lagi seperti
tangis, juga tawa sinis yang menggelegak hingga bulu romanya menggigil.
Pandangannya karam pada ribuan kuda hitam yang lusuh, kotor, kurus, bermata
cekung, dan tampak berdarah-darah. Mereka terus dilecut oleh sejumlah kuda
putih yang amat bersih nan cantik dengan cekikikan yang menyayat hati. Padahal
jumlah kuda putih tak sebanding dengan ribuan kuda hitam tadi. Tampaknya
kuda-kuda hitam tersebut disuruh berlari kencang di atas jalan panjang yang
terus bergulir seperti treadmill
sampai mereka kelelahan, lalu keringat mereka jadi memerah serupa darah.
Damar mual, pening, lemas. Berikutnya dia terlempar ke udara
yang lembap, jatuh dengan kepala menyongsong jurang, kemudian terbangun dari
dunia kapuk. Damar yang putus asa ingin menukas mimpi buruk itu kepada Jaja.
Masalahnya Nurhayati sudah tak memercayai tiap perkataannya tentang teriakan,
kuda, maupun keganjilan lainnya. Ah, Damar sadar jika dia merindukan sosok
bapaknya. Dia rindu dengkuran bapaknya, dia rindu wajah simetris dengan kumis
tebal, dia rindu gelak tawa dan betapa ceriwisnya pria itu ketika bercerita
tentang epos Ramayana.
Sudah jarang sekali Damar bertemu atau berbincang dengan
Jaja yang dulu sering mengajaknya mengarungi samudera. Pasalnya sekarang Jaja
selalu bertolak ke tempat kerja baru pada pukul sembilan malam, dilanjutkan
menangkap ikan ketika pagi buta hadir, hingga menjajakannya di pasar
tradisional sampai siang hari. Sementara Jaja pulang, Damar sudah bertekun di
sekolah.
Dihantui mimpi buruk bertubi-tubi, Damar merasakan sekujur
tubuhnya remuk. Dia tak bisa membiarkan hal ini menyiksa dirinya terus-menerus.
Kemudian karena dihinggapi rasa putus asa yang membuncah, Damar keluar untuk
menyaksikan laut yang masih gelap dan sunyi. Di bibir pantai, angin kencang
menjawil lengannya. Pandangannya yang lamur mencoba menangkap hal ganjil yang
dia lihat sekarang. Tiba-tiba matanya melebar dan dia langsung berlari ke arah
ibunya dan bercerita jika laut mereka mati dan tak bergerak lagi. Nurhayati
yang masih tersengat kantuk tak menggubrisnya. Damar meringkuk ketakutan, dia
tahu bahwa matanya tidak mungkin salah lihat. Sesekali suara jejak kaki kuda
menghantuinya.
Paginya warga digegerkan oleh hilangnya Jaja. Orang-orang
yang waktu itu juga bekerja bersamanya berkata kalau Jaja tiba-tiba diterjang
ombak besar selagi menancapkan bambu panjang ke dasar laut, terseret arus,
lantas menghilang ditelan kegelapan. Jadilah Nurhayati meraung-raung histeris.
Namun, sementara itu, Damar masih linglung. Terlalu tak percaya dengan dua hal
yang terjadi. Pertama, dia tidak terima jika bapaknya hilang, apalagi mati.
Kedua, ombak di hadapannya berdebur dan menyambar-nyambar seakan meledeknya.
Proses evakuasi dan pencarian dilakukan, tapi, sayangnya jasad Jaja tak juga
ditemukan. Malah baru-baru ini sejumlah warga yang kebetulan bekerja bersama
Jaja berkasak-kusuk di belakang karena pihak yang mempekerjakan Jaja tak mau
tanggung jawab. Namun mereka tak punya nyali menyampaikan
kepada─konon─orang-orang tak tersentuh itu.
Mimpi buruk Damar masih mencengkeram sadis tidurnya. Suara
jeritan, tapak ribuan kaki kuda, dan kini raungan bapaknya sendiri terjadi
berulang-ulang hingga kualitas tidurnya semakin memburuk. Tubuhnya jadi kurus
kering, mukanya kusam, matanya cekung. Damar jadi berpikir jika dirinya nyaris
seperti kuda-kuda hitam yang dipecut itu.
Dari masalah meninggalnya Jaja, mimpi Damar, depresi
Nurhayati akibat himpitan ekonomi, serta kecelakaan-kecelakaan yang menimpa
pekerja lain selain Jaja, warga akhirnya geger. Di tengah kepelikan yang
mencekam tersebut, kepala desa muncul sebagai sosok paling bijaksana. Dia
mempunyai usul bagaimana jika laut dijual saja biar masalah selesai. Lalu
berbagai rayuan, bujuk, iming-iming, serta tipu daya berlanjut dari mulut yang
selalu mengusung senyum itu. Hatinya meluap dengan kata-kata indah, merayu giat
seolah tenggat mengejarnya. Dia berjanji hasil jual laut akan dibagi rata demi
kesejahteraan semua warga.
Kata orang uang bukan segalanya, tetapi kenyataannya uang
sanggup menyetir akal manusia. Maka, setujulah orang-orang termasuk Nurhayati
yang sudah tak tertolong. Mereka kemudian dipengaruhi agar melanjutkan
pembangunan patok yang sebelumnya dibangun pekerja seperti Jaja. Namun,
anehnya, janji tak juga cair. Harapan orang-orang pupus bagai air laut menguap
dan kristalan kekecewaannya menggaram. Apalagi kini mereka tak bisa menangkap
ikan lagi seperti sebelumnya, kekayaan sakral yang diturunkan nenek moyang mereka
ribuan tahun lalu. Mereka mendesak kepala desa yang kemudian hanya ditanggapi
janji dan senyum menawan. Kini warga kian kurus, kering, bermata cekung seperti
kuda-kuda hitam yang dilecuti. Sementara itu, di rumah, kepala desa diserang
kecemasan untuk menyimpan pundi-pundi uangnya.
Damar benar. Laut mereka benar-benar tak bergerak dan mati.
Ombak yang berdebur kini diam seperti cermin. Perahu-perahu tertambat bagai
barang rongsok. Ikan-ikan membeku. Aset dicuri dan dilucuti. Tetapi, kuda-kuda
putih masih tertawa manis sambil saling bersulang sampanye.