Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Bella Paring Gusti - Ratapan Kuda-kuda Hitam Menjejak



Saat itu tepat pukul 00.19. Laut sedang puncak pasang seperti lidah-lidah tajam yang menampar daratan. Damar terbangun dengan bulir-bulir keringat memaku wajah. Paniklah dia dan mulai membangunkan Nurhayati yang masih terlelap. Sambil menggerundel, ibunya terpaksa bangkit, meraba-raba dinding, lantas menyalakan sakelar lampu.

 

“Ibu dengar, tidak?” tanya Damar masih diserang kepanikan. Sementara Nurhayati mendelik marah karena tidurnya terganggu.

 

“Tidak. Memangnya apa?”

 

“Ada suara jeritan dari laut, Bu.”

 

Maka, makin marah Nurhayati dan memilih kembali menjemput mimpi. Tetapi, alih-alih tidur, Damar justru menemukan keganjilan lain selain suara jeritan dari arah laut: dia tidak mendengar dengkuran bapaknya yang seberisik bunyi kaki-kaki kereta. Rasa penasaran tinggi membuat Damar bertanya lagi ihwal keberadaan sang bapak. Nurhayati kesal dan menyahut Jaja masih kerja. Mulai sekarang bapaknya bakal punya pekerjaan baru, berangkat malam untuk kemudian dilanjutkan melaut pada paginya yang masih buta. Ini karena beban ekonomi kian melukai bahu mereka, semua harga kebutuhan pokok meroket. Damar jadi ingin cepat lulus sekolah dan ikut bapaknya melaut saja. Nahasnya, Damar masih duduk di bangku SD.

 

Anehnya suara itu tetap berdengung di telinga Damar di malam-malam berikutnya. Bahkan sekarang dia juga sering mendengar derap kuda. Damar lagi-lagi bertanya, apakah di sekitar sini ada yang punya kuda. Nurhayati tambah bingung dengan pertanyaan anaknya. Wajahnya digelayuti keraguan perihal omong kosong Damar. Dia sedikit takut jika anaknya diserang paranoia. Mana ada warga pesisir memelihara kuda? Membangun kandangnya saja tak sanggup, apalagi sebanyak yang Damar ceritakan. Nurhayati memilih mengabaikan keluhan anaknya yang baginya tak masuk akal.

 

Ini merupakan kesialan anak berusia 10 tahun. Sampai detik ini Damar masih dihantui suara anomali tersebut. Terlebih dia sempat bermimpi sesuatu yang amat mengusiknya. Untuk pertama kali dia berkunjung ke laut saat langit kelam tanpa bintang-kemintang terpeta di bentangan makrokosmos. Sepasang kakinya berpijak tepat di atas permukaan air laut yang beriak pelan namun penuh gejolak.

 

Entah bagaimana dia dapat berdiri tegak di sana tanpa tenggelam, dia sendiri tak tahu. Namun, kali ini telinganya bukan hanya mendengar jerit atau derap kuda berlari atau ringkikan hewan itu. Dari tempatnya menapak dia bisa menangkap pelbagai suara lebih jelas lagi seperti tangis, juga tawa sinis yang menggelegak hingga bulu romanya menggigil. Pandangannya karam pada ribuan kuda hitam yang lusuh, kotor, kurus, bermata cekung, dan tampak berdarah-darah. Mereka terus dilecut oleh sejumlah kuda putih yang amat bersih nan cantik dengan cekikikan yang menyayat hati. Padahal jumlah kuda putih tak sebanding dengan ribuan kuda hitam tadi. Tampaknya kuda-kuda hitam tersebut disuruh berlari kencang di atas jalan panjang yang terus bergulir seperti treadmill sampai mereka kelelahan, lalu keringat mereka jadi memerah serupa darah.

 

Damar mual, pening, lemas. Berikutnya dia terlempar ke udara yang lembap, jatuh dengan kepala menyongsong jurang, kemudian terbangun dari dunia kapuk. Damar yang putus asa ingin menukas mimpi buruk itu kepada Jaja. Masalahnya Nurhayati sudah tak memercayai tiap perkataannya tentang teriakan, kuda, maupun keganjilan lainnya. Ah, Damar sadar jika dia merindukan sosok bapaknya. Dia rindu dengkuran bapaknya, dia rindu wajah simetris dengan kumis tebal, dia rindu gelak tawa dan betapa ceriwisnya pria itu ketika bercerita tentang epos Ramayana.

 

Sudah jarang sekali Damar bertemu atau berbincang dengan Jaja yang dulu sering mengajaknya mengarungi samudera. Pasalnya sekarang Jaja selalu bertolak ke tempat kerja baru pada pukul sembilan malam, dilanjutkan menangkap ikan ketika pagi buta hadir, hingga menjajakannya di pasar tradisional sampai siang hari. Sementara Jaja pulang, Damar sudah bertekun di sekolah.

 

Dihantui mimpi buruk bertubi-tubi, Damar merasakan sekujur tubuhnya remuk. Dia tak bisa membiarkan hal ini menyiksa dirinya terus-menerus. Kemudian karena dihinggapi rasa putus asa yang membuncah, Damar keluar untuk menyaksikan laut yang masih gelap dan sunyi. Di bibir pantai, angin kencang menjawil lengannya. Pandangannya yang lamur mencoba menangkap hal ganjil yang dia lihat sekarang. Tiba-tiba matanya melebar dan dia langsung berlari ke arah ibunya dan bercerita jika laut mereka mati dan tak bergerak lagi. Nurhayati yang masih tersengat kantuk tak menggubrisnya. Damar meringkuk ketakutan, dia tahu bahwa matanya tidak mungkin salah lihat. Sesekali suara jejak kaki kuda menghantuinya.

 

Paginya warga digegerkan oleh hilangnya Jaja. Orang-orang yang waktu itu juga bekerja bersamanya berkata kalau Jaja tiba-tiba diterjang ombak besar selagi menancapkan bambu panjang ke dasar laut, terseret arus, lantas menghilang ditelan kegelapan. Jadilah Nurhayati meraung-raung histeris. Namun, sementara itu, Damar masih linglung. Terlalu tak percaya dengan dua hal yang terjadi. Pertama, dia tidak terima jika bapaknya hilang, apalagi mati. Kedua, ombak di hadapannya berdebur dan menyambar-nyambar seakan meledeknya. Proses evakuasi dan pencarian dilakukan, tapi, sayangnya jasad Jaja tak juga ditemukan. Malah baru-baru ini sejumlah warga yang kebetulan bekerja bersama Jaja berkasak-kusuk di belakang karena pihak yang mempekerjakan Jaja tak mau tanggung jawab. Namun mereka tak punya nyali menyampaikan kepada─konon─orang-orang tak tersentuh itu.

 

Mimpi buruk Damar masih mencengkeram sadis tidurnya. Suara jeritan, tapak ribuan kaki kuda, dan kini raungan bapaknya sendiri terjadi berulang-ulang hingga kualitas tidurnya semakin memburuk. Tubuhnya jadi kurus kering, mukanya kusam, matanya cekung. Damar jadi berpikir jika dirinya nyaris seperti kuda-kuda hitam yang dipecut itu.

 

Dari masalah meninggalnya Jaja, mimpi Damar, depresi Nurhayati akibat himpitan ekonomi, serta kecelakaan-kecelakaan yang menimpa pekerja lain selain Jaja, warga akhirnya geger. Di tengah kepelikan yang mencekam tersebut, kepala desa muncul sebagai sosok paling bijaksana. Dia mempunyai usul bagaimana jika laut dijual saja biar masalah selesai. Lalu berbagai rayuan, bujuk, iming-iming, serta tipu daya berlanjut dari mulut yang selalu mengusung senyum itu. Hatinya meluap dengan kata-kata indah, merayu giat seolah tenggat mengejarnya. Dia berjanji hasil jual laut akan dibagi rata demi kesejahteraan semua warga.

 

Kata orang uang bukan segalanya, tetapi kenyataannya uang sanggup menyetir akal manusia. Maka, setujulah orang-orang termasuk Nurhayati yang sudah tak tertolong. Mereka kemudian dipengaruhi agar melanjutkan pembangunan patok yang sebelumnya dibangun pekerja seperti Jaja. Namun, anehnya, janji tak juga cair. Harapan orang-orang pupus bagai air laut menguap dan kristalan kekecewaannya menggaram. Apalagi kini mereka tak bisa menangkap ikan lagi seperti sebelumnya, kekayaan sakral yang diturunkan nenek moyang mereka ribuan tahun lalu. Mereka mendesak kepala desa yang kemudian hanya ditanggapi janji dan senyum menawan. Kini warga kian kurus, kering, bermata cekung seperti kuda-kuda hitam yang dilecuti. Sementara itu, di rumah, kepala desa diserang kecemasan untuk menyimpan pundi-pundi uangnya.

 

Damar benar. Laut mereka benar-benar tak bergerak dan mati. Ombak yang berdebur kini diam seperti cermin. Perahu-perahu tertambat bagai barang rongsok. Ikan-ikan membeku. Aset dicuri dan dilucuti. Tetapi, kuda-kuda putih masih tertawa manis sambil saling bersulang sampanye.