Cerpen Bening Christalica D. N
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pak Jayadi ingin supaya tetap bisa melaut untuk menangkap ikan di Pulau Cangkir.
“Mimpi!” Olok suara yang muncul dari ruang pikirannya.
“Nelayan bodoh!”
“Diam!” Ia berteriak sambil menutup kedua telinganya. Pelipisnya berdenyut-denyut membuat dahinya berlipat. Ia tahu, rumah bambu di tepi pantai Pulau Cangkir ini pasti juga lelah menyaksikan kakinya yang tak bisa berhenti mondar-mandir menopang tubuhnya. Rasa pedih berkedut-kedut memenuhi rongga dadanya, seakan ada yang berontak ingin bebas keluar. Rumahnya menjadi saksi bisu pertarungan melawan bisikan dan suara-suara menakutkan yang muncul tiba-tiba dari ruang pikiran dan batinnya.
Ombak lautan bergulung-gulung berlomba menuju daratan tepi pantai. Muatan berat langit muram juga tampak dari awan yang bergulung-gulung gelap di kejauhan. Sepertinya langit itu senasib dengannya, juga berusaha membendung sesuatu yang menggedor-gedor, mendesak memaksa untuk segera lepas bebas.
“Sampai kapan kalian akan menggangguku?!” Pak Jayadi berseru dengan putus asa.
“Hmm.... Mengapa kamu masih melaut? Sudahlah, berhenti saja! Pagar laut itu adalah batas yang membuktikan bahwa pinggiran laut ini ada pemiliknya!” tiba-tiba teriakan itu kembali berdengung keras seperti toa dari sebuah ruang pikirannya.
“Diam!” teriak Pak Jayadi.
Langkah Pak Jayadi berhenti di jendela yang terbuka. Terlihat sebagian semesta luar, pantai dan tanaman yang menghuninya. Bunga widuri yang bermekaran dengan hijau daun-daunnya di luar sana tak membantu meringankan perasaan Pak Jayadi. Matanya nanar memandang suasana pantai yang sedikit gelap dan deburan ombak yang terlihat keruh karena mendung begitu hitam.
“Diberi pekerjaan lain tidak mau. Sekarang malah mau bongkar pagar laut!”
“Kurang ajar! Jangan salahkan aku jika terjadi apa-apa dengan keluargamu!” lagi-lagi suara dakwaan dan ancaman menyeruak dari ruang pikirannya.
“Aku sudah tak melaut lagi. Tapi aku bingung harus makan dari mana, karena ada pagar laut yang tidak jelas pemiliknya itu. Aku jadi tak punya penghasilan, menganggur di rumah.” Pak Jayadi berkata lirih pada gedhek putih yang diam membisu di samping jendela kamarnya. Ia tidak tahu apakah gedhek itu percaya dengan ucapannya atau tidak. Tapi ia berkata jujur.
“Bohong!” mendadak sudut ruang pikirannya seperti meledak.
“Jangan melaut di Kronjo! Jangan usik pagar laut itu!”
"Area pesisir dalam pagar laut itu ada yang punya. Di sini akan didirikan hunian elit yang menjadikan kecamatan Kronjo ini maju!"
Pak Jayadi pernah berdiri sempoyongan tanpa daya sembari menunduk di depan orang itu, merasa serba salah karena dituding berbohong. Sebagai seorang nelayan yang kehilangan istri dan tak bisa melaut lagi, kepercayaan dirinya hancur berkeping-keping, tak bisa disatukan lagi. Ia selalu menyendiri, bersembunyi di dalam kamar, meneruskan membangun tembok hatinya menjadi semakin tebal dan tinggi.
Ancaman dan umpatan kasar selalu menjadi menu setiap hari ketika ia mencoba untuk tetap melaut melalui Pulau Cangkir. Bahkan perahunya dirusak oleh kakak dan beberapa perangkat desa. Perkataan-perkataan yang menyakitkan pelan-pelan menusuk dan meninggalkan luka di hati yang tak kunjung sembuh, akhirnya menjadi koreng batin bernanah yang dalam. Lepas dari semua itu, ia juga terus dilanda rasa bersalah. Sebagai seorang suami, ia merasa tak bisa melindungi istrinya. Sebagai seorang adik, ia pernah sangat ingin berseru mengumpat kotor dan menyumpahi kakaknya. Akan tetapi, dia adalah kakak satu-satunya. Pak Jayadi merasa berdosa karena tumbuh pikiran dan dakwaan negatif padanya.
Bunga-bunga widuri yang berdiri berbaris berjajar dibalik jendela itu, satu persatu membentuk wajah-wajah yang tak asing, tapi Pak Jayadi tak yakin. Dengan sedikit membungkuk, ia mendekatkan wajahnya pada jendela. Ujung hidung dan telapak tangan kanannya terasa dingin saat bersentuhan dengan kayu jendela. Benar! Ketika Pak Jayadi menatap kelopak-kelopak bunga itu, wajah-wajah itu mencela, melotot, mencibir dan mengejeknya.
“Kak, aku tak ingin Kakak marah-marah. Ingin sekali aku menjadi seperti yang engkau mau,” katanya kepada wajah kakak di kelopak bunga widuri.
Mega-mega murung yang berdesakan di angkasa hitam kelabu akhirnya benar-benar lelah. Mereka tak hanya berkeringat, tetapi juga tak kuasa menahan tangisnya. Hujan pun menukik dengan deras. Bunga-bunga widuri di luar jendela terlihat oleng bergoyang-goyang menerima tetesan-tetesan air yang tajam menukik. Bunga-bunga yang semula melihat Pak Jayadi dengan tengadah penuh kesombongan kini sebagian menunduk, tak kuat menahan tusukan rintik air dari angkasa. Bunga-bunga itu seperti sengaja memercikkan air hujan yang menimpa mereka ke arah Pak Jayadi. Ia mundur untuk mengelak, menghindari percikan-percikan air hujan itu.
Lelah! Pak Jayadi menghempaskan badan ke kasur sembari matanya tak lepas memandang jendela yang memperlihatkan hujan sedang mengguyur bumi. Langit seakan semakin sedih, semakin keras menangis mengucurkan air mata. Ruang kamarnya terasa begitu sepi, kosong, dan bisu. Dingin.
Pengalaman kelam Pak Jayadi satu persatu membayang dalam memori pikirannya. Kepalanya berdenyut pusing, semua terasa berputar, dan perutnya terasa mual. Peluh-peluh yang dingin mulai mengalir melanda tubuhnya, sakit rasanya. Nafasnya yang tak beraturan memburu dengan cepat.
Bayang-bayang kejadian saat awal dibangunnya pagar laut itu hingga memori ditemukannya sang istri yang mati mengapung di bawah pagar laut menuntunnya kembali ke dalam kamar. Seluruh tubuhnya memanas seakan disulut bara api. Bulir-bulir air mata menyembul keluar. Tetes-tetesnya tak bisa ia bendung lagi sehingga membasahi pipi dan satu-satunya bantal kumal di kamar itu. Derasnya air mata Pak Jayadi seakan ingin mengimbangi hujan di luar sana.
“Aku hanya ingin keadilan. Aku tahu mengapa dan siapa yang memperkosa istriku! Aku tahu siapa yang membuat istriku bunuh diri!” Pak Jayadi bangun, terduduk, dan memukuli bantal kumal dengan keras sembari menangis sejadi- jadinya.
“Aku benci diriku! Dasar bodoh! Lelaki lemah!”
“Jahat! Kakak jahat!”
Pak Jayadi terus berteriak meraung-raung, tangannya tak henti memukuli bantal yang tak bersalah. Rasa marah dan putus asa sudah tak dapat ia tahan lagi.
“Lelaki terkutuk!”
Suara umpatan dari ruang pikirannya menggelegar kembali. Dulu ia hanya bisa diam memendam balasan untuk berteriak mengumpat setiap kali kakaknya itu membentakkan kalimat serupa.
“Mengapa kamu lemah dan selalu pasrah? Mengapa kamu selalu diam ketika saudaramu sendiri menjatuhkanmu? Mengapa kamu tunduk pada saudara yang memanfaatkanmu?” sudut hatinya bertanya mencecar.
Pak Jayadi selalu berusaha menghindar. Berlari kencang sejauh-jauhnya dari bayangan menakutkan dan memori menyakitkan yang sering mengetuk-ngetuk sudut hati dan pikirannya. Ia begitu ketakutan ketika berhadapan langsung, takut menjadi sedih.
Tulang-tulang di badannya terasa rapuh, ia lelah karena terus menerus dihantui ketakutan. Bertengkar dan bertarung dengan pikiran maupun batinnya sendiri. Kakaknya memang telah pergi ke Kalimantan dan tidak memedulikannya lagi, tetapi bayangannya, memori tentangnya terus mengikuti, menghantui seperti genderuwo besar yang mengerikan.
“Aku tak berharga! Semua orang mengejekku. Semua orang membenciku. Aku ini laki-laki terkutuk!” suara- suara lain di ruang dalam kepalanya berteriak.
“Aku lelah. Aku ingin bongkar pagar laut! Nelayan sepertiku ini bisa mati kelaparan kalau tidak melaut!”
“Bongkar! Aku ingin bongkar...,” gumam Pak Jayadi berulang-ulang sembari tangannya menjambak-jambak rambut.
“Aku takut!”
Pak Jayadi mendengar deru sepeda motor berhenti di depan rumahnya. Tak lama kemudian terdengar bunyi pintu dibuka dan langkah-langkah kaki menuju kamarnya. Pak Jayadi menerobos masuk ke kolong tempat tidur.
“Pak Jayadi!”
Pak Jayadi mendengar namanya dipanggil dengan lembut bersamaan dengan suara ketukan pintu. Ia menoleh waspada ke arah pintu. Seorang lelaki dan dua orang perempuan setengah baya berambut pendek berseragam serba putih masuk ke kamarnya dengan tersenyum. Ia keluar dari tempat persembunyiannya dengan malu-malu ketika mengetahui yang datang adalah perawat dari puskesmas.
“Hallo, Suster.”
“Lho, mengapa Pak Jayadi harus sembunyi? Sekarang waktunya periksa dan minum obat,” kata salah satu perempuan itu sambil memegangi tangannya dengan lembut dan ramah.
“Pak Jayadi, besok pindah rumah ke panti rehabilitasi ya? Di sana banyak teman dan hiburan,” bujuk perawat lelaki.
“Tidak mau.” Pak Jayadi menjawab cepat.
“Sus, tadi ada kakakku di luar jendela. Sungguh ajaib. Tadi wajah kakak ada di kelopak bunga widuri, Suster.” Dipandanginya ketiga perawat itu bergantian dengan mata berbinar.
“Oh ajaib sekali ya, Pak Jayadi. Ayo, Bapak diperiksa dulu tensinya,” Suster itu membujuknya.
Pak Jayadi mengulurkan tangannya untuk diperiksa tekanan darah. Ia kemudian menerima beberapa pil, di antaranya ada yang berukuran sebesar kacang mete. Dengan segelas air ia meneguk semua pil-pil itu.
Ketiga perawat puskesmas itu pamit pergi, suasana kamar yang semula hangat dalam sekejap kembali menjadi dingin. Pak Jayadi mencoba berbicara pada lemari yang pintunya menganga.
“Kakakku berkata bahwa dia mengizinkan aku membongkar pagar laut dan aku juga diperbolehkan melaut di Pulau Cangkir lagi. Jujur, aku tidak berbohong. Kakak tadi berkata....”
“Diam! Berisik!”
“Bohong!” suara dari ruang batinnya berteriak mendengus.
“Tidurlah! Berhenti berbicara! Aku ingin tenang!”
Akan tetapi mulutnya terus berbicara, ia tak bisa berhenti mengerem bibirnya. Kakinya pun mulai melangkah, dan berjalan ke sana kemari. Gerak racau mulutnya benar-benar tak bisa berhenti.
Tiba-tiba...
Langkah kakinya berhenti. Melalui jendela, dipandanginya pagar laut di kejauhan. Ia ingin pergi ke sana untuk merobohkannya. Bibirnya pun berhenti meracau, kemudian refleks tersenyum lebar. Pak Jayadi merasa lucu hingga tak bisa menahan gelak tawa terbahak-bahak. Namun, hatinya tiba-tiba menjadi sedih sehingga membuatnya sontak menangis dan berteriak histeris. Pak Jayadi bergegas keluar rumah menuju pagar laut. Ia tertawa dan berlari kencang di atas pagar laut. Tiba-tiba kakinya tersandung tonjolan bambu, tubuhnya pun terjungkal ke laut.***
1 comments