Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Beta Rahmatika | Rumah Bambu Nyi Roro Kidul

"Pak, minta duit."

"Heh, Kutu Comberan. Lu bisanya minta duit mulu. Nyari duit kek, sana."

Alan berubah ke sifat awalnya semenjak pagar laut dibongkar. Padahal baru sebentar sang anak merasakan punya bapak yang seperti bapak teman-temannya, membelikan apa yang anak minta.

"Alif, main yuk."

Bocah itu bernama Alif. Saat temannya memanggilnya untuk bermain, dia hanya bisa melangkah gontai.

Alif menghampiri Yayan.

"Mana sepedamu, Lif?"

"Bannya kempes. Tadi minta uang untuk nambal, malah diomelin."

"Yaudah, main sepedaku aja, gantian."

"Gak, ah. Aku mau cari kerang aja, Yan. Nanti duitnya buat nembel ban." Alif berlalu meninggalkan Yayan. 

"Aku ikut." Yayan mengikuti langkah Alif dengan sepedanya.

Yayan beruntung punya bapak yang sangat baik. Alif merasa iri. Alif pernah ke rumah Yayan dan melihat temannya itu begitu dekat dengan sang bapak. Bapak Yayan orang yang perhatian dan lemah lembut.

Pekerjaan bapak Yayan adalah nelayan. Kalau sedang tidak melaut, bapak Yayan sering mengajak anaknya bermain bersama. Mengajari Yayan berenang, bermain sepeda, atau bermain bola bersama Alif dan teman lain. 

"Hari ini ada ikan apa di rumahmu, Yan?" Alif sering meminta ikan pada Yayan. Bagi dua sahabat itu, memberi dan meminta adalah hal biasa.

"Bapakku sudah gak nyari ikan lagi, Lif. Kata Bapak, rumah bambu Nyi Roro Kidul bikin ikan-ikan bersembunyi entah di mana." 

Anak-anak itu menyebut pagar laut sebagai rumah bambu Nyi Roro Kidul. Ini berawal saat bapak Yayan menjawab pertanyaan putranya di depan teman-teman Yayan.

"Bapak dan orang orang pada ngapain di laut? Kok, gak nyari ikan?"

"Bikin rumah bambu buat Nyi Roro Kidul." 

Yayan dan teman-temannya tertawa. Anak-anak itu bermain riang di sekitar pantai sambil sesekali membantu orang tua mereka bekerja. Memindahkan bambu, mengisi pasir di karung, dan lain-lain.

Pemasangan pagar laut membawa rezeki tersendiri untuk warga pesisir sebab mereka yang biasanya mendapatkan penghasilan puluhan ribu, bisa mendapat upah seratus ribu per hari untuk yang bekerja memasang pagar. Terutama bapaknya Alif yang pengangguran.

"Bapakku sekarang baik, loh, Yan. Hari ini aku dikasi uang sepuluh ribu. Nih."

"Udah gak marah lagi dimintain duit?"

"Enggak, dong. Malahan aku mau dibelikan kacamata renang, yang ori punya."

"Asiik. Nanti aku pinjam, ya."

Semenjak hari itu, keinginan-keinginan kecil Alif mudah terpenuhi. Bukan hanya Alif, tapi juga anak-anak lain di desanya. Bagi Alif dan teman-temannya, mereka sedang ditemani peri keberuntungan. 

"Bukan peri keberuntungan Alif, tapi kayanya Peri Nyi Roro Kidul, deh."

Alif dan Yayan tertawa. Mereka seperti anak kembar sebab postur tubuhnya tak jauh berbeda. Apalagi saat memakai seragam sekolah seperti saat ini. Dua anak kembar beda bapak dan ibu yang sedang berjalan di bawah terik matahari itu tampak akur.

"Iya. Soalnya semenjak bapak kita membuat rumah bambu untuk Nyi Roro Kidul, hidup kita jadi beruntung."

"Tapi yang paling, paling, beruntung itu Wawan, Lif. Liat tidak tadi di sekolah?"

Alif dan Yayan memperlambat langkah. Mereka mengingat kembali tingkah Wawan tadi pagi.

"Aipon lima belas pro meks." Di bawah pohon ketapang, Wawan memamerkan sebuah handphone di hadapan teman-teman yang mengelilinginya.

"Wii, keren."

"Boleh pinjem, Wan?"

"Enak aja. Lecet, ntar."

Teman-teman Wawan hanya bisa memandang kagum tanpa boleh menyentuh.

"Kata Bapakku, ati-ati jangan kegores. Hape ini harganya sama dengan motor."

Alif hanya bisa menelan ludah. Dalam hatinya terlintas sebuah keinginan untuk memiliki handphone seperti milik Wawan si anak kepala desa. 

"Tak perlulah seharga motor, Yan. Yang harga sepeda pun jadilah. Yang penting bisa buat nonton yutub karena aku sering rebutan nonton tivi dengan adikku."

"Ya, berdoa aja supaya orang tua kita banyak rejeki."

Alif hanya diam. Dia menunduk sambil memandang tanah yang dipijaknya. Bagi Alif rasanya tak mungkin dia bisa dibelikan hape. Jangankan dia yang masih kelas dua SD, orang tuanya saja tak punya hape.

Dalam diamnya, pikiran Alif teringat kembali pada memori saat Wawan memamerkan handphonenya.

"Ini hapenya artis. Pak guru dan buguru saja belum tentu punya hape begini, loh. Coba kalian perhatikan, belakang hapenya pak guru bu guru, ada tidak gambar begininya?" Wawan mengetuk-ngetuk logo apel tergigit di punggung handphonenya dengan jari telunjuk.

"Hebatnya Wawan."

"Keren kamu, Wan."

"Gak ada lawan kamu, Wan."

Teman-teman berguman kagum. Yang dikagumi pun semakin bangga.

"Kelas dua masuk !! Kelas dua masuk!!" teriak seorang murid.

"Jangan bilang-bilang kalau aku bawa hape, loh, ya." Wawan menyelipkan handphonenya di dalam kaos kaki lalu berdiri dan berlari ke kelas diikuti anak-anak yang mengerumuninya.

Lama-kelamaan, warga menyadari kalau pembuatan pagar laut yang tadinya terlihat menguntungkan itu ternyata merugikan sebagian orang.

Semenjak bambu-bambu tertancap, dan petakan-petakan di permukaan laut mulai terbentuk, bapak Yayan dan  nelayan lain kesulitan melaut. Petakan-petakan pagar yang tercipta serupa labirin yang harus dicari pintu di setiap ruangnya. Untuk menyingkat waktu, para nelayan harus mengayuh perahu di luar petakan-petakan itu. Dan untuk melakukannya perlu jalan memutar. Sama saja, rasanya. Sama-sama jauh dan menyita waktu.

"Semenjak ada pagar laut, susah cari ikan." Mak Wendah seorang tengkulak ikan asin mengeluh pada ibunya Alif yang sedang berbelanja di lapaknya.

"Iya, ya, Mak. Ikan asin aja mahalnya ngalahin tempe. Padahal dulu tiap hari makan ikan segar."

"Tambaknya juragan Adam sama Koh Aling juga kena pagar. Gak menghasilkan lagi. Kasian."

"Harusnya minta ganti rugi itu, Mak."

"Denger denger si, udah. Tapi gak sebanding, katanya." 

"Trus gimana, tuh?"

"Ya, belum tau lagi gimana nasibnya."

Alif yang menjinjing belanjaan emaknya tak sabar ingin pulang. Kalau bukan karena uang dua puluh ribu yang ibunya janjikan, sudah Alif tinggalkan si ibu dan belanjaannya. 

"Emak-emak kalau sudah ketemu sama emak lain, ngobrolnya ga ingat waktu." gerutu Alif saat dia dan emaknya berjalan pulang.

Suatu hari di sekolah Alif, kehebohan kecil terjadi. "Wan, bapakmu masuk yutub. Bapakmu jadi yutuber, Wan." 

Wawan yang baru tiba di sekolah tersenyum bangga. Jiwa pamernya tergelitik untuk membual. "Iya, dong. Bapaknya siapa dulu!" Wawan membusungkan dada. "Kalian udah nonton belum, yang di tiktok sama di tivi? Bapakku juga terkenal di tiktok, loh. Semalan juga diwawancarai di tivi."

Anehnya anak-anak itu tak ada yang muak dengan bualan Wawan. Mereka justru antusias seperti sedang mendapat suplai berita penting.

"Bapakku diajak ngopi sama artis Yongki Felix. Bentar, tak liatin vidionya."

Ketenaran bapak Wawan seiring dengen ramainya desa-desa yang pantainya dibangun pagar laut. Pagi, siang, bahkan malam hari, orang-orang ramai mencabuti bambu-bambu yang memakan banyak biaya untuk menancapnya.

Mereka adalah orang-orang yang dikerahkan oleh pemerintah untuk mencabutnya.

"Yuk, ikut bantu ngangkut bambu, Lif."

"Males ah, sekarang gak kaya dulu. Dulu ada uangnya. Ini gak ada."

"Oh, ya udah."

"Kita cari kerang aja, yuk, Yan. Biar dapet duit."

"Gak, ah. Aku mau bantu bapakku aja, biar cepet selesai. Biar bisa nyari ikan lagi, kata Bapak."

"Minggir-minggir, anak koruptor lewat."

"Is, anak koruptor."    

"Males main, ah, kalau ada anak koruptor. Koruptor kan, jahat."

Di sekolah, Wawan tak lagi di elu-elukan. Walaupun sebagian anak tak tahu apa arti koruptor, mereka tetap membully Wawan dengan sebutan itu karena bapak Wawan  dipenjara, dia menjadi tersangka penerima suap pelegalan pembangunan pagar laut.

Sesuatu yang dulu dibanggakan Wawan, sekarang menjadi aib bagi keluarganya. Anehnya kehidupan mereka justru terlihat semakin bergelimang harta. Padahal ayah Wawan dipecat sebagai kepala desa dan dipenjara.