"Pak, minta duit."
"Heh, Kutu Comberan. Lu bisanya minta duit mulu. Nyari duit kek,
sana."
Alan berubah ke sifat awalnya semenjak pagar laut dibongkar. Padahal baru
sebentar sang anak merasakan punya bapak yang seperti bapak teman-temannya,
membelikan apa yang anak minta.
"Alif, main yuk."
Bocah itu bernama Alif. Saat temannya memanggilnya untuk bermain, dia hanya
bisa melangkah gontai.
Alif menghampiri Yayan.
"Mana sepedamu, Lif?"
"Bannya kempes. Tadi minta uang untuk nambal, malah diomelin."
"Yaudah, main sepedaku aja, gantian."
"Gak, ah. Aku mau cari kerang aja, Yan. Nanti duitnya buat nembel
ban." Alif berlalu meninggalkan Yayan.
"Aku ikut." Yayan mengikuti langkah Alif dengan sepedanya.
Yayan beruntung punya bapak yang sangat baik. Alif merasa iri. Alif pernah
ke rumah Yayan dan melihat temannya itu begitu dekat dengan sang bapak. Bapak
Yayan orang yang perhatian dan lemah lembut.
Pekerjaan bapak Yayan adalah nelayan. Kalau sedang tidak melaut, bapak
Yayan sering mengajak anaknya bermain bersama. Mengajari Yayan berenang, bermain
sepeda, atau bermain bola bersama Alif dan teman lain.
"Hari ini ada ikan apa di rumahmu, Yan?" Alif sering meminta ikan
pada Yayan. Bagi dua sahabat itu, memberi dan meminta adalah hal biasa.
"Bapakku sudah gak nyari ikan lagi, Lif. Kata Bapak, rumah bambu Nyi
Roro Kidul bikin ikan-ikan bersembunyi entah di mana."
Anak-anak itu menyebut pagar laut sebagai rumah bambu Nyi Roro Kidul. Ini
berawal saat bapak Yayan menjawab pertanyaan putranya di depan teman-teman
Yayan.
"Bapak dan orang orang pada ngapain di laut? Kok, gak nyari
ikan?"
"Bikin rumah bambu buat Nyi Roro Kidul."
Yayan dan teman-temannya tertawa. Anak-anak itu bermain riang di sekitar
pantai sambil sesekali membantu orang tua mereka bekerja. Memindahkan bambu,
mengisi pasir di karung, dan lain-lain.
Pemasangan pagar laut membawa rezeki tersendiri untuk warga pesisir sebab
mereka yang biasanya mendapatkan penghasilan puluhan ribu, bisa mendapat upah
seratus ribu per hari untuk yang bekerja memasang pagar. Terutama bapaknya Alif
yang pengangguran.
"Bapakku sekarang baik, loh, Yan. Hari ini aku dikasi uang sepuluh
ribu. Nih."
"Udah gak marah lagi dimintain duit?"
"Enggak, dong. Malahan aku mau dibelikan kacamata renang, yang ori
punya."
"Asiik. Nanti aku pinjam, ya."
Semenjak hari itu, keinginan-keinginan kecil Alif mudah terpenuhi. Bukan
hanya Alif, tapi juga anak-anak lain di desanya. Bagi Alif dan teman-temannya,
mereka sedang ditemani peri keberuntungan.
"Bukan peri keberuntungan Alif, tapi kayanya Peri Nyi Roro Kidul,
deh."
Alif dan Yayan tertawa. Mereka seperti anak kembar sebab postur tubuhnya
tak jauh berbeda. Apalagi saat memakai seragam sekolah seperti saat ini. Dua
anak kembar beda bapak dan ibu yang sedang berjalan di bawah terik matahari itu
tampak akur.
"Iya. Soalnya semenjak bapak kita membuat rumah bambu untuk Nyi Roro
Kidul, hidup kita jadi beruntung."
"Tapi yang paling, paling, beruntung itu Wawan, Lif. Liat tidak tadi
di sekolah?"
Alif dan Yayan memperlambat langkah. Mereka mengingat kembali tingkah Wawan
tadi pagi.
"Aipon lima belas pro meks." Di bawah pohon ketapang, Wawan
memamerkan sebuah handphone di hadapan teman-teman yang mengelilinginya.
"Wii, keren."
"Boleh pinjem, Wan?"
"Enak aja. Lecet, ntar."
Teman-teman Wawan hanya bisa memandang kagum tanpa boleh menyentuh.
"Kata Bapakku, ati-ati jangan kegores. Hape ini harganya sama dengan
motor."
Alif hanya bisa menelan ludah. Dalam hatinya terlintas sebuah keinginan
untuk memiliki handphone seperti milik Wawan si anak kepala desa.
"Tak perlulah seharga motor, Yan. Yang harga sepeda pun jadilah. Yang
penting bisa buat nonton yutub karena aku sering rebutan nonton tivi dengan
adikku."
"Ya, berdoa aja supaya orang tua kita banyak rejeki."
Alif hanya diam. Dia menunduk sambil memandang tanah yang dipijaknya. Bagi
Alif rasanya tak mungkin dia bisa dibelikan hape. Jangankan dia yang masih
kelas dua SD, orang tuanya saja tak punya hape.
Dalam diamnya, pikiran Alif teringat kembali pada memori saat Wawan
memamerkan handphonenya.
"Ini hapenya artis. Pak guru dan buguru saja belum tentu punya hape
begini, loh. Coba kalian perhatikan, belakang hapenya pak guru bu guru, ada
tidak gambar begininya?" Wawan mengetuk-ngetuk logo apel tergigit di
punggung handphonenya dengan jari telunjuk.
"Hebatnya Wawan."
"Keren kamu, Wan."
"Gak ada lawan kamu, Wan."
Teman-teman berguman kagum. Yang dikagumi pun semakin bangga.
"Kelas dua masuk !! Kelas dua masuk!!" teriak seorang murid.
"Jangan
bilang-bilang kalau aku bawa hape, loh, ya." Wawan menyelipkan handphonenya
di dalam kaos kaki lalu berdiri dan berlari ke kelas diikuti anak-anak yang
mengerumuninya.
Lama-kelamaan, warga menyadari kalau pembuatan pagar laut yang tadinya
terlihat menguntungkan itu ternyata merugikan sebagian orang.
Semenjak bambu-bambu tertancap, dan petakan-petakan di permukaan laut mulai
terbentuk, bapak Yayan dan nelayan lain kesulitan melaut. Petakan-petakan
pagar yang tercipta serupa labirin yang harus dicari pintu di setiap ruangnya.
Untuk menyingkat waktu, para nelayan harus mengayuh perahu di luar
petakan-petakan itu. Dan untuk melakukannya perlu jalan memutar. Sama saja,
rasanya. Sama-sama jauh dan menyita waktu.
"Semenjak ada pagar laut, susah cari ikan." Mak Wendah seorang
tengkulak ikan asin mengeluh pada ibunya Alif yang sedang berbelanja di
lapaknya.
"Iya, ya, Mak. Ikan asin aja mahalnya ngalahin tempe. Padahal dulu
tiap hari makan ikan segar."
"Tambaknya juragan Adam sama Koh Aling juga kena pagar. Gak
menghasilkan lagi. Kasian."
"Harusnya minta ganti rugi itu, Mak."
"Denger denger si, udah. Tapi gak sebanding, katanya."
"Trus gimana, tuh?"
"Ya, belum tau lagi gimana nasibnya."
Alif yang menjinjing belanjaan emaknya tak sabar ingin pulang. Kalau bukan
karena uang dua puluh ribu yang ibunya janjikan, sudah Alif tinggalkan si ibu
dan belanjaannya.
"Emak-emak kalau sudah ketemu sama emak lain, ngobrolnya ga ingat
waktu." gerutu Alif saat dia dan emaknya berjalan pulang.
Suatu hari di sekolah Alif, kehebohan kecil terjadi. "Wan, bapakmu
masuk yutub. Bapakmu jadi yutuber, Wan."
Wawan yang baru tiba di sekolah tersenyum bangga. Jiwa pamernya tergelitik
untuk membual. "Iya, dong. Bapaknya siapa dulu!" Wawan membusungkan
dada. "Kalian udah nonton belum, yang di tiktok sama di tivi? Bapakku juga
terkenal di tiktok, loh. Semalan juga diwawancarai di tivi."
Anehnya anak-anak itu tak ada yang muak dengan bualan Wawan. Mereka justru
antusias seperti sedang mendapat suplai berita penting.
"Bapakku diajak ngopi sama artis Yongki Felix. Bentar, tak liatin
vidionya."
Ketenaran bapak Wawan seiring dengen ramainya desa-desa yang pantainya
dibangun pagar laut. Pagi, siang, bahkan malam hari, orang-orang ramai
mencabuti bambu-bambu yang memakan banyak biaya untuk menancapnya.
Mereka adalah orang-orang yang dikerahkan oleh pemerintah untuk
mencabutnya.
"Yuk, ikut bantu ngangkut bambu, Lif."
"Males ah, sekarang gak kaya dulu. Dulu ada uangnya. Ini gak
ada."
"Oh, ya udah."
"Kita cari kerang aja, yuk, Yan. Biar dapet duit."
"Gak, ah. Aku mau bantu bapakku aja, biar cepet selesai. Biar bisa
nyari ikan lagi, kata Bapak."
"Minggir-minggir, anak koruptor lewat."
"Is, anak koruptor."
"Males main, ah, kalau ada anak koruptor. Koruptor kan, jahat."
Di sekolah, Wawan tak lagi di elu-elukan. Walaupun sebagian anak tak tahu
apa arti koruptor, mereka tetap membully Wawan dengan sebutan itu karena bapak
Wawan dipenjara, dia menjadi tersangka penerima suap pelegalan
pembangunan pagar laut.
Sesuatu yang dulu dibanggakan Wawan, sekarang menjadi aib bagi keluarganya. Anehnya kehidupan mereka justru terlihat semakin bergelimang harta. Padahal ayah Wawan dipecat sebagai kepala desa dan dipenjara.