Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Bia R | Serdadu Bambu

Cerpen Bia R



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Ha-ha-ha. Geli sekali rasanya. Ombak mengamuk menghantam tubuhku, tapi aku tetap berdiri untuk Tuanku. Meski laut meraung memanggil kapal-kapal yang terhenti di perbatasan, atau desau angin yang meraung menanti para penjala, aku tak akan runtuh. Tugasku menjadi serdadu bambu, berdiri di antara keyakinan Tuanku bersama mimpinya dan para nelayan yang lapar. Memagari kesombongan para penjala ikan yang berlebihan. 


Sejak ditugaskan  menjaga perbatasan, aku tak pernah benar-benar sendiri. Suara-suara datang berbagai penjuru.  Nyiur angin yang meniupkan rindu sang laut pada perahu para penjala, deburan ombak yang memanggil harapan nelayan. Dan keluh kesah manusia–tentang laut yang kian pelit, jaring yang semakin kosong, atau orang-orang besar yang sok berkuasa.


“Sialan mereka! Seenaknya sendiri. Apa-apa dibatasi. Pakai bawa nama kelestarian alam pula. Padahal kita melaut cuma buat makan.”


Seorang lelaki kekar mengumpat dari atas perahu dinamonya. Mesin tuanya menggerung pelan, seiring memendeknya jarak antara perahu dan aku. Barang usang itu tidak bisa lagi membawa ia pergi jauh ke laut lepas.


“Mungkin enggak diajari kebaikan waktu sekolah, Bahar,” timpal lelaki lain dari perahu berbeda. Sambil berusaha memindahkanku, ia menghela nafas panjang.


“Kau lupa, eh?” Bahar menatap kawannya serius. “Sekarang, di sekolah hanya belajar tentang hitung-hitungan, dan cara ngomong yang menjanjikan macam kades kita. Enggak ada pelajaran kebaikan.”


Ha-ha-ha. Kalian manusia rendahan tahu apa soal kebajikan? Yang ada di kepalamu hanya ikan dan uang untuk menyumpal mulut keluargamu yang kelaparan. Kalau kebetulan ikan-ikan banyak didapat, dan uangmu bersisa, mungkin akan dihamburkan pada kretek, kopi, dan gorengan. 


Benar apa yang pernah dikatakan Tuanku ketika memeriksa perbatasan yang kujaga. Kalian manusia naif yang tak peduli masa depan dan kebaikan yang sesungguhnya. Ia dan kawan-kawannya sering mengumpat orang-orang seperti kau, Bahar. Mereka menilai dan menggunjingmu dengan bahasa yang tinggi dan tidak akan pernah dimengerti orang yang tidak sekolah sepertimu.


Mereka–Tuanku adalah orang-orang terhormat, dikagumi para pemuda yang bermimpi di seluruh negeri. Mereka selalu rapi dan wangi. Mereka bicara tentang pembangunan, perubahan untuk masa depan, dan dedikasi tinggi untuk negara. Sedang kau dan kawananmu hanya orang kecil yang tak pernah luput dari mengeluhkan kemarin dan hari ini. Tangan-tangan yang tak henti menguras berkah laut, tanpa berpikir membalas budi. 


Kau selalu nyaman dengan aroma bacin di tubuhmu yang legam. Bahkan pakaianmu hanya itu melulu. Kaus olahraga bekas anak SMP, atau paling baru hannyalah kaus partai yang dibagikan percuma.


“Kabarnya kemarin Karto sudah mengumpulkan masa dari desa lain untuk mendemo.” Seorang pemuda yang baru menebar jaringnya mulai angkat suara. 


“Mendemo siapa? Memangnya bakal didengar? Atau jangan-jangan seperti kemarin lagi. Aku ogah masuk penjara lagi. Kasihan anakku,” timpal nelayan lainnya. 


Bahar hanya menyimak obrolan sembari melempar jala di  dekat perahunya, setelah tak berhasil menyingkirkan bagian tubuhku. Ia terus mengutuk seakan dari mulutnya hanya ada kata-kata kotor. 


“Kalau masanya sudah banyak, pasti mereka mengalah. Setidaknya mengajak kita musyawarah. Sukur-sukur dikasih kompensasi. Kau akan ikut besok?”


“Daripada demo dan runding dengan manusia tak berhati itu, mending bareng-bareng cabut bambu sialan ini.” Ia menarik batang tubuhku kuat, hingga patah.


“Tapi berisiko, Bahar. Lagi pula kita Cuma bertiga. Kalau tiba-tiba ada anak buah pemiliknya bagaimana? Masih mending kalau mereka hanya memenjarakan kita sementara seperti saat itu. Bagaimana jika keluarga kita diteror?”


“Kalau bersatu, kita bisa mengalahkan mereka. Aku yakin itu. Lagi pula, laut ini tidak dimiliki seseorang. Enak saja.”


Sialan benar manusia satu ini. Apakah kau tidak kapok dengan hukuman Tuanku kemarin? Seakan otot kekarmu bisa menaklukkan seluruh batang tubuhku. Barangkali esok atau lusa, jiwa pongahmu bermimpi akan menumbangkan Tuanku yang jelas-jelas tidak bisa terjatuh walau dihantam berkali-kali. Karena Tuanku memiliki segalanya. Sedangkan kau dan kawanmu hanya memiliki perahu butut dan keberanian yang tak akan setara dengan keberanian Tuanku.


Kalau proyek pembangunan yang dicita-citakan Tuanku berhasil, kau dan kawananmu akan terdiam mengaguminya. Bahkan anjing liar yang kerap hilir mudik di pantai pun tak akan sudi menodai pemandangan indah yang diubah Tuanku dan kerabatnya. Ia akan pergi jauh karena malu jika harus mejeng di tempat bermartabat seperti yang direncanakan Tuanku. Maka diamlah dan biarkan semua berjalan sebagaimana rencananya. Jika berkeras hati, barangkali dengan terpaksa Tuanku akan mengamankanmu di ruang paling sunyi, Bahar.


Angin berembus kencang, membisikan doa-doa untuk semesta. Ombak tak lagi mengamuk. Langit membisu menatap kami dari tempatnya. Dari arah pesisir, datang tiga perahu yang dipasangi lampu pijar. Seorang lelaki tua melambai ke arah dua lelaki yang masih saja berusaha menyingkirkanku sembari menunggu jalanya terisi.


“Kita enggak jadi demo, besok. Karto sudah runding sama Pak Kades. Katanya Pak Kades bisa bantu mengajukan pencabutan. Tapi butuh dana buat prosesnya.”


Bahar melengos sinis. “Minta berapa duit?”


“Butuh lima puluh juta. Karto minta iuran. Cari aman saja, katanya. Daripada bonyok dan enggak hasil apa-apa.”


“Perorangan lima ratus ribu,” timpal lelaki lain. 


“Kau gila. Uang sebanyak itu mending disimpan. Kita bisa gotong royong cabut pagar kampret ini. Peduli setan dengan peraturan dan legalitas. Kita hanya perlu memedulikan hidup kita.”


“Ini jalan amannya.”


“Jangan gila. Dia menipu. Ujung-ujungnya kita juga yang rugi. Kumpulkan mereka di sini. Kita cabuti pagar sialan itu malam ini. Soal keamanan kita bisa keroyokan dan menang. Susah kalau menunggu kebijakan kades mata duitan itu. 


Aku serdadu bambu yang dititah Tuan yang terhormat hanya bisa menertawakan kepongahan bicaramu dalam bisu. Menyingkirkanku dan kawan yang lain dalam semalam hanya akan terjadi dalam anganmu. Tubuhku dan serdadu lainnya membentang luas hingga ke berbagai penjuru desa. Silakan saja singkirkan kami. Esok atau lusa, Tuanku akan mengirim para pesuruhnya untuk mengamankanmu. Tak akan sanggup kau dan kawanmu melawan.


Satu persatu perahu muncul dan mendekat. Mereka mencabuti serdadu bambu yang lain dari perbatasan sembari membicarakan kejayaan setelah menyingkirkan kami yang tak bisa melawan. Berharap esok akan hidup tenang dan berjaya. Seolah kebebasan menangkap ikan sebanyak mungkin akan berlaku mulai hari esok. 


Jangan harap hidupmu akan membaik. Manusia-manusia seperti kalian tidak akan tenang. Tentu saja penyesalan akan menyelimuti. Tak lama lagi pemilik kewenangan akan datang dengan Tuanku untuk membereskan kekacauan ini. Kupastikan tak akan ada senyum kemenangan untuk kalian, perusak.


Gemuruh ombak menyemangati para nelayan yang masih saja mengalahkan pertahanan kami para serdadu bambu. Aku telah tercerabut dari tempatku berjaga. Begitu pula dengan serdadu lainnya. Laut bereuforia menyambut kemenangan para nelayan menjengkelkan itu. Mungkin saja laut tidak terima jika sebagian dari dirinya akan dikeringkan demi kepentingan masa depan manusia.


Ketika langit hampir membuka tirai gelapnya, sebuah kapal muncul dari laut lepas. Lampu dari kapal itu menyorot para manusia tengik yang masih berperang dengan kami–serdadu bambu yang tak memiliki daya apa pun selain bertahan. Aku yakin di sini akhir kebahagiaan mereka. Sudah kujelaskan Tuanku tidak akan diam dengan ulah menjengkelkan nelayan itu. 


“Apa yang kalian lakukan. Pagar ini legal. Untuk kebaikan ekosistem laut. Jangan seenaknya merusak.” Seorang pria kekar berkarisma muncul dari balik barisan manusia bersenjata yang sudah siap menodong para nelayan untuk menyerah.


Para lelaki yang tadi begitu berani mengalahkan kami tiba-tiba diam dan kompak menatap Bahar. Beberapa dari mereka terlihat geram seperti Bahar. 


“Kami hanya mengusahakan tempat kami mencari ikan tidak dibatasi. Bukankah lautan ini milik semua?” suara Bahar bergetar.


Keadaan menjadi begitu mencekam. Hanya batu karang yang begitu damai dan tegar diterjang ombak yang kembali mengamuk. Gerimis turun seakan langit ikut menangisi kegagalan para nelayan itu.


Tiba-tiba saja, seorang lelaki tua meneriakkan hujatan pada para serdadu. Ia tak terima dengan kebijakan yang telah disepakati. Ia mengatakan kebebasannya telah dirampas. Hak-haknya untuk sejahtera telah hilang sedari dulu.


Dari barisan para lelaki kekar itu, salah satunya maju menghampiri si tua. Ia menempeleng manusia uzur itu hingga tersungkur di atas perahunya. Remaja ingusan yang ikut-ikutan dengan si kakek tidak terima pada perlakuan kasar pria berseragam itu. Ia hunuskan salah satu serdadu bambu pada bagian perut utusan Tuanku.


“Bajingan kau!” hardiknya. 


Tiga hantaman dari tiga tangan kekar mengenai tubuh remaja ingusan, mengundang amarah nelayan lain. Mereka mulai meneriaki para utusan. Tentu saja para utusan tuanku tidak diam saja.


“Mati kau!”


Tangan kekar Bahar meraih tubuhku yang terapung di dekat perahunya. Ia memaki dan hampir melemparku ke tubuh kekar seorang pemimpin serdadu di hadapannya yang tiba-tiba teriak mengumpat para nelayan. Satu pukulan dibalas pukulan yang lainnya. Berubah menjadi hantaman benda-benda, dan segalanya jadi semakin kacau. Tak terelakkan keributan telah pecah dini hari itu.


Semua berakhir ketika sang pemimpin utusan berhasil membakar perahu usang milik salah satu dari kawanan nelayan yang disebut pemberontak itu. Teriakan pasrah lelaki yang kalah berpadu dengan tangis ombak yang gemuruh. Apakah para serdadu itu tidak berlebihan? 


Aku tetap membisu dalam genggaman tangan Bahar yang berteriak meminta belas kasihan. Darah mengalir dari batok kepala dan genggaman tangannya. Aroma asin laut berpadu mesra dengan bau tembaga dari kucuran darah para lelaki sial itu. 


“Kami melaut hanya untuk makan,” rintih Bahar. 


Aku serdadu laut yang kau singkirkan dari tempatku berjaga tak akan berduka untukmu, Bahar. Andai kau dan kawananmu tetap menerimaku di perbatasan itu, tak akan terjadi keributan ini. Tuanku tak akan merasakan perih pada lukamu. Ia tidak akan gelisah. Karena ia pintar dan memiliki segalanya. Kau dan kawanmu telah kalah. Tak akan ada harapan lagi bagimu.