Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Bintang Saputra Zannuba AS. | Ayahku Pahlawan Nelayan

 

Matahari pagi menyinari wajahku, membasahi kulitku dengan hangatnya. Bau amis laut dan garam masih melekat di ujung hidungku, kenangan dari mimpi semalam yang masih terasa nyata. Mimpi itu tentang Ayah, tentang laut, dan tentang pagar laut raksasa yang mengancam menelan hidup kami.

Aku, seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun bernama Budi, tumbuh besar di desa nelayan kecil yang damai bernama Tanjung Harapan. Kehidupan kami sederhana, bergantung sepenuhnya pada laut yang luas dan kaya akan ikan. Ayahku, seorang nelayan ulung dengan kulit yang terbakar matahari dan tangan yang kasar tapi lembut, adalah tulang punggung keluarga kami. Setiap hari, ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit, pulang saat senja dengan jaring penuh ikan. Ikan-ikan itu menjadi sumber nafkah kami, menjadi santapan kami, dan menjadi cerita-cerita yang Ayah sukai untuk diceritakan di malam hari.

Namun, kedamaian itu terusik beberapa bulan lalu. Sebuah perusahaan besar datang ke desa kami, membawa serta rencana pembangunan pagar laut sepanjang beberapa kilometer di sepanjang pantai. Pagar laut itu, katanya, untuk melindungi pantai dari abrasi dan meningkatkan pariwisata. Tapi, bagi kami, nelayan Tanjung Harapan, itu adalah bencana.

Ayah menjelaskan dengan sabar, bahwa pagar laut itu akan menghalangi jalur migrasi ikan. Ikan-ikan yang biasanya berlimpah di perairan kami akan menghilang. Perahu-perahu nelayan kami yang kecil dan sederhana akan kesulitan untuk melewati pagar laut yang tinggi dan kokoh itu. Kehidupan kami akan hancur. Pendapatan kami akan hilang. Kami akan kehilangan mata pencaharian turun temurun.

Awalnya, kami hanya bisa pasrah. Suara kami, suara para nelayan kecil, seakan tenggelam di tengah hiruk pikuk proyek besar itu. Perusahaan itu, dengan modal dan pengaruhnya yang besar, tampak tak tergoyahkan. Mereka mengabaikan protes kami, mengabaikan penjelasan Ayah. Mereka

hanya melihat keuntungan, tanpa melihat penderitaan yang akan mereka timpakan pada kami.

Tapi Ayah, dengan gigihnya, tak pernah menyerah. Ia mengumpulkan para nelayan lainnya, mengajak mereka bersatu. Ia mencari data, mempelajari dokumen-dokumen proyek, mencari celah dan kelemahan dalam rencana pembangunan pagar laut itu. Ia berdiskusi dengan para ahli kelautan, mencari dukungan dan bukti ilmiah untuk memperkuat argumennya. Ia bahkan rela menjual beberapa perhiasan milik Ibu untuk membiayai perjalanan ke kota, menemui para pejabat dan aktivis lingkungan.

Malam-malam, Ayah sering begadang, matanya sembab, tangannya lelah memegang pulpen dan kertas. Ia menulis surat, membuat laporan, dan menyusun strategi. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah menyerah. Ia berjuang demi kami, demi masa depan kami, demi kelangsungan hidup kami sebagai nelayan.

Aku melihat Ayah berjuang, melihat keringatnya membasahi kemeja usangnya. Aku melihat tekadnya yang tak pernah padam, semangatnya yang tak pernah pudar. Aku bangga menjadi anaknya. Aku bangga memiliki Ayah yang berani melawan ketidakadilan, yang berani memperjuangkan hak-hak kami.

Dan akhirnya, setelah berbulan-bulan berjuang, keajaiban terjadi. Proyek pagar laut itu dihentikan. Bukan karena perusahaan itu tiba-tiba berbaik hati, tetapi karena Ayah, bersama para nelayan lainnya, berhasil membuktikan bahwa proyek itu tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga merusak lingkungan dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukti- bukti yang Ayah kumpulkan, argumen-argumen yang Ayah sampaikan, berhasil meyakinkan para pejabat.

 

Berita itu seperti angin segar yang menerpa desa kami. Para nelayan bersorak gembira, merayakan kemenangan mereka. Aku memeluk Ayah, air mata haru membasahi pipiku. Ayah tersenyum, lelah tapi bahagia. Ia telah

membuktikan bahwa suara kecil, jika bersatu, dapat mengalahkan kekuatan besar yang serakah dan tak bertanggung jawab.

Laut tetap milik kami. Mata pencaharian kami tetap terjaga. Dan Ayah, pahlawan kami, telah mengajariku arti pentingnya perjuangan, arti pentingnya bersatu, dan arti pentingnya memperjuangkan kebenaran, meskipun jalannya sulit dan penuh tantangan. Mimpi semalam bukanlah mimpi lagi, tetapi kenyataan yang indah dan membanggakan. Dan aku tahu, bau amis laut dan garam akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku, sebagaimana Ayah, pahlawan nelayan yang telah menyelamatkan kami dari ancaman pagar laut raksasa.

Bertahun-tahun berlalu. Aku, Budi, kini telah menjadi seorang ayah. Rambutku memutih, kulitku keriput, tetapi semangatku untuk menjaga laut dan desa Tanjung Harapan tetap membara, warisan dari Ayahku. Anakku, seorang gadis kecil bernama Ani, tumbuh besar di tengah riuhnya ombak dan aroma laut yang familiar. Ia sering mendengar cerita tentang kakeknya, pahlawan nelayan yang menghentikan proyek pagar laut.

Ani, sepertiku dulu, mencintai laut. Ia sering bermain di pantai, membangun istana pasir yang disapu ombak, dan mengamati para nelayan yang pulang dengan jaring penuh ikan. Aku menceritakan kisah perjuangan Ayah, bagaimana ia berjuang mempertahankan hak-hak nelayan, bagaimana ia melawan ketidakadilan dengan tekad yang kuat. Aku ingin Ani mewarisi semangat juang itu, semangat yang telah menjaga kelangsungan hidup kami selama bergenerasi.

Suatu hari, sebuah perusahaan baru datang ke desa kami. Mereka membawa rencana pembangunan pelabuhan besar, proyek yang jauh lebih besar dan ambisius daripada proyek pagar laut dulu. Mereka berjanji akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi desa kami. Namun, dalam hatiku, aku merasakan kekhawatiran yang sama seperti yang Ayah rasakan dulu. Aku khawatir akan dampak lingkungan, khawatir akan nasib para nelayan kecil seperti kami.

Ani, yang telah tumbuh menjadi gadis cerdas dan peka, juga merasakan kekhawatiran itu. Ia mengamati dengan cermat, mempelajari rencana pembangunan pelabuhan itu, mencari informasi dan data yang relevan. Ia bahkan membantu aku mengumpulkan data dan bukti, mencari celah dan kelemahan dalam rencana perusahaan itu. Ia menggunakan kecanggihan teknologi untuk menyebarkan informasi, melibatkan komunitas online dan aktivis lingkungan untuk mendukung perjuangan kami.

Ani, dengan caranya sendiri, memperjuangkan laut dan desa kami. Ia menggunakan media sosial untuk menyebarkan kesadaran, menulis artikel dan membuat video dokumenter tentang pentingnya menjaga kelestarian laut. Ia berkolaborasi dengan para pemuda lainnya, membentuk sebuah kelompok advokasi lingkungan yang aktif dan berpengaruh.

Perjuangan kami kali ini berbeda dari perjuangan Ayah dulu. Kami menggunakan teknologi dan media sosial sebagai senjata, menjangkau lebih banyak orang dan mendapatkan dukungan yang lebih luas. Ani, dengan kecerdasannya dan semangatnya yang tak kenal lelah, menjadi pemimpin dalam perjuangan ini. Ia mampu menggabungkan tradisi nelayan dengan teknologi modern, menciptakan strategi yang efektif dan inovatif.

Dan seperti Ayah dulu, kami berhasil. Dengan bukti-bukti yang kuat dan dukungan masyarakat yang luas, kami berhasil melobi pemerintah dan perusahaan untuk merevisi rencana pembangunan pelabuhan. Proyek itu tidak dihentikan sepenuhnya, tetapi dimodifikasi agar lebih ramah lingkungan dan tidak merugikan para nelayan.

Ani, cucu dari pahlawan nelayan, telah menjadi pahlawan baru bagi desa Tanjung Harapan. Ia telah membuktikan bahwa semangat juang Ayah dapat diwariskan, bahwa perjuangan untuk menjaga laut dan lingkungan dapat dilakukan dengan cara-cara yang baru dan inovatif. Laut tetap milik kami, dan generasi penerus akan terus menjaga warisan yang telah dijaga selama bergenerasi. Bau amis laut dan garam, akan selalu menjadi bagian dari sejarah keluarga kami, sejarah perjuangan yang tak pernah berakhir.