“Unyu, di mana kamu?”
Suara Nuh menggelegar. Bersaing dengan debur ombak di tepian Pantai Gerawan.
Rembang petang itu seharusnya Unyu singgah di pantai. Namun sejak pagar laut
dibangun orang-orang kota, penyu-penyu belimbing terhalang datang.
“Unyu, ayolah jawab.
Kalau kamu ada di dekat sini, jawablah aku,” seru Nuh. Matanya mengamat-amati
kalau-kalau ada pergerakan si Unyu di permukaan air. Dari ujung ke ujung, netra
Nuh menyapu bersih.
Tetiba ada sesosok
makhluk berenang bersama debur gelombang. Ganjilnya, penyu itu berenang dengan
susah payah. Satu kakinya tak mendayung sempurna. “Unyu, kenapa kau? Tunggu
aku. Tak usah berenang cepat-cepat ke sini,” kata Nuh. Pemuda berkulit gelap
itu lantas berenang menjemput sobatnya yang tampak kepayahan dihantam
gelombang.
Sejak kecil, Nuh
mendapat karunia istimewa. Ia bisa berbicara dengan penyu yang menjadi sobat
bermainnya setelah kakaknya meninggal karena tenggelam saat menolong penyu yang
terjerat sampah pukat harimau di lautan. Waktu itu Nuh hanya bisa melihat
peristiwa kelam itu dari kejauhan.
Ternyata penyu yang
diselamatkan kakaknya itu lantas datang mendekati Nuh yang masih kecil kala ia
bermain di pasir pantai dekat rumahnya. Sejak saat itulah, Nuh bersahabat karib
dengan si Unyu, penyu itu.
“Makasih, Nuh,” tutur
Unyu kala Nuh berhasil meraih tubuhnya dan membawanya ke tepi pantai. Napas Nuh
masih tersengal-sengal. “Apa yang terjadi pada kakimu, Unyu?”
Sembari mencucurkan air
mata, Unyu berkisah. Baling-baling kapal motor yang mengangkut para pemasang
pagar laut melukai kaki kanannya. Ia tak mengira akan ditabrak kapal motor itu
saat sedang berenang dengan tenang seperti biasanya saat mencari makan di
antara terumbu karang.
“Kasihan sekali engkau,
Unyu. Aku akan merawatmu sampai kakimu sembuh. Sebentar, tunggu dulu. Aku
ambilkan kain untuk bersihkan lukamu.” Nuh pun bergegas berlari menuju rumah
panggungnya yang dibangun dengan kayu ulin di atas permukaan air laut.
“Ayah, Nuh minta kain
bersih. Untuk si Unyu yang kena baling-baling kapal,” pinta Nuh pada lelaki
yang terbaring lemah di tempat tidurnya itu. Ayah Nuh menjadi satu-satunya
pengasuh baginya. Ibunya telah tiada saat melahirkan Nuh.
“Ambil saja di laci
almari itu, Nak. Ambil juga ember besar itu supaya Unyu bisa engkau bawa ke
rumah kita,” jawab sang ayah. Nuh mengangguk pelan. Ia merasa kasihan pada
ayahnya yang sudah tak sekuat ketika masih muda dulu. Sudah hampir setahun ini
ayahnya tak lagi bisa melaut di laut lepas karena kekuatan badannya menurun
tajam. Tambah lagi, semenjak pagar laut untuk resor wisata itu dibangun, sulit
bagi perahu-perahu nelayan untuk berkegiatan di lautan.
Nuh mengambil kain di
almari, lantas membawa Unyu dengan ember besar ke dalam pondoknya.
Nuh menyeka darah di
kaki Unyu dengan kain. Unyu tampak kesakitan. Ia tak lagi dapat meneteskan air
matanya yang sudah habis. Teringat ia pada teman-temannya para penyu belimbing
yang tewas dan terluka terkena baling-baling perahu motor proyek pagar laut.
Mereka tak berdaya karena sehari-hari harus mencari makan di tempat di mana
pagar laut itu ditancapkan.
Enam bulan lalu,
orang-orang berdasi mendatangi kampung Nuh. Mereka mengobral janji tentang
objek wisata baru yang akan membuat turis mancanegara datang. Sebuah resor
besar dengan hotel, pelabuhan, juga bandara untuk pesawat jet.
Ayah Nuh dan para warga
menolak. “Kami para nelayan ini mau mencari ikan di mana? Bagaimana pula nasib
terumbu karang dan satwa lautan nantinya?” Tetapi orang-orang berbaju rapi nan
wangi itu tetap bersikeras. “Tenang saja, nanti warga akan lebih sejahtera. Ada
banyak pekerjaan baru yang kami tawarkan,” kata mereka.
Entah bagaimana, Pak
Lurah malah mendukung orang-orang bermobil mewah nan pongah itu. “Jangan
buru-buru menilai, saudara-saudari. Namanya pembangunan itu harus dilihat hasil
akhirnya juga. Sabarlah dulu. Kita beri kesempatan agar ada perubahan di
kampung-kampung kita ini. Nanti kalau sudah berhasil, kita-kita juga yang akan
menerima buahnya,” bujuk Pak Lurah. Waktu itu warga hanya bisa saling pandang.
Tak berdaya.
Nuh memindahkan ember
tempat Unyu berada ke serambi pondoknya. Ia ambil pasir dan batu-batu koral
dari pantai supaya Unyu merasa lebih nyaman. “Unyu, ceritakanlah padaku apa
yang kamu lihat dan rasakan akhir-akhir ini,” pinta Nuh.
Belum sempat Unyu
menjawab, terdengar langkah kaki seseorang menaiki tangga. Rupanya Pak Lurah.
Dia datang dengan dua orang berperawakan tegap.
“Pak Dosi mana?” selidik
Pak Lurah. “Bapak di kamar. Maaf, kenapa Pak Lurah ingin ketemu ayah?” tanya
Nuh.
“Ini ada surat
pemberitahuan dari kelurahan. Rumah ini termasuk yang perlu dipindah ke lokasi
baru karena terkena rencana proyek resor wisata. Seminggu lagi harus pindah.
Itu saja pesan saya,” kata pria tambun itu.
“Kenapa tiba-tiba kami
harus digusur, Pak? Kami tidak pernah diajak bicara soal ini,” tukas Nuh.
Pak Lurah tersenyum
sinis. “Kalian selama ini tinggal di rumah ini tanpa ada surat apa-apa.
Hitungannya, kalian ini menumpang saja. Ini ada salinan sertifikat tanah yang
menjelaskan bahwa pemilik kawasan ini adalah PT wisata. Di hadapan hukum,
kalian cuma warga liar,” hardik Pak Lurah.
Nuh tak bisa lagi
menahan amarahnya. “Kami orang kecil tapi jangan sembarangan diinjak-injak!”
Tangan Nuh berusaha mencengkeram kerah baju Pak Lurah. Akan tetapi, dua pria
pengawal mencegahnya. Nuh memberontak. Keributan pun pecah.
“Eh, ada apa ini. Jangan
pukul anakku,” seru Pak Dosi yang baru saja terbangun. Mendengar suara pria
renta itu, keributan terhenti.
“Begini, Pak Dosi.
Anakmu ini kurang ajar sekali. Dia berani melawan hukum. Pokoknya kalian harus
pindah dari rumah ini segera. Kalau tidak, akan kami bongkar paksa. Tidak ada
gunanya melawan. Semua sudah jelas tertulis di surat ini. Baca saja dan ikuti
perintah kami,” tegas Pak Lurah sambil melempar amplop itu ke arah Pak Dosi.
Dua pria berbadan kekar
tadi melepaskan Nuh. Mereka merapikan lengan baju dan mengiringi langkah Pak
Lurah keluar rumah.
Pak Dosi dan Nuh saling
berpelukan. “Memang benar, rumah ini tak ada suratnya, Nak,” tutur Pak Dosi
lirih.
“Tapi bukan begitu juga
cara mengusir kita, Pak. Kita tetap harus lawan orang jahat itu!” kata Nuh
sambil menghibur ayahnya yang makin menua.
“Bapak sudah tidak kuat,
kamulah harapan Bapak untuk memperjuangkan nasib kita. Buatlah apa yang kamu
yakini benar, Anak.”
Nuh bergegas menuruni
tangga. Saat ia hendak menapak tangga terbawah, terdengar suara Unyu. “Nuh,
hati-hati. Aku tahu betapa jahatnya orang-orang itu.”
Nuh membalikkan badan.
Ia kembali naik untuk mendengar penuturan Unyu. “Apa yang kamu tahu tentang
mereka ini?”
Unyu pun berkisah,
bagaimana Pak Lurah dan orang-orang berseragam itu berkeliling dengan kapal
motor untuk menentukan tempat pemasangan pagar laut. “Nanti kita buat
seolah-olah pantai ini dulu tanah yang kemudian tenggelam karena abrasi. Kita
buat surat tanah untuk perusahaan. Gampang saja itu. Ha...ha...ha,” seloroh Pak
Lurah di atas kapal motor itu. Orang-orang berbaju kerah itu menanggapi dengan
gelak tawa.
Nuh menyimak penuturan
Unyu dengan gigi gemertak. “Kalau begitu aku akan ajak warga lain untuk
demonstrasi.”
*
Sehari berlalu. Nuh dan
warga desa berkumpul di balai desa. Mereka telah bersepakat untuk demo ke
kantor bupati. “Warga semua, satukan tekat lawan pagar laut dan proyek laknat.
Setuju?” tanya seorang tetua desa. “Setuju!” jawab warga kompak. “Kalau begitu,
ayo kita berangkat jalan kaki sampai kantor bupati,” ajak sang tetua desa.
Warga pun berangkat. Nuh memimpin di barisan depan dengan kepala berikat
bendera merah-putih.
Sementara itu, segera
sesudah warga berangkat, segerombolan pria dengan wajah tertutup bak ninja
mendatangi pondok Nuh. Terdengar suara dengkuran pria renta dari atas. Mereka
menuang bensin di tiang-tiang pancang pondok itu. Seorang dari mereka menyulut
api sambil tersenyum licik. “Ini akibatnya kalau kalian masih juga melawan.”
Nuh dan para warga telah
separuh perjalanan menuju kantor bupati. Langkah mereka terhenti kala melihat
asap membumbung tinggi dari arah kampung. Nuh hanya bisa memandang asap itu
dari kejauhan. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Lututnya sontak lemas. Air
matanya mengucur deras. Tapi, sejenak kemudian, sambil menengadahkan tangan ke
langit, pemuda itu mengucap: “Tuhan, aku tahu Engkau tidak tidur. Belalah
hamba-Mu yang lemah ini!”