Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Bobby Steven | Air Mata di Pantai Gerawan

 

“Unyu, di mana kamu?” Suara Nuh menggelegar. Bersaing dengan debur ombak di tepian Pantai Gerawan. Rembang petang itu seharusnya Unyu singgah di pantai. Namun sejak pagar laut dibangun orang-orang kota, penyu-penyu belimbing terhalang datang.

“Unyu, ayolah jawab. Kalau kamu ada di dekat sini, jawablah aku,” seru Nuh. Matanya mengamat-amati kalau-kalau ada pergerakan si Unyu di permukaan air. Dari ujung ke ujung, netra Nuh menyapu bersih. 

Tetiba ada sesosok makhluk berenang bersama debur gelombang. Ganjilnya, penyu itu berenang dengan susah payah. Satu kakinya tak mendayung sempurna. “Unyu, kenapa kau? Tunggu aku. Tak usah berenang cepat-cepat ke sini,” kata Nuh. Pemuda berkulit gelap itu lantas berenang menjemput sobatnya yang tampak kepayahan dihantam gelombang.

Sejak kecil, Nuh mendapat karunia istimewa. Ia bisa berbicara dengan penyu yang menjadi sobat bermainnya setelah kakaknya meninggal karena tenggelam saat menolong penyu yang terjerat sampah pukat harimau di lautan. Waktu itu Nuh hanya bisa melihat peristiwa kelam itu dari kejauhan. 

Ternyata penyu yang diselamatkan kakaknya itu lantas datang mendekati Nuh yang masih kecil kala ia bermain di pasir pantai dekat rumahnya. Sejak saat itulah, Nuh bersahabat karib dengan si Unyu, penyu itu. 

“Makasih, Nuh,” tutur Unyu kala Nuh berhasil meraih tubuhnya dan membawanya ke tepi pantai. Napas Nuh masih tersengal-sengal. “Apa yang terjadi pada kakimu, Unyu?”

Sembari mencucurkan air mata, Unyu berkisah. Baling-baling kapal motor yang mengangkut para pemasang pagar laut melukai kaki kanannya. Ia tak mengira akan ditabrak kapal motor itu saat sedang berenang dengan tenang seperti biasanya saat mencari makan di antara terumbu karang. 

“Kasihan sekali engkau, Unyu. Aku akan merawatmu sampai kakimu sembuh. Sebentar, tunggu dulu. Aku ambilkan kain untuk bersihkan lukamu.” Nuh pun bergegas berlari menuju rumah panggungnya yang dibangun dengan kayu ulin di atas permukaan air laut. 

“Ayah, Nuh minta kain bersih. Untuk si Unyu yang kena baling-baling kapal,” pinta Nuh pada lelaki yang terbaring lemah di tempat tidurnya itu. Ayah Nuh menjadi satu-satunya pengasuh baginya. Ibunya telah tiada saat melahirkan Nuh. 

“Ambil saja di laci almari itu, Nak. Ambil juga ember besar itu supaya Unyu bisa engkau bawa ke rumah kita,” jawab sang ayah. Nuh mengangguk pelan. Ia merasa kasihan pada ayahnya yang sudah tak sekuat ketika masih muda dulu. Sudah hampir setahun ini ayahnya tak lagi bisa melaut di laut lepas karena kekuatan badannya menurun tajam. Tambah lagi, semenjak pagar laut untuk resor wisata itu dibangun, sulit bagi perahu-perahu nelayan untuk berkegiatan di lautan.

Nuh mengambil kain di almari, lantas membawa Unyu dengan ember besar ke dalam pondoknya. 

Nuh menyeka darah di kaki Unyu dengan kain. Unyu tampak kesakitan. Ia tak lagi dapat meneteskan air matanya yang sudah habis. Teringat ia pada teman-temannya para penyu belimbing yang tewas dan terluka terkena baling-baling perahu motor proyek pagar laut. Mereka tak berdaya karena sehari-hari harus mencari makan di tempat di mana pagar laut itu ditancapkan.

Enam bulan lalu, orang-orang berdasi mendatangi kampung Nuh. Mereka mengobral janji tentang objek wisata baru yang akan membuat turis mancanegara datang. Sebuah resor besar dengan hotel, pelabuhan, juga bandara untuk pesawat jet.

Ayah Nuh dan para warga menolak. “Kami para nelayan ini mau mencari ikan di mana? Bagaimana pula nasib terumbu karang dan satwa lautan nantinya?” Tetapi orang-orang berbaju rapi nan wangi itu tetap bersikeras. “Tenang saja, nanti warga akan lebih sejahtera. Ada banyak pekerjaan baru yang kami tawarkan,” kata mereka. 

Entah bagaimana, Pak Lurah malah mendukung orang-orang bermobil mewah nan pongah itu. “Jangan buru-buru menilai, saudara-saudari. Namanya pembangunan itu harus dilihat hasil akhirnya juga. Sabarlah dulu. Kita beri kesempatan agar ada perubahan di kampung-kampung kita ini. Nanti kalau sudah berhasil, kita-kita juga yang akan menerima buahnya,” bujuk Pak Lurah. Waktu itu warga hanya bisa saling pandang. Tak berdaya. 

Nuh memindahkan ember tempat Unyu berada ke serambi pondoknya. Ia ambil pasir dan batu-batu koral dari pantai supaya Unyu merasa lebih nyaman. “Unyu, ceritakanlah padaku apa yang kamu lihat dan rasakan akhir-akhir ini,” pinta Nuh.

Belum sempat Unyu menjawab, terdengar langkah kaki seseorang menaiki tangga. Rupanya Pak Lurah. Dia datang dengan dua orang berperawakan tegap. 

“Pak Dosi mana?” selidik Pak Lurah. “Bapak di kamar. Maaf, kenapa Pak Lurah ingin ketemu ayah?” tanya Nuh. 

“Ini ada surat pemberitahuan dari kelurahan. Rumah ini termasuk yang perlu dipindah ke lokasi baru karena terkena rencana proyek resor wisata. Seminggu lagi harus pindah. Itu saja pesan saya,” kata pria tambun itu.

“Kenapa tiba-tiba kami harus digusur, Pak? Kami tidak pernah diajak bicara soal ini,” tukas Nuh.

Pak Lurah tersenyum sinis. “Kalian selama ini tinggal di rumah ini tanpa ada surat apa-apa. Hitungannya, kalian ini menumpang saja. Ini ada salinan sertifikat tanah yang menjelaskan bahwa pemilik kawasan ini adalah PT wisata. Di hadapan hukum, kalian cuma warga liar,” hardik Pak Lurah. 

Nuh tak bisa lagi menahan amarahnya. “Kami orang kecil tapi jangan sembarangan diinjak-injak!” Tangan Nuh berusaha mencengkeram kerah baju Pak Lurah. Akan tetapi, dua pria pengawal mencegahnya. Nuh memberontak. Keributan pun pecah.

“Eh, ada apa ini. Jangan pukul anakku,” seru Pak Dosi yang baru saja terbangun. Mendengar suara pria renta itu, keributan terhenti. 

“Begini, Pak Dosi. Anakmu ini kurang ajar sekali. Dia berani melawan hukum. Pokoknya kalian harus pindah dari rumah ini segera. Kalau tidak, akan kami bongkar paksa. Tidak ada gunanya melawan. Semua sudah jelas tertulis di surat ini. Baca saja dan ikuti perintah kami,” tegas Pak Lurah sambil melempar amplop itu ke arah Pak Dosi.

Dua pria berbadan kekar tadi melepaskan Nuh. Mereka merapikan lengan baju dan mengiringi langkah Pak Lurah keluar rumah. 

Pak Dosi dan Nuh saling berpelukan. “Memang benar, rumah ini tak ada suratnya, Nak,” tutur Pak Dosi lirih. 

“Tapi bukan begitu juga cara mengusir kita, Pak. Kita tetap harus lawan orang jahat itu!” kata Nuh sambil menghibur ayahnya yang makin menua.

“Bapak sudah tidak kuat, kamulah harapan Bapak untuk memperjuangkan nasib kita. Buatlah apa yang kamu yakini benar, Anak.”

Nuh bergegas menuruni tangga. Saat ia hendak menapak tangga terbawah, terdengar suara Unyu. “Nuh, hati-hati. Aku tahu betapa jahatnya orang-orang itu.”

Nuh membalikkan badan. Ia kembali naik untuk mendengar penuturan Unyu. “Apa yang kamu tahu tentang mereka ini?”

Unyu pun berkisah, bagaimana Pak Lurah dan orang-orang berseragam itu berkeliling dengan kapal motor untuk menentukan tempat pemasangan pagar laut. “Nanti kita buat seolah-olah pantai ini dulu tanah yang kemudian tenggelam karena abrasi. Kita buat surat tanah untuk perusahaan. Gampang saja itu. Ha...ha...ha,” seloroh Pak Lurah di atas kapal motor itu. Orang-orang berbaju kerah itu menanggapi dengan gelak tawa. 

Nuh menyimak penuturan Unyu dengan gigi gemertak. “Kalau begitu aku akan ajak warga lain untuk demonstrasi.” 

*

Sehari berlalu. Nuh dan warga desa berkumpul di balai desa. Mereka telah bersepakat untuk demo ke kantor bupati. “Warga semua, satukan tekat lawan pagar laut dan proyek laknat. Setuju?” tanya seorang tetua desa. “Setuju!” jawab warga kompak. “Kalau begitu, ayo kita berangkat jalan kaki sampai kantor bupati,” ajak sang tetua desa. Warga pun berangkat. Nuh memimpin di barisan depan dengan kepala berikat bendera merah-putih.

Sementara itu, segera sesudah warga berangkat, segerombolan pria dengan wajah tertutup bak ninja mendatangi pondok Nuh. Terdengar suara dengkuran pria renta dari atas. Mereka menuang bensin di tiang-tiang pancang pondok itu. Seorang dari mereka menyulut api sambil tersenyum licik. “Ini akibatnya kalau kalian masih juga melawan.”

Nuh dan para warga telah separuh perjalanan menuju kantor bupati. Langkah mereka terhenti kala melihat asap membumbung tinggi dari arah kampung. Nuh hanya bisa memandang asap itu dari kejauhan. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Lututnya sontak lemas. Air matanya mengucur deras. Tapi, sejenak kemudian, sambil menengadahkan tangan ke langit, pemuda itu mengucap: “Tuhan, aku tahu Engkau tidak tidur. Belalah hamba-Mu yang lemah ini!”