Cerpen Budi Saputra
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Darsumin berlari dengan tubuh gemetaran. Petang itu, ia tak balik ke rumah kakaknya di Kampung Kariya. Lantaran seorang lelaki dengan gangguan jiwa mengancam nyawanya, maka Darsumin memilih menyendiri ke pulau sunyi yang bernama Pamari. Rumah di pulau itu adalah tempat asal muasal keluarga ibunya yang kini tinggal nama di ranji silsilah.
Betapa awalnya yang dilihat Darsumin hanyalah deret pohon kelapa dan debur ombak yang amat menenangkan. Sementara sebuah kedai yang ia tinggalkan sepuluh tahun yang lalu, telah roboh alias berakhir riwayatnya. Tinggal puing-puing yang lapuk dimamah musim, dan pondasi yang dipenuhi lumut. Namun anehnya, di balik deret belukar, siapa yang menyangka, tumpukan bambu dengan jumlah yang luar biasa tampak begitu kentara olehnya. Ah, ini mungkin akan dibangun rumah di sini, pikirnya singkat tanpa ada curiga.
Berada satu malam di pulau itu, Darsumin benar-benar merasa tersiksa. Ponsel di tangannya kehabisan baterai, setelah sempat merekam orang-orang yang bekerja di gudang rempah Pakojan.
Dasar, katanya orang itu tuli tak mendengar. Tapi hampir saja kepalaku pecah oleh batu besar yang dipegangnya, Begitulah batin Darsumin yang sedikit geram kepada dua temannya, Sudi dan Maradi yang mengirim pesan singkat menyesatkan. Darsumin merasa dikibuli. Ia terlanjur mengolok-olok seorang gila, hingga lelaki bertelanjang dada itu mengejarnya.
***
Meski telah banyak perubahan dalam dirinya semenjak dikibuli dua temannya, dan dikejar orang gila dua tahun lalu, namun sebetulnya Darsumin masihlah sosok seorang remaja yang labil. Sama seperti teman-teman sebayanya. Semenjak adanya tower raksasa yang lebih dikenal Tower Bukit Patah, maka aktivitas anak remaja telah banyak beralih ke dunia maya ketimbang harus ke laut bahkan singgah ke pulau-pulau tak berpenghuni.
Namun tentu saja itu tak sepenuhnya berlaku bagi Darsumin. Meski pun sering bicara cabul di media sosial, tapi Darsumin tak meninggalkan kegiatan berenang dan memancing ikan. Bahkan pada suatu hari, ada seorang lelaki asing yang menemuinya dan mengajak bekerja sama. Itu dilakukan Darsumin tanpa sepengetahuan Sudi dan Maradi.
“Saya memesan ikan segar. Pesta besar akan saya gelar. Apakah kau sanggup?”
“Sanggup, Pak. Saya pintar memancing dan kenal dengan banyak nelayan di sini.”
“Kalau begitu, ini ada uang muka untukmu. Tapi ingat, saya tak ingin ikan yang tak segar apalagi jumlahnya tak sesuai harapan.”
Darsumin menganggukkan kepala. Setelah beberapa saat si lelaki asing pergi, perasaannya jadi campur aduk. Antara merasa terancam, dan senang mendapat uang yang jumlahnya lumayan itu. Beberapa kali ia terlihat celingak-celinguk di bawah pohon kelapa pinggir pantai. Tak ada seorang pun ia lihat selain tiga perahu kecil yang terdampar di bawah jembatan yang dialiri sungai kecil lalu terhubung ke laut itu.
Selang sehari kemudian, tentu saja Darsumin menyanggupi permintaan si lelaki asing. Beberapa ikan segar diserahkan Darsumin yang disusul pembicaraan lebih mendalam. Di sebuah pondok bambu yang tersuruk dari keramaian, terdengarlah beberapa rencana dari lelaki berkacamata hitam. Darsumin pun meresapi isi pembicaraan yang awalnya ia anggap mengada-ngada, justru telah menjurus pada sebuah tawaran bisnis menggiurkan.
“Apa kau sanggup? Gajinya lumayan dan banyak peluang naik jenjang karir.”
Darsumin berpikir panjang sembari menatap lautan. Beberapa saat kemudian, bibirnya terbuka lalu menyanggupi tawaran yang terbilang rahasia itu. Dikatakan rahasia sebab si lelaki asing berkata jangan kasih tahu pada teman-teman lain yang sebaya.
“Cukup kau saja yang tahu sendiri. Kalau sukses, kau juga yang untung. Biarkan temanmu yang lain hidup susah.” Kali ini, Darsumin melihat seringai wajah si lelaki asing begitu kentara, dan bagai memberikan impian yang lapang bagi seorang anak muda seperti dirinya.
Suara batuk kecil menandai kepergian si lelaki asing. Betapa untuk kedua kalinya, Darsumin menyaksikan si lelaki asing berlalu dengan mobil mewah yang berbeda dari hari sebelumnya.
Ini kesempatan yang tentu sangat langka, pikirnya. Sebentar lagi, hidup susah di daerah pesisir akan lenyap. Sementara dua temannya Sudi dan Maradi, telah beberapa kali melakukan panggilan telepon. Namun Darsumin kini benar-benar merasa telah di atas angin.
Kalian terus saja sibuk main game dan mengganggu para gadis. Aku kini akan menemukan masa depan yang cerah, seloroh Darsumin bagai bicara pada angin dan ombak yang berdebur.
Cepat Darsumin melangkah menuju rumah sang kakak. Tapi sebelum itu, ia menyempatkan singgah di Pulau Pamari yang tak jauh dari daratan namun tersuruk dari keramaian. Untuk kesekian kali, ia dipeluk suasana yang sama. Kesepian menari bersama kicau burung, dan rayuan daun kelapa. Hanya sebilah parang usang yang ia bawa dengan sebuah rencana yang menakjubkan.
Lambat laun pulau kecil ini akan menjadi bangunan megah sesuai kata Pak Silo, pikirnya sembari membayangkan kebaikan si lelaki asing.
***
Kehidupan Darsumin tiba-tiba berubah. Ia tak lagi sibuk bermain game online, keluyuran di laut, dan melakukan hal sia-sia di pos pemuda. Darsumin kini bekerja di sebuah gudang pengepul rempah-rempah dengan gaji lumayan. Gudangnya begitu mentereng dengan daya jelayah luas menjangkau kota-kota jauh.
Kepada dua temannya, Darsumin mulai jarang bergaul. Bahkan dalam hati kecilnya, mulai merasa jumawa lantaran punya pekerjaan, dan kenal dengan beberapa pengusaha yang tentu saja si lelaki asing sebagai pintu masuk yang dianggap sebagai guru tersebut.
“Aneh sikap kau belakangan, ya. Pantasan, ternyata sudah dapat kerja. Kau seperti tak peduli dengan kami yang pengangguran. Siapa sih yang membawamu?”
“Hehehe..” Darsumin hanya bagai tertawa cengengesan melalui pesan singkat dengan menyisipkan emoji tertawa.
Darsumin tentu saja tak peduli. Seperti pada malam itu, beberapa pesan masuk sengaja ia abaikan dan lebih memilih menyibukkan diri mencatat beberapa komoditi seperti cengkeh, lada, kemiri, kayu manis dan lain sebagainya. Sementara Sudi dan Maradi di pinggir pantai kian uring-uringan. Untuk kesekian kali, Darsumin mengabaikan pesan mereka yang sebetulnya tak lagi butuh dan melupakan segala kebaikan mereka berdua.
Darsumin kini benar-benar berada di atas angin. Di sebuah ruang ber-AC ia terlihat mempelajari tayangan foto, dan video pagar laut yang mulai dibangun oleh si lelaki asing yang berjasa mengubah hidupnya tersebut.
Hari demi hari berlalu. Minggu berganti minggu, hingga tahun berganti tahun. Kenaikan jenjang karir Darsumin begitu meroket tak terbendung. Pergaulannya pun luas, hingga sering makan bersama para lelaki yang punya kekayaan melimpah.
Satu per satu barang mahal berhasil direngkuh Darsumin. Mulai dari sepeda motor, pakaian bermerek, hingga parfum yang wanginya semerbak ala para pejabat. Darsumin tentu saja tak tinggal lagi di rumah sang kakak. Ia telah disediakan rumah serta naik jabatan sebagai manager yang mengelola penjualan rempah dalam skala besar. Bahkan popularitasnya pun semakin naik di media sosial. Darsumin tampil sebagai pria maskulin yang sering berfoto di tempat hiburan.
Seorang perempuan dari keluarga terpandang pun jatuh hati pada Darsumin. Gayung pun bersambut, Bermula dari perbincangan singkat di sebuah cafe, Darsumin akhirnya menikahi gadis tersebut hingga semakin meningkatlah harkat, martabat, dan kekayaannya.
Di kampungnya sendiri, popularitas Darsumin tak perlu diragukan lagi. Darsumin menjelma menjadi tokoh pemuda yang sering muncul di berbagai acara perhelatan.
Pada satu hari, warga pun gempar dan serta merta bagai kehilangan nyawa yang amat berharga. Tower Bukit Patah yang tumbuh tinggi menjulang tiba-tiba mengalami kerusakan. Alhasil, jaringan pun terganggu dan membuat komunikasi warga menjadi macet. Warga banyak uring-uringan dan mengeluh di sana-sini.
Keluhan warga tersebut tentu saja akhirnya didengar Darsumin. Sore itu, Darsumin turun dari sebuah mobil mewah dan disambut beberapa nelayan.
“Tenang, masa operasi tower ini sepertinya memang telah habis. Wajar saja rusak. Untuk sekarang kita semua harus sabar. Anggaran untuk perbaikan akan dirilis, dan kita semua akan menikmatinya lagi dalam beberapa minggu ke depan.”
Semua warga yang mendengar tentu saja langsung percaya. Dengan lokasi yang jauh dari keramaian dan kota, warga sebetulnya sangat membutuhkan tower tersebut agar bisa saling berkomunikasi.
“Baiklah, Pak Darsumin. Kami sabar menunggu. Kami percayakan pada Bapak untuk menyampaikan ini kepada pihak terkait.”
“Baik, baik. Semoga saja cepat diperbaiki ya Bapak Ibuk semua.” Susul Darsumin yang tak lama kemudian pamit meninggalkan kampung dengan mobil mewahnya.
Darsumin tentu saja lega lantaran warga yang ia bodohi percaya begitu saja dengan segala intriknya. Sebetulnya, selain keluhan warga tentang tower, warga juga mengeluhkan mulai menurunnya hasil tangkapan ikan lantaran ada pagar laut yang dibangun dari bambu.
“Kita sebetulnya dalam bahaya. Abrasi laut dan gelombang tinggi tak bisa dianggap main-main. Di daerah lain banyak kampung nelayan yang hancur. Mereka tidak saja kehilangan tangkapan ikan, tapi juga kehilangan rumah yang mereka bangun dari nol tersebut. Itulah tujuan pagar bambu yang dirancang dengan matang. Apa semua paham?”
***
Tetapi begitulah. Apa yang diharapkan warga sepertinya hanyalah harapan yang bertepuk sebelah tangan. Semakin hari, pagar laut semakin panjang serta jaringan di tower tak kunjung diperbaiki. Sementara di sisi lain, spanduk yang menyatakan Darsumin sebagai duta pagar laut kian menjamur di berbagai sudut kampung.
Melihat kenyataan demikian, membuat warga akhirnya gerah dan berencana mencari Darsumin untuk menanya siapa dalang pembangunan pagar laut, serta ingin mencari tahu tentang perkembangan perbaikan Tower Bukit Patah.
“Sepertinya Darsumin dikelilingi orang-orang kaya. Mari kita cari dia.” Tukas Sudi dan Maradi yang memang dendam sejak dulu.
Tapi bukan Darsumin namanya jika tak mengetahui gerak gerik warga tersebut. Secara mengejutkan, esoknya datanglah puluhan orang yang mendukung pembangunan pagar laut sepanjang 7 kilometer tersebut. Mereka memakai baju yang seragam, spanduk, dan segala atribut dukungan untuk Darsumin sebagai duta pagar laut.
Mereka membagi-bagikan makanan, pakaian, dan bantuan uang tunai yang tak sedikit untuk warga. Dan anehnya, Sudi dan Maradi yang berjualan ikan di pasar juga ikut larut dan berebut untuk mendapatkan bantuan dari Darsumin itu. “Mumpung gratis, mumpung gratis.”