Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Budisiwi Rina Ananda | Tidak Akan Kujual Sawah Bapakku !

Sudah ku bilang bapak dan emak ku tidak akan menjual sawah kami. Tidak akan...!!! Cari orang lain yang mau menjualnya...!!! Sekali lagi saya ingatkan, jangan kemari lagi. 

Luar biasa emosinya aku, pada dua orang petugas desa yang terus menerus "memaksaku"  menjual sawah milik keluargaku.  Sawah kami memang tidak luas. Hanya tiga hektar. Tergolong kecil, dibanding  milik uwak ku yang seluas dua puluh hektar. Tanah seluas itu oleh uwakku ditanami sawah serta untuk tambak ikan. Tapi anehnya, sawah kami yang terus menerus di rayu untuk dijual. Apa karena Uwakku tokoh dikampung, mereka jadi sungkan. Entahlah. Jujur aku penasaran. 

Bapak dan emakku puluhan tahun menjadi petani. Awalnya mereka penggarap. Menabung sedikit demi sedikit hingga  akhirnya bisa membeli sawah. Dari beberapa petak sampai meluas menjadi tiga hektar. Prihatin mereka luar biasa. Terutama emakku. Beliau ingin sekali kedua anaknya. Aku dan abangku bisa sekolah hingga sarjana. Sawah itulah yang membiayai abangku hingga mencapai gelar sarjana ekonomi. Kini dia bekerja di sebuah bank di Bandung. Sedangkan aku masih kuliah semester enam. Sedikit lagi aku lulus. 

Memang banyak bisik bisik  tetangga, sawah atau tambak mereka dijual secara paksa, karena banyak ditekan oleh preman bayaran entah dari perusahaan mana. Awalnya mereka diiming-imingi dengan harga tinggi. Pernah mereka ditawari hingga tiga ratus ribu per meternya. Mereka hanya diberi waktu berpikir beberapa hari. Setelah bertemu lagi harga makin melorot. Alasannya karena penjual terlalu lama berpikir. Kurang ajar sekali...!!! 

Ada lagi cerita tambak milik Mang Soleh teman bapakku, yang awalnya di hargai 150 ribu rupiah, terakhir hanya dipatok harga 50 ribu rupiah saja permeternya. Mereka beralasan tanah tambak mereka akan dilalui proyek milik pemerintah yang wajib mereka berikan untuk negara. Warga tidak boleh menolak, warga wajib ikuti semua perintah. Mereka buru buru diberi uang DP sekedarnya tapi hingga kini uang pembayaran tanah menguap tidak jelas arahnya. Bahkan Pak kades seperti lepas tangan.  Padahal tambak itu mata pencaharian mereka sehari hari. Kasian sekali nasibnya. Dari yang dulunya pemilik tambak, kini Mang Soleh kerja di tempat pelelangan ikan. Hingga anaknya putus kuliah. Banyak cerita seperti itu, bahkan ada yang mengatakan laut sebelah Utara kampungku sudah dipagari. Aku makin kuat menolak menjualnya. Lagipula tanpa sawah itu,  aku tidak bisa bayar uang kuliah. 

Hingga pagi ini aku dikejutkan dengan teriakan Didi, tetanggaku.

" Ariiiffff.... Riiiifff... Buruan kamu ke sawah. Ada preman preman yang sedang mengurug tanah sawah bapakmu Memangnya sudah dijual...???

'Apaaaaa....  Enggak...!! Malah kemarin aku marah dan mengusir petugas desa yang bolak-balik merayuku supaya menjual sawah bapakku. Makasih Di .. aku kesana sekarang.

"Rif... Menurut aku, kamu jangan kesana sendirian. Bisa mati konyol kamu...

Ajak si Bondol sama Jabrik. Preman sini masih segan sama mereka.

"Kemarin sawah engkongnya si Jabrik juga kena masalah. ...

"Trus ... Dijual paksa...??

"Yang ada tuh preman preman kocar kacir, disambut golok sama kawanan Jabrik. 

Jabrik punya teman pengacara, jadi dia kuat secara hukum.

"Waaah makasih banget ya Di. Untung ada kamu yang info kayak gini. Sekarang aku coba hubungi mereka deh. 

"Jadi begitu masalahnya kang Jabrik. Saya minta  ditemani ke sawah. Jujur saya khawatir kalo saya datang kesana sendirian. Tolong saya kang.  Aku sedikit memohon. Untung selama ini aku berkawan baik dengan adiknya kang Jabrik, si Agus. 

"Oke Rif. Tunggu aku sebentar. Setengah jam lagi aku dan Bondol sampai dirumahmu.

Tiga puluh menit rasanya seperti berjam jam lamanya. Terbayang sawah bapakku yang mulai menguning,  bulan depan akan panen. Bagaimana mungkin mereka memaksaku untuk dijual. Ada apa sih mereka sampai segitunya. Dadaku bergemuruh. 

Akhirnya mereka berdua datang. " Kang... Saya nanti harus bagaimana  Aku takut kang.  Hatiku ciut. Tapi aku dikuatkan oleh mereka berdua. 

" GERTAK LANGSUNG RIF..!!! Sawah itu masih sah milik bapakmu. Gak ada alasan mereka mengurug atas nama apapun. Bahkan negara sekalipun. 

Dalam perjalanan ke sawah, tangan dan kakiku gemetar.  Jujur, aku takut sekali.

Tapi untuk situasi sepenting ini aku harus tegar. Aku berteriak ke arah lima preman yang sedang mencangkul sawah bapakku.

"Heii..  Siapa yang mengijinkan kalian urug sawah bapakku.

"Gak usah berisik Rif. Sekarang sawah bapakmu udah milik negara.

"MANA BUKTINYA KALO SAWAH BAPAKNYA ARIF MILIK NEGARA....!!! MANAAAA.....!!!! Suara Kang Bondol menggelegar.

Kelima preman itu terkejut bukan main. Salah satunya lari tunggang-langgang. Mereka tidak menyangka aku bersama kang Bondol dan kang Jabrik.

"Eh, kang Bondol. Begini kang... Kami cuma disuruh pak kades. 

"DASAR KALIAN GOBLOK SEMUA..!!! MAU AJA JADI CECUNGUKNYA KADES....!!  DIBAYAR BERAPA KALIAN HAAAHHH....

Giliran kang Jabrik yang maju.

"Denger ya. Bapaknya Arif tidak pernah berniat menjualnya.. MENGERTI....!!! Bilang sama Kades Blegug itu ya. Atau cepat temui saya sekarang. Memangnya tanah cuma segini mau dibuat apa ...?? Pengen tau...

"Kata kades mau dibuat jalan tol ..!!!

Mata kang Jabrik melotot. Sambil menunjuk ke muka salah satu preman itu.

"TOLOOOOLLLLL... Kalian mikir dong. Sawah ini jalurnya kemanaaa...  

Kalo Desa Muncung wajar buat jalan tol. Karena ujungnya sawah warga itu mengarah ke jalan propinsi. Lha ini sawah bapaknya Arif dari ujung ke ujung itu bukit. Otak kalian tuh dipake dooong. Hadeuuuuh.

Tiba tiba dari arah kejauhan Kades  menuju kemari. Dia datang dengan beberapa aparat.  Hatiku kembali ciut. Kang Jabrik menguatkanku. " "Tenang Rif....

"Pagi Arif, Kang Bondol, Kang Jabrik. 

"Pagi Pak kades. Aku juga balas dengan jawaban setenang mungkin. 

Tapi kang Bondol sudah sangat tidak sabar.

"Kata mereka kamu yang suruh ngurug sawah bapaknya Arif..??

"Begini kang Bondol. Sebaiknya kita sambil ngobrol di warung Bu Atun biar enak kita bahas ini..  Bukan begitu Rif.. Sebelum aku jawab, kang Jabrik lebih dahulu berteriak.

"Halaaah, gak perlu. Kita ngomong aja disini. Sapa yg suruh ngurug. CUKOONG...?

' Kang Jabrik, jangan sembarangan menilai saya seperti itu. 

"Kalo Arif ini marah .. wajar gak... Haah...?? Seenaknya aja ngurug tanah orang. 

Aku memberanikan diri bertanya ke kades.

"Pak Kades, apa sih hebatnya sawah bapak saya ini sampai kalian bolak balik merayu untuk menjualnya. Ini beneran proyek negara atau proyek Aseng...???

Muka si kades  itu memerah.

"Arif... Hati hati kamu bicara ya ...!!! Anak kemarin sore aja berani melawan ...

"Heeyyy... Kadessss!!! Urusan Arif...  Sekarang jadi urusan saya. Kang Bondol bergantian mendukungku. 

"Maaf Pak Kades, Bapak saya menolak kalian mengurug sawah ini.

"Itu artinya kalian melawan negara...!! Suara Kades bergetar karena marah.

"Gampang amat Kades ngomong kita melawan negara. Hati hati kalo ngomong. 

"Karena sawah ini merupakan proyek negara yang harus segera diratakan. Suara Kades makin meninggi saking marahnya.

"Mana buktinya....!!!!  Kang Jabrik gak kalah menekan. Kades itu celingukan. 

"MANAAAAAA.....!!! Mana suratnya kalo sawah ini proyek negara...

"Suruh orang mu bawa sekarang juga surat itu. Saya tunggu. Cepaattt....!!!

"ADA GAAAKKK...?? Kalo gak ada, pergi dari sini. Saya muak liat kalian....!!

Kades dan "rombongan" pergi dengan wajah gusar.

"Kang, jujur saya tadi takut waktu kang Jabrik minta surat pengurugan tanah. Kalo misalnya dia kasih, kan habis sawah bapakku. " Karena aku tahu surat itu gak ada Rif.... Semua tanah yang sudah dijual tanpa surat. Setelah dijual, mereka buru buru membuat sertifikat kepemilikan atas nama si cukong itu. 

"Serius kang...??? Ya Allah...

Aku jadi teringat wajah mang Soleh...