Sudah ku bilang bapak dan emak ku tidak akan menjual sawah kami. Tidak akan...!!! Cari orang lain yang mau menjualnya...!!! Sekali lagi saya ingatkan, jangan kemari lagi.
Luar biasa emosinya aku, pada dua orang petugas desa yang terus menerus
"memaksaku" menjual sawah milik keluargaku. Sawah kami
memang tidak luas. Hanya tiga hektar. Tergolong kecil, dibanding milik
uwak ku yang seluas dua puluh hektar. Tanah seluas itu oleh uwakku ditanami
sawah serta untuk tambak ikan. Tapi anehnya, sawah kami yang terus menerus di
rayu untuk dijual. Apa karena Uwakku tokoh dikampung, mereka jadi sungkan.
Entahlah. Jujur aku penasaran.
Bapak dan emakku puluhan tahun menjadi petani. Awalnya mereka penggarap.
Menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya bisa membeli sawah. Dari
beberapa petak sampai meluas menjadi tiga hektar. Prihatin mereka luar biasa.
Terutama emakku. Beliau ingin sekali kedua anaknya. Aku dan abangku bisa
sekolah hingga sarjana. Sawah itulah yang membiayai abangku hingga mencapai
gelar sarjana ekonomi. Kini dia bekerja di sebuah bank di Bandung. Sedangkan
aku masih kuliah semester enam. Sedikit lagi aku lulus.
Memang banyak bisik bisik tetangga, sawah atau tambak mereka dijual
secara paksa, karena banyak ditekan oleh preman bayaran entah dari perusahaan
mana. Awalnya mereka diiming-imingi dengan harga tinggi. Pernah mereka ditawari
hingga tiga ratus ribu per meternya. Mereka hanya diberi waktu berpikir
beberapa hari. Setelah bertemu lagi harga makin melorot. Alasannya karena
penjual terlalu lama berpikir. Kurang ajar sekali...!!!
Ada lagi cerita tambak milik Mang Soleh teman bapakku, yang awalnya di
hargai 150 ribu rupiah, terakhir hanya dipatok harga 50 ribu rupiah saja
permeternya. Mereka beralasan tanah tambak mereka akan dilalui proyek milik
pemerintah yang wajib mereka berikan untuk negara. Warga tidak boleh menolak,
warga wajib ikuti semua perintah. Mereka buru buru diberi uang DP sekedarnya
tapi hingga kini uang pembayaran tanah menguap tidak jelas arahnya. Bahkan Pak
kades seperti lepas tangan. Padahal tambak itu mata pencaharian mereka
sehari hari. Kasian sekali nasibnya. Dari yang dulunya pemilik tambak, kini
Mang Soleh kerja di tempat pelelangan ikan. Hingga anaknya putus kuliah. Banyak
cerita seperti itu, bahkan ada yang mengatakan laut sebelah Utara kampungku
sudah dipagari. Aku makin kuat menolak menjualnya. Lagipula tanpa sawah
itu, aku tidak bisa bayar uang kuliah.
Hingga pagi ini aku dikejutkan dengan teriakan Didi, tetanggaku.
" Ariiiffff.... Riiiifff... Buruan kamu ke sawah. Ada preman preman
yang sedang mengurug tanah sawah bapakmu Memangnya sudah dijual...???
'Apaaaaa.... Enggak...!! Malah kemarin aku marah dan mengusir petugas
desa yang bolak-balik merayuku supaya menjual sawah bapakku. Makasih Di .. aku
kesana sekarang.
"Rif... Menurut aku, kamu jangan kesana sendirian. Bisa mati konyol
kamu...
Ajak si Bondol sama Jabrik. Preman sini masih segan sama mereka.
"Kemarin sawah engkongnya si Jabrik juga kena masalah. ...
"Trus ... Dijual paksa...??
"Yang ada tuh preman preman kocar kacir, disambut golok sama kawanan
Jabrik.
Jabrik punya teman
pengacara, jadi dia kuat secara hukum.
"Waaah makasih banget ya Di. Untung ada kamu yang info kayak gini.
Sekarang aku coba hubungi mereka deh.
"Jadi begitu masalahnya kang Jabrik. Saya minta ditemani ke
sawah. Jujur saya khawatir kalo saya datang kesana sendirian. Tolong saya
kang. Aku sedikit memohon. Untung selama ini aku berkawan baik dengan
adiknya kang Jabrik, si Agus.
"Oke Rif. Tunggu aku sebentar. Setengah jam lagi aku dan Bondol sampai
dirumahmu.
Tiga puluh menit rasanya
seperti berjam jam lamanya. Terbayang sawah bapakku yang mulai menguning,
bulan depan akan panen. Bagaimana mungkin mereka memaksaku untuk dijual. Ada
apa sih mereka sampai segitunya. Dadaku bergemuruh.
Akhirnya mereka berdua datang. " Kang... Saya nanti harus
bagaimana Aku takut kang. Hatiku ciut. Tapi aku dikuatkan oleh
mereka berdua.
" GERTAK LANGSUNG
RIF..!!! Sawah itu masih sah milik bapakmu. Gak ada alasan mereka mengurug atas
nama apapun. Bahkan negara sekalipun.
Dalam perjalanan ke sawah, tangan dan kakiku gemetar. Jujur, aku
takut sekali.
Tapi untuk situasi
sepenting ini aku harus tegar. Aku berteriak ke arah lima preman yang sedang
mencangkul sawah bapakku.
"Heii.. Siapa yang mengijinkan kalian urug sawah bapakku.
"Gak usah berisik Rif. Sekarang sawah bapakmu udah milik negara.
"MANA BUKTINYA KALO SAWAH BAPAKNYA ARIF MILIK NEGARA....!!!
MANAAAA.....!!!! Suara Kang Bondol menggelegar.
Kelima preman itu terkejut bukan main. Salah satunya lari
tunggang-langgang. Mereka tidak menyangka aku bersama kang Bondol dan kang
Jabrik.
"Eh, kang Bondol. Begini kang... Kami cuma disuruh pak kades.
"DASAR KALIAN GOBLOK SEMUA..!!! MAU AJA JADI CECUNGUKNYA
KADES....!! DIBAYAR BERAPA KALIAN HAAAHHH....
Giliran kang Jabrik yang
maju.
"Denger ya. Bapaknya Arif tidak pernah berniat menjualnya.. MENGERTI....!!!
Bilang sama Kades Blegug itu ya. Atau cepat temui saya sekarang. Memangnya
tanah cuma segini mau dibuat apa ...?? Pengen tau...
"Kata kades mau dibuat jalan tol ..!!!
Mata kang Jabrik
melotot. Sambil menunjuk ke muka salah satu preman itu.
"TOLOOOOLLLLL... Kalian mikir dong. Sawah ini jalurnya
kemanaaa...
Kalo Desa Muncung wajar
buat jalan tol. Karena ujungnya sawah warga itu mengarah ke jalan propinsi. Lha
ini sawah bapaknya Arif dari ujung ke ujung itu bukit. Otak kalian tuh dipake
dooong. Hadeuuuuh.
Tiba tiba dari arah kejauhan Kades menuju kemari. Dia datang dengan
beberapa aparat. Hatiku kembali ciut. Kang Jabrik menguatkanku. "
"Tenang Rif....
"Pagi Arif, Kang Bondol, Kang Jabrik.
"Pagi Pak kades. Aku juga balas dengan jawaban setenang mungkin.
Tapi kang Bondol sudah
sangat tidak sabar.
"Kata mereka kamu yang suruh ngurug sawah bapaknya Arif..??
"Begini kang Bondol. Sebaiknya kita sambil ngobrol di warung Bu Atun
biar enak kita bahas ini.. Bukan begitu Rif.. Sebelum aku jawab, kang Jabrik
lebih dahulu berteriak.
"Halaaah, gak perlu. Kita ngomong aja disini. Sapa yg suruh ngurug.
CUKOONG...?
' Kang Jabrik, jangan
sembarangan menilai saya seperti itu.
"Kalo Arif ini marah .. wajar gak... Haah...?? Seenaknya aja ngurug
tanah orang.
Aku memberanikan diri
bertanya ke kades.
"Pak Kades, apa sih hebatnya sawah bapak saya ini sampai kalian bolak
balik merayu untuk menjualnya. Ini beneran proyek negara atau proyek
Aseng...???
Muka si kades itu
memerah.
"Arif... Hati hati kamu bicara ya ...!!! Anak kemarin sore aja berani
melawan ...
"Heeyyy... Kadessss!!! Urusan Arif... Sekarang jadi urusan saya.
Kang Bondol bergantian mendukungku.
"Maaf Pak Kades, Bapak saya menolak kalian mengurug sawah ini.
"Itu artinya kalian melawan negara...!! Suara Kades bergetar karena
marah.
"Gampang amat Kades ngomong kita melawan negara. Hati hati kalo
ngomong.
"Karena sawah ini merupakan proyek negara yang harus segera diratakan.
Suara Kades makin meninggi saking marahnya.
"Mana buktinya....!!!! Kang Jabrik gak kalah menekan. Kades itu
celingukan.
"MANAAAAAA.....!!! Mana suratnya kalo sawah ini proyek negara...
"Suruh orang mu bawa sekarang juga surat itu. Saya tunggu.
Cepaattt....!!!
"ADA GAAAKKK...?? Kalo gak ada, pergi dari sini. Saya muak liat
kalian....!!
Kades dan "rombongan" pergi dengan wajah gusar.
"Kang, jujur saya tadi takut waktu kang Jabrik minta surat pengurugan
tanah. Kalo misalnya dia kasih, kan habis sawah bapakku. " Karena aku tahu
surat itu gak ada Rif.... Semua tanah yang sudah dijual tanpa surat. Setelah
dijual, mereka buru buru membuat sertifikat kepemilikan atas nama si cukong
itu.
"Serius kang...??? Ya Allah...
Aku jadi teringat wajah
mang Soleh...