Cerpen Azzam Rahmat Haqiqi
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku menatap dengan prihatin wajah Ayahku yang terlihat sendu di bawah terpaan sinar lampu, akhir-akhir ini beliau cukup sering membuat wajah seperti itu—sejalan dengan terjadinya kasus pagar laut yang sedang menimpa daerah tempat tinggal kami, beliau merupakan seorang nelayan, jadi wajar saja kalau menerima dampak negatif dari fenomena tersebut, dan malam ini, beliau memutuskan untuk tidak melaut karena merasa ragu apakah tangkapan yang didapat cukup untuk menutupi biaya operasional, jalaran sekarang masih berada di awal bulan kalender lunar, jadi arus pasang sedang berada di titik terendahnya.
Sudah berkali aku mencoba membantu Ayah melewati keadaan sulit ini dengan cara menawarkan diri untuk membantunya, namun seberapa keraspun aku berusaha meyakinkannya, beliau selalu menolak dengan sapuan tangan miliknya, dan beberapa patah kata sederhana.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar, lalu segera merebahkan tubuhku di kasur dengan selimut yang menemani¬¬¬¬¬¬—memberikan kehangatan di malam yang dingin ini. Ada satu kewajiban yang harus kupenuhi besok pagi, kewajiban yang selalu dijadikan alasan oleh Ayah untuk menolak itikad baik milikku selama ini.
*****
Mentari pagi menyapa dengan senyuman hangat miliknya, aku mendapati diriku sedang melamun di dalam kelas, seorang guru terlihat sedang memberikan penjelasan mata pelajaran bahasa di depan—salah satu mata pelajaran kesukaanku, namun entah mengapa, aku sama sekali tidak dapat memusatkan fokusku ke materi yang sedang dibahas, ketika aku mencoba melakukannya selalu tidak bertahan dengan lama, mungkin itu semua dikarenakan berbgai macam kemungkinan buruk yang berunculan di benakku selaku dengan kondisi yang sedang dilewati oleh Ayah saat ini.
Dua jam pelajaran telah berlalu, bunyi bel yang selalu dirindukan oleh seluruh siswa terdengar, waktu istirahat telah tiba, suara bising para siswa segera menggantikan seruan tenaga pengajar yang serak karena telah membagikan ilmunya secara penuh. Walau perubahan suasana terasa cukup drastis, namun hal tersebut belum cukup untuk menggemingkan diriku dari tempat duduk.
“Rezza, apa kau tidak ingin pergi istirahat?” Sepatah pertanyaan terdengar ditujukan untukku, ketika aku mencari sang pemberi pertanyaan, ternyata itu berasal dari guru bahasaku, Pak Chandra.
“Nggak, Pak.” Jawabku dengan sedikit canggung karena hanya tersisa kami berdua di dalam kelas.
“Kamu kenapa terlihat murung dari tadi, Rezza? Padahal biasanya kamu selalu semangat saat pelajaran Bapak, tapi hari ini tidak.” Pak Chandra kembali melemparkan sebuah pertanyaan kepadaku.
“Eh, memangnya dari tadi saya memasang wajah murung, Pak?” aku merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan yang diberikan oleh Pak Chandra, hingga tidak sadar membiarkan pertanyaan yang ada di benakku tergelincir melewati mulut, namun aku segera menutupinya dengan bergegas menjawab pertanyaan milik Pak Chandra, “Cuma lagi bad mood Pak, hehe.”
“Hah….” Pak Chandra menghela napas dengan perlahan, entah mengapa aku merasa terdapat sedikit nada kekecewaan di dalamnya, “Bagaimana pekerjaan Ayahmu?”
Seketika itu juga, aku kembali dikejutkan dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Chandra, tapi selang beberapa saat aku baru teringat tentang kemampuan berpikir kritis yang dimiliki olehnya, jadi rasa shock yang kuterima segera mereda dengan cepat, tapi walau begitu aku tetap mencoba untuk menutupi kondisi yang sedang menimpa Ayahku, “Memangnya ada apa tiba-tiba Bapak menanyakan hal tersebut?”
“Jangan pura-pura bodoh, dari awal Bapak sudah tahu kalau Ayahmu berprofesi sebagai seorang nelayan, dan kasus pagar laut yang sedang terjadi akhir-akhir ini pasti memberikan dampak negatif kepadanya, hal itu juga yang membuatmu murung bukan?” Pak Chandra memberikan rangkaian argumen kepadaku, seakan berusaha memaksaku untuk menjawab pertanyaannya yang lalu.
“Semua baik-baik saja kok Pak, tidak ada hal yang perlu Bapak khawatirkan,” Jawabku dengan cepat, mencoba mengurangi intesitas rasa penasaran milik Pak Chandra, setelah selang beberapa saat, aku lanjut memberikan penjelasan kepadanya, “Mungkin Bapak yang berposisi sebagai orang awam di bidang kelautan, berpikir bahwa kasus pagar laut ini dapat memberikan dampak negatif yang begitu dahsyat kepada para nelayan—hingga memaksa mereka berpindah profesi untuk memastikan nafkah keluarganya terpenuhi, namun sebenarnya ini tidak seperti yang Bapak pikirkan, nyatanya kasus ini hanya memberikan kerugian berupa dana tambahan yang diperlukan untuk biaya operasional, tidak lebih dan kurang.”
“Aku tahu semua itu Rezza, tapi aku cukup yakin keluargamu tetap memerlukan pemasukan tambahan untuk menutupi biaya operasional yang berlebih.” Pak Chandra memberikan pernyataan yang membuat rasa penasaranku terpancing.
“Aku tidak dapat mengelak dari fakta tersebut, tapi memangnya Bapak memiliki solusi untuk masalah tersebut?” Aku bergegas bertanya setelah mendengar pernyataan Pak Chandra.
“Tentu saja, itulah mengapa Bapak mencoba berempati kepadamu.” Jawab Pak Chandra dengan mantap dan percaya diri, dari nada bicaranya yang lantang nan jelas seakan ingin menunjukkan bahwa solusi yang ia simpan dapat menyelesaikan masalah yang sedang menimpa keluargaku dengan mudah, dan aku sebagai pendengar hanya memiliki satu pilihan; meyakini solusi yang akan diberikan oleh beliau.
*****
Dua hari berlalu pasca pembicaraanku dengan Pak Chandra, Minggu pagi yang cerah datang membuai rasa malas orang-orang di akhir pekan yang panjang—namun tidak untukku, karena saat ini, aku harus fokus membantu Ayah dan Pak Chandra menjalankan ide untuk menambah pemasukan, sehingga kita dapat menutupi biaya operasional Ayah saat melaut.
Sudah sedari tadi Pak Chandra berada di rumahku, memberikan instruksi kepada Ayah untuk membangun tangkul di dekat muara sungai agar dapat memanfaatkannya, terlebih lagi, pastinya beliau sudah menguasai cara pengoperasian tangkul, dikarenakan masih berada di ruang lingkup bidang keahlian yang beliau tekuni.
Dan secara “kebetulan” Pak Chandra saat ini sedang berniat menjual tangkul yang ia dapatkan dari warisan Ayahnya, “Hmm…. Ternyata ada udang di balik batu, memang benar, manusia tidak akan berbuat baik tanpa ada maunya.”
“memang, berapa total harga yang Bapak tawarkan untuk sertifikat tanah dan bangunan tangkul itu?” Ayah menanyakan lebih lanjut kepada Pak Chandra.
“Sertifikat tanah? Sepertinya ada sedikit kesalapahaman di sini, saya akan mencoba meluruskannya dulu sebelum kita membahas lebih lanjut soal pembayaran,” Ujar Pak Chandra dengan singkat, lalu sejenak menegak secangkir kopi yang berada di depannya, “Perlu Bapak ketahui, sebenarnya pembangunan tangkul itu tidak sekaku dan serumit yang Bapak bayangkan, nyatanya tanah dimana Ayah saya membangun tangkul itu sebenarnya berada di perairan irigasi milik pemerintah setempat, dan beliau tidak mengeluarkan sepeserpun untuk mendapatkan tanah tersebut, karena pemerintah setempat memang sengaja mengizinkan beliau membangun tangkul tersebut secara gratis di atas tanah irigasi, asalkan beliau berjanji tidak akan mengotori daerah sekitar tempat tangkul didirikan, terlebih lagi pemerintah pun tahu kalau pendirian tangkul itu dapat memperlancar perputaran roda ekonomi masyarakat setempat.”
Ayah terdiam membisu, tampak sedang mencoba mencerna penjelasan yang diberikan oleh Pak Chandra, setelah beberapa saat beliau akhirnya mulai angkat bicara, “Jadi, pada dasarnya saya hanya perlu mengganti biaya pembangunan tangkul tersebut?”
“Yap! Tepat sekali! Dan asal Bapak tahu biaya pembangunan tangkul tersebut sebenarnya sekitar tiga juta rupiah, namun karena Bapak adalah wali dari salah satu murid saya yang paling penurut, saya berikan Bapak kortingan menjadi dua setengah juta, bagaimana?” Pak Chandra menunjukkan kecakapannya dalam merayu lawan bicara segera setelah menemukan kesempatan yang muncul dalam pembicaraan.
Setelah beberapa saat terdiam membisu menghitung keadaan, Ayah akhirnya berhasil mencapai ke keputusan final, “Ya, saya akan membelinya dengan penuh hati.”
Setelah kesepakatan telah tercapai, Pak Chandra dengan senang hati mengantarkan kami berdua ke tangkul miliknya, aku dan Ayah segera mencoba mengoperasikan tangkul tersebut pada sore itu juga, dan hasil yang kami tangakap saat itu cukup mengejutkan, karena nominal yang kami dapatkan jauh melebihi ekspetasi yang kami buat.
Aku tidak tahu apakah hasil tangkapan dari tangkul ini dapat terus bertahan dengan konstan, tapi aku akan memilih percaya dengan apa yang telah Ayah pertaruhkan, karena setidaknya tangkul ini akan dapat menambal biaya operasional yang belebih dengan aku sebagai operatornya—walau hanya untuk waktu pengoperasian yang singkat, karena aku tidak boleh meninggalkan kewajiban untuk tetap pergi belajar ke sekolah.
Aku pun juga tidak tahu apakah tangkul ini dapat menjamin keberlangsungan hidup keluarga kami pada masa mendatang, namun satu hal yang pasti adalah; tangkul ini dapat membantu keluarga kami bertahan dari kasus pagar laut yang sedang terjadi, setidaknya hingga pihak berwajib selesai mengerjakan tugasnya.