Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Churil Mawasova Nurul Chasan | Segara, Rumah Tak Berpagar

Cerpen Churil Mawasova Nurul Chasan 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Segara, pemuda kecil itu masih disana. Memandang penuh harap pada warga-warga yang tengah membongkar sesuatu yang banyak orang sebut sebagai 'pagar laut'. Semenjak ribuan bambu tinggi itu menancap sepanjang pesisir kota Tangerang, banyak nelayan terpaksa memacu perahunya lebih jauh guna mendapatkan akses menuju lautan lepas.


Hingga detik ini, tak lagi dapat terhitung banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh rangkaian bambu tersebut. Uang, waktu, tenaga, bahkan 'nyawa' seseorang melayang seolah tidak ada harganya. Buah keserakahan manusia yang tiada pernah terpuaskan. Entah siapa yang memulai dan berapa banyak lagi hal yang harus dikorbankan. Segara hanya menginginkan satu hal. Kepulangan sang Ayah.


Beribu doa dan harapan senantiasa ia panjatkan sejak keberangkatan Ayahnya untuk melaut tepat satu bulan yang lalu. Bayu, sosok Ayah yang menjadi tempat Segara bersandar. Tempat Segara berkeluh kesah dan mengadu atas pandangan berbeda yang kerap ia dapatkan. Tempat dimana Segara bisa memperoleh limpahan cinta kasih dari satu-satunya keluarga yang ia miliki. Satu-satunya orang yang mengharapkan kehadiran dirinya di dunia ini.


Masih segar diingatannya saat mengantar kepergian sang Ayah. Juga kecupan hangat yang selalu ayahnya berikan sebelum pergi. "Jadi anak baik ya, Gar. Jangan ilang-ilangan lagi dan bikin repot Pak Burhan. Ngerti?", petuah Bayu. "Iya Ayahku sayang. Lagian Gara kan cuma nonton orang-orang main bola di lapangan kok nggak yang pergi kemana-mana". Bayu hanya bisa menggelengkan kepala mendengar alasan sang anak. Namun jika diperhatikan lebih seksama terdapat gurat kesedihan di wajah yang mulai menua itu.


"Ayah janji bakal cari uang yang banyak biar bisa nyembuhin kaki Gara. Jadi tolong bersabar dulu ya, Nak" ucap Bayu yang hanya dibalas senyuman manis oleh Segara. Sebelum kemudian kaki dengan dua kruk itu mendekat ke arah dermaga. "Laut! Tolong jagain Ayah Gara ya! Kasih ikan yang banyak juga hehe!", teriak anak itu dengan suara yang perlahan memberat. Mengundang tawa orang-orang sekitar yang ikut mendengarnya. Sungguh pemandangan yang teramat elok sebelum kemudian badai meluluh lantakkan segalanya. Janji itu pada akhirnya hanya menjadi harap yang tak akan pernah terpenuhi.


Satu hari, dua hari, tiga hari bahkan sudah satu minggu terlewat dari jadwal seharusnya perahu Bayu merapat kembali ke dermaga. Memunculkan cemas dan khawatir di benak banyak orang. Terutama bagi Segara yang tidak pernah absen barang sehari menanti kepulangan sang Ayah.


Pak Burhan selaku kepala desa pada akhirnya melaporkan kejadian hilangnya Bayu tersebut kepada tim SAR. "Ayahmu pasti kembali, Gar. Hari sudah semakin sore, sebaiknya kita pulang", ajak Pak Burhan sembari menuntun anak malang itu. Membuat Segara terpaksa pulang ke rumah untuk kemudian kembali lagi esok hari. Siklus kegiatan yang sama setiap harinya. Segara tidak mau waktu Ayahnya kembali dan ia tidak menemukan keberadaan Segara di dermaga. Ia bertekad menyambut kepulangan sang Ayah meski peluang kembalinya Bayu hidup-hidup hampir tidak ada.


"Gar!", panggil Pak Burhan pada pemuda yang dua hari lalu genap berusia 12 tahun tersebut. Sang pemilik nama hanya menoleh singkat membiarkan salah satu kruk penyangga kakinya sedikit menyerong sebelum kembali ke posisi semula. Pria paruh baya dengan uban hampir menutupi seluruh kepalanya tersebut hanya bisa menghela nafas untuk kesekian kalinya. Total sudah 5 kali ia mengajak Segara pulang hari ini. "Akan ada badai setelah ini, kita bakal bongkar pagar lagi saat cuacanya mendukung. Lebih baik kamu pulang dan istirahat". Lagi, hanya anggukan kecil yang anak itu berikan padanya.


Tepat satu minggu yang lalu sejak pencarian Bayu dihentikan oleh tim SAR, Segara hampir tidak pernah lagi bersuara. Bahkan air mata yang pada awalnya tidak pernah berhenti mengalir usai mendengar kabar bahwa perahu Bayu belum juga merapat pada waktunya. Kini justru tidak pernah lagi keluar dari dua mata berbeda warna itu. Sama halnya juga dengan binar mata yang selalu anak itu tampakkan setiap harinya turut berganti dengan tatapan kosong sarat keputusasaan. Membuat siapa saja prihatin atas nasib malang yang menimpanya.


Banyak nelayan mulai mengurangi aktivitas melaut sejak 'pagar laut' itu berdiri guna menghemat penggunaan bahan bakar yang kian hari kian berlipat ganda karena perahu yang harus memutar jalan. Mengingat hal tersebut, orang-orang pada akhirnya berspekulasi bahwa Bayu mungkin saja kehabisan bahan bakar di tengah laut tanpa siapapun yang dapat ia mintai bantuan. Ada juga yang berpendapat jika perahu yang dibawanya dihantam badai besar. Bahkan ada yang beranggapan kalau Bayu bertemu dengan kawanan perompak atau bajak laut apapun itu. Tidak ada yang benar-benar tahu alasan pasti mengapa perahu ayah Segara itu tidak kunjung berlabuh.


Apakah Segara tahu musibah tersebut akan menimpa Ayahnya? Tentu saja tidak. Tapi mengapa telinganya kerap mendengar bahwa apa yang terjadi pada sang Ayah adalah karena dirinya. Dirinya yang merepotkan, dirinya yang menyusahkan, dan dirinya yang tidak seharusnya ada di dunia ini hingga berakhir membawa petaka pada orang-orang di sekitarnya. Segara masih terlalu kecil untuk bisa menanggung ujaran kebencian tak berdasar itu. Bahkan disaat dirinya tengah berkabung, cibiran-cibiran pedas baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan tidak pernah berhenti ia dapatkan.


Segara juga tidak ingin kehilangan Ayahnya. Tapi mengapa seolah-olah hanya dirinya penyebab sang Ayah pergi dan tidak pernah lagi kembali. Mengapa tidak ada yang menyalahkan pagar-pagar bambu yang memaksa perahu sang Ayah memutar jauh menuju lautan. Pagar-pagar yang menghilangkan tempat tinggal bagi ikan-ikan yang semestinya menjadi hasil tangkapan Ayahnya. Jika tidak ada pagar itu, bukankah Ayahnya tidak harus pergi jauh seperti sekarang? Jadi seharusnya pagar-pagar itu juga disalahkan? Mengapa hanya dirinya? Atau karena mereka diciptakan dengan sempurna? Atau oleh orang-orang yang sempurna? Tidak seperti dirinya yang mereka sebut cacat.


Andai saja Segara bisa mengulang waktu, ia pasti akan menahan Bayu untuk pergi melaut. Andai saja dirinya bisa menghentikan keinginan Bayu untuk menyembuhkan tumor kakinya dan pasrah akan kondisinya. Andai ia tidak kelepasan meminta kruk baru sebagai hadiah ulang tahunnya. Andai saat itu ia tidak membiarkan sang Ayah pergi demi mewujudkan mimpi-mimpi naifnya. Andai, andai, dan andai. Hanya angan yang mustahil untuk digapai.


Samar-samar dari arah ujung dermaga tampak siluet lelaki yang melambaikan tangan kepadanya. Sosok tersebut seakan memanggil Segara untuk segera datang. Bergabung pada keabadian yang tak pernah orang bayangkan. "A.. aa.. Ayah? Gara mau ikut Ayah!", teriak pemuda kecil itu setelah sekian lama dirinya menutup mulut. Mengundang teriakan histeris dari orang-orang yang menyaksikan saat dimana tubuh kecil itu hilang ditelan badai.


Entah keserakahan siapa yang memaksa pemuda itu menyerah. Pada akhirnya hanya sang Ayah yang menjadi rumah Segara berpulang. Satu-satunya rumah yang senantiasa terbuka. Menyambut setiap harap dan asa yang berujung sirna.