Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Cindi Amanda Nufus | Dijual, Keadilan

Cerpen Cindi Amanda Nufus 



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Angin sore menyapa kulitku dengan sejuk, membawa aroma garam yang khas dari lautan yang luas. Di kejauhan, perahu perahu nelayan berlayar perlahan, melewati ombak-ombak yang menari indah di atas permukaan laut. Aku berdiri di tepian laut memandang para nelayan yang sedang sibuk dengan rutinitas mereka. Mereka adalah sosok-sosok yang tak pernah lelah berjuang, menarik jala penuh keharapan dari kedalaman laut yang tak bisa dipahami. Hidup di pesisiran pantai membuat warga sekitar kebanyakan menjadi seorang nelayan, termasuk bapakku. Setelah beberapa menit aku hanya diam memandangi laut yang sering kupandangi setiap harinya tak sedikit pun aku merasa bosan mengangumi ciptaan Tuhan yang satu ini. Aku memutuskan untuk menyudahi kegiatanku ini, lalu melangkahkan kakiku mulai beranjak meninggalkan hamparan laut yang terbentang luas di hadapannya, namun baru beberapa aku melangkah terdengar suara yang menyeru kepadaku. 


“Bayuuu!” panggil seseorang membuatku berhenti dan menoleh melihat Adam, Jairo, dan Alam, ketiga temanku yang sedang melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum, lalu melangkahkan kakiku menghampiri ketiga temanku. 


“Ayo tangkap ikan” seru Adam saat baru saja aku sampai di hadapan mereka. 


“Kita banyak umpan Bay,” sahut Alam sambil menunjukkan sebuah kaleng bekas yang sudah di potong setengah hingga hanya terlihat bawah kalengnya saja. Au meraih kaleng bekas itu dari tangan alam, lalu melihatnya. Benar saja di sana sudah banyak cacing yang menggeliat-geliat seolah protes kenapa ia diangkat dari tanah yang hangat dan nyaman. 


“Banyak banget, di mana kalian dapet ini?” tanya Bayu penasaran. 


“Di sekitaran rumah Jairo,” jawab Adam.  


Aku mengangguk dan tersenyum. Aku berharap aku bisa mendapatkan ikan banyak hari ini. Aku ingin membantu Bapak. Akhir-akhir ini Bapak sering kali mengeluh sangat susah mengangkap ikan di laut. Katanya ada suatu masalah dengan perjalanan menuju pencarian ikannya. 


“Udah mau azan Asar, gimana kalo kita salat dulu,” ucap Jairo membuat kami semua mengangguk setuju.


“Setelah salat saja mencari ikannya,” ucapku juga, kemudian kami berempat beriringan menuju masjid bersama. 

 

***


“Assalamualaikum,” ucapku setelah masuk ke dalam rumah dengan lesu. Bayanganku yang akan mendapatkan ikan banyak hari ini lenyap begitu saja saat Alam tadi tak bisa menjaga keseimbangan badannya yang ingin berjalan ke tepian perahu ia malah terjatuh dan kaleng yang berisi umpan di tangannya terlempar ke dalam laut. 


“Ibuu,” panggilku saat menyadari tak melihat sosok ibuku yang biasanya duduk di ruang televisi atau teras kini tidak ada.  


“Ibuuu,” panggilku lagi namun dengan suara lebih keras dari sebelumnya. 


Hening, tak ada sahutan. 


Aku tersenyum saat melihat ibuku yang baru saja masuk ke dalam rumah bersama seseorang. Tunggu dulu, itu seperti Bapak, aku mengerjapkan kedua mataku, apakah aku tidak salah melihat ibunya benar-benar bersama Bapak. Ini masih terlalu sore untuk Bapak pulang ke rumah. Bukan aku tidak senang jika Bapak pulang sore, aku malah sering merengek meminta Bapak pulang sore agar bisa bermain denganku. Namun, sekarang rasanya agak aneh. 


“Bayu sudah pulang?” suara lembut ibuku membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum lalu menjawab “sudah Bu.” 


Tatapanku beralih menatap Bapak yang ternyata juga sudah menatapku dengan tersenyum.


“Tumben Bapak sudah pulang. Sudah tidak ada kendala di laut lagi Pak?” tanyaku sambil mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. 


“Bapak mendapatkan pekerjaan baru,” ucap Bapak membuat kedua mataku hampir keluar saking terkejutnya.  


“Bapak berhenti menjadi nelayan?” tanyaku heran.  Bapak terkekeh mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku. 


“Ayo, makan. Ibu sudah masak,” sela ibuku membuat aku menaikkan kedua sudut bibirku lalu berlari ke arah meja makan duluan sehingga melupakan pertanyaan yang sempat aku lontarkan kepada bapak. Masakan ibu memang nomor satu. Aku selalu menyukainya melibihi apa pun. 


“Bapak beneran berhenti menjadi nelayan?” tanyaku lagi di sela-sela makan malam kami bersama. Bapak tak langsung menjawab. Ia masih mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya. 


“Nggak, hanya saja Bapak mengambil pekerjaaan tambahan. Nelayan hanya jadi pekerjaaan sampingan,” ujar Bapak. 


Aku mengangguk. Namun, setelahnya wajahku berubah menjadi sendu, pasti bapaknya sangat lelah harus menjalankan dua pekerjaan sekaligus hanyak untuk kebutuhan dirinya dan ibunya. Apalagi sekarang aku berada di kelas akhir tingkat SMP, pasti Bapak akan mengeluarkan banyak biaya untuk keperluan nanti aku masuk SMA. 


“Kenapa Bayu?” tanya Ibu yang menyadari perubahan raut di wajahku. Aku menatap kedua orang tuaku dengan cairan yang sudah menumpuk di kedua pelupuk mataku. 


“Pak, Bu, Bayu minta maaf banyak menyusahkan Bapak-Ibu. Bayu belum bisa menjadi anak yang buat Bapak dan Ibu bangga,” ucapku yang setelahnya mulai terisak karena tak kuasa menahan cairan yang sedari tak sudah minta ditumpahkan dari kedua matanya. Tangan yang tadinya menutupi wajahku kini digenggam oleh Ibu 


“Kata siapa bayu menyusahkan Bapak dan Ib. Anak itu adalah titipan Tuhan yang berarti Bayu itu adalah amanah dari Tuhan untuk Bapak dan Ibu yang harus dijaga dengan baik,” ujar Ibu membuat aku sedikit tenang. Satu tanganku kemudian digenggam oleh Bapak, membuatku menoleh dan menatapnya.


“Kalo Bayu pikir Bapak mencari pekerjaan tambahan demi Bayu, itu sudah pasti, tapi bukan berarti Bayu itu menyusahkan. Bapak itu kepala keluarga yang sudah seharusnya bisa membuat keluarga Bapak bahagi.  Lagian kalo Bapak tidak sayang sama Bayu, sudah dari dulu Bayu Bapak jadikan umpan untuk ikan-ikan besar di laut,” ucap bapak berusaha mencairkan suasana dan berhasil membuat aku dan Ibu tertawa. Lalu, kami melanjutkan sisa makan malam kami dengan bercerita benyak hal termasuk pekerjaan tambahan Bapak yang katanya mudah dikerjakan dan upahnya akan diberikan per hari sebesar Rp100.000. 


*** 


“Apakah kalian tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi di tengah laut sehingga membuat para nelayan sering mengeluh?” tanya Adam penasaran, kini mereka berada di teras rumah Jairo. 


“Aku tahu,” sahut Jairo membuat ketiga temannya menoleh dan menatap Jairo penuh tanda tanya.


“Para nelayan susah menemukan jalan pulang sebab tiba-tiba ada pagar-pagar yang merangkup di tengah laut. Dan pagar itu semakin luas per harinya. Pagar-pagar itu berada di tempat biasa para nelayan berlabuh untuk menangkap ikan,” jelas Jairo 


“Pagar itu berada di tengah laut?” tanyaku terkejut. Jairo mengangguk membuat aku semakin heran, bagaimana bisa tiba tiba muncul pagar pagar itu di laut? Siapa yang melakukannya?  Untuk apa pagar-pagar itu di buat?  Terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku.      


***


Seperti biasa sehabis Asar mereka akan berkumpul di rumah Jairo. Hari ini mereka sedang mengerjakan tugas kelompok bersama, yang kebetulan mereka berempat satu kelompok. 


“Aku tahu siapa yang pasang pagar di laut,” ucap Jairo tiba tiba membuat aku teringat kembali dengan cerita pagar laut itu. Aku, Alam, dan Adam tentu ingin tahu. Kami menggeser duduk kami lebih dekat dengan Jair, seolah ini adalah pembicaraan yang sangat penting dan hanya boleh di dengar oleh kami berempat. 


“Siapa?’ tanyaku yang sudah sangat penasaran.


“Itu adalah orang orang suruhan yang akan diberi upah per harinya sebesar Rp100.000. Coba bayangkan, mereka mengerjakan di waktu tengah malam di saat ombak sedang sadis- sadisnya, ditambah mereka mengerjakannya di tengah laut. Uang segitu tidak ada apa-apanya dibandingkan nyawa mereka,” jelas Jairo. Tiba tiba dadaku bergemuruh hebat. 


“Apakah ada warga sini di antara orang suruhan itu?” tanyaku, tiba-tiba saja aku teringat dengan cerita Bapak.


“Katanya sih ada beberapa yang dari warga sini,”  jelas Jairo membuatku semakin takut, takut dengan sesuatu, takut bapaknya terlibat. 


“Kenapa mereka memasang pagar-pagar itu di tengah laut?” tanya Alam.


“Ada sebuah pengusaha yang akan mencoba membuat sebuah bangunan di atas laut, mereka mencoba menambah penghasilan mereka.” 


“Bukannya laut itu milik negara, tidak boleh di perjual belikan apalagi diinvestasikan?” tanya Adam yang diangguki ketiga anak laki-laki lainnya. 


“Mereka sudah kaya, untuk apalagi mencari kekayaan yang lain?” tanya Alam.  “Namanya juga manusia, mana pernah merasa puas,” kataku yang dijawab anggukan oleh ketiga temanku.     


 ***


Aku membuka mataku lebar lebar menahan kantuk yang sudah hampir menguasai kedua mataku, jam sudah menunjukan pukul 22.00 AM. Sebentar lagi pasti Bapak akan keluar dari kamarnya. Belakangan ini setelah Bapak bercerita mendapatkan pekerjaan baru. Bapak tidak pernah bangun pagi lagi untuk bersiap -siap pergi mencari ikan, bahkan Bapak lebih sering tidur sepanjang hari dan akan bangun pada larut malam. Awalnya aku berpikir Bapak menangkap ikan pada malam hari. Namun mengapa aku tidak pernah menemukan kotak-kotak ikan yang biasanya Bapak letakan di belakang rumah sehabis menangkapnya, aku merasa ada yang aneh dengan kerjaan Bapak ini. 


“Clek,” suara pintu terbuka membuatku tersenyum yang sedari tadi sedang memperhatikan pintu kamar orang tuaku. Bapak terlihat sangat terkejut saat melihatku yang bangun dan malah duduk di ruang tamu sendirian. 


“Bayu belum tidur?” tanya bapak yang tak kujawab. Aku hanya menatap kedua mata bapakku dalam dalam. 


“Bapak jujur sama Bayu, bapak kerja apa?” 


Terlihat senyum di wajah bapak memudar diganti dengan raut wajah yang terlihat panik. 


“Pak, jujur sama Bayu, Bapak yang mengajarkan kepada Bayu tidak boleh mendekati jalan setan sedikit pun, dekat sedikit setan akan terus menggoda kita, sehingga kita melampaui batas,” ucapku yang masih menatap kedua mata Bapak. Terdengar helaan nafas pelan dari Bapak. Setelah hening beberapa menit, akhirnya bapak Berbicara. 


 “Kamu benar Bayu. Bapak salah, Bapak malah mendekatkan diri Bapak ke jalan yang salah, Bapak akan berhenti dari pekerjaaan bapak ini.” 


Aku menahan sesak di dadaku saat mendengar Bapak terlibat dalam kezaliman itu. Aku mulai terisak, buliran air mata berjatuhan di kedua pipiku, “Maaf Pak, karena Bapak ingin membahagiakan Bayu, Bapak sampai di situasi ini,” sesalku membuat Bapak menggenggam kedua bahuku lalu menggeleng.

 

“Itu bukan salah Bayu, ini salah Bapak. Bapak hampir saja membuat Bayu dan Ibu terlibat dari kezaliman ini, Bapak seharusnya bisa memikirkan nya dulu sebelumnya.” 


“Terima kasih Bayu, kalo tidak kamu ingatkan, sudah pasti Bapak akan terlena dengan duniawi ini,” ucap Bapak sambil memelukku. Aku tersenyum senang melihat Bapak yang sadar akan kesalahannya. Aku senang Bapak tidak melangkah lebih jauh lagi. Aku bersyukur Tuhan masih memberi hati Bapak yang lapang. 


***


Di saat siang hari, di saat matahari hanya terasa satu jengkal dari atas kepalanya, tak membuat warga mengeluh, panasnya matahari tak bisa mengalahkan kobaran api yang lebih dahsyat dari semangat para warga. Sekarang mereka semua sedang berkumpul di rumah Pak Kholid, seorang nelayan yang sangat membela kebenaran, dengan keberaniannya menentang pemasangan pagar laut tanpa izin membuat warga menunjuknya sebagai pemimpin di antara mereka. 


Terlihat Pak kholid sedang berdiri di antara mereka sambil berpidato singkat tentang ‘Pemimpin dalam Negeri’: 

 

“Kalian harus bisa membedakan mereka yang memang bermulut besar, omong kosong, dengan mereka yang memang serius ingin memperbaiki negeri ini. Banyak sekali orang yang diangkat menjadi pemimpin, yang mungkin suatu hari bisa saja dipertanyakan apa betul mereka memang berjasa dan berkontribusi dalam perjuangan? Definisi antara pahlawan dan penghianat harus jelas. Suatu hari pahlawan atau bandit tak boleh hanya di tentukan atas kekuasaan!” Setelah 15 menit lamanya, Pak Kholid menyampaikan pidato itu, ia menatap ke warga di depannya dengan takjub. 


“Jika bukan kita, siapa lagi yang akan melindungi laut kita ini dari kejamnya para penjahat,” pernyataan itu membuat energi warga kembali berkobar. Mereka berteriak riuh mengeluarkan isi hati mereka, mengeluarkan pendapat mereka. 


“JIKA LAUT YANG MENJADI SUMBER PENCARIAN EKONOMI KITA DI AMBIL, LANTAS DI MANA LAGI RAKYAT KECIL SEPERTI KITA MENCARI PENGHASILAN?! NEGERI MACAM APA INI JIKA PARA PEMIMPINNYA SAJA GAMPANG DISUAP!” 


 Orang-orang berteriak tanpa henti, suara mereka bercampur menjadi satu, membentuk gelombang kebisingan yang memenuhi depan rumah Pak Kholid. Wajah-wajah mereka memerah, beberapa penuh semangat, yang lain penuh amarah. 


“Siap untuk menghancurkan rencana para bandit?” tanya Pak kholid dengan suara lantang, membuat beberapa orang mengepalkan tangan, sementara yang lain mengayunkan tongkat atau benda apa saja yang bisa mereka pegang. 


“Dasar para bandit yang tak ingin mengotori tangannya!” ucapku yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kerumunan itu. Aku memundurkan badanku, lalu berbalik untuk meninggalkan kerumunan para warga yang terlihat sedang sangat emosi. Mereka semua akan bersiap-siap menghancurkan pagar-pagar yang menjadi penghambatannya mereka selama ini, walaupun tidak mudah untuk menghancurkan pagar-pagar itu, tak membuat warga menyerah, mereka menuntut keadilan untuk mereka.