Cerpen Citra Kristin Lase
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Mahasiswa dari berbagai almamater memadati Istana Presiden, berteriak-teriak meminta didengar; berteriak-teriak bahwa negara ini sudah kacau balau. Polisi berjaga dengan tameng dan pentungan. Seseorang dengan wajah bercat hitam dengan masker tengkorak berbentuk segitiga berdiri di atap mobil kap terbuka. Bagian depan mobil tersebut terpampang lukisan "Tikus Dalam Garuda". Lukisan yang sangat kontroversial, menyebabkan para petinggi geram dan menuntut agar lukisan tersebut diturunkan dari galeri. Tidak seperti mahasiswa lainnya, lelaki itu tidak mengenakan jas almamater—hanya kaos oblong berwarna hitam. Setelah lelaki itu mengepakkan tangan aba-aba diam, semua mahasiswa menurut. Pertanda lelaki jangkung itu akan berorasi.
"Sudah berbulan-bulan sejak bambu-bambu secara ajaib tiba-tiba terpasang di lautan pada suatu pagi. Nelayan mengeluh karena harus mengambil jalan memutar. Bahkan beberapa wilayah mengatakan mereka sama sekali tidak bisa ke laut. Namun, tidak pernah ada tindakan! Bajingan kalian semua!"
"BAJINGAN! BAJINGAN!" Mahasiswa berteriak sahut menyahut. Aparat segera menyusun formasi dan mengeraskan cengkeraman pada pegangan tameng.
"Secara ajaib, laut didaftarkan sebagai milik seseorang. Siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja mereka yang punya uang!"
"DASAR TIKUS! DASAR TIKUS!"
Lelaki itu menunjuk-nunjuk Istana Presiden meski ia tahu bahwa orang nomor 1 yang baru dilantik beberapa bulan lalu itu tidak akan keluar untuk setidaknya menenangkan massa.
"Kembalikan mata pencaharian kami! Usut mereka yang menyelewengkan jabatan! Persetan dengan kalian, persetan dengan Agustari, persetan dengan Mulathi!"
"PENJARAKAN! PENJARAKAN!"
Setelah berkali-kali orasi itu diulang, speaker segera menggaungkan lagu .Feast "Kami Belum Tentu" dengan para mahasiswa saling berteriak menyanyikan.
Pemimpin di esok hari.
Adakah yang cukup mampu?
Mewakilkan suara kami.
Jelas tak ada yang tahu!.
Ada yang cukup peduli.
Umat yang dikelabui.
Melupakan masa lalu.
Namun kami belum tentu!
Demontrasi yang berlangsung selama 3 jam dilanjutkan dengan mengikuti aksi kamisan. Aksi yang menolak lupa bahwa Indonesia pernah berada dalam masa gelap, masa dimana mereka yang berani bersuara "diculik dan tidak pernah kembali". Berharap bahkan setelah berpuluh-puluh tahun, keadilan akan datang. Banyak yang berkata, ikhlaskan saja sebab sudah bertahun-tahun. Namun, justru karena sudah bertahun-tahun, mengapa tak pernah ada indikasi untuk diusut?
Lelaki itu sampai di rumah saat langit sudah gelap dan setelah membersihkan cat hitam yang menjadi penyamarannya di sebuah toilet umum. Dari kejauhan tampak rumahnya begitu gelap. Rasa penasaran segera menyergap hatinya, bertanya-tanya mengapa ibunya pergi tanpa memberi tahunya. Ia mengambil kunci dari tas, tetapi anehnya pintu tidak terkunci sama sekali.
"Mak?" tanyanya sambil mencari-cari tombol lampu.
Dapat!
Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah tubuh yang melayang tergantung.
"MAMAK!"
***
Aku terbangun di sebuah ruangan remang-remang. Tanganku terborgol ke arah belakang. Kakiku terjerat pula di kaki kursi.
Tunggu.
MAMAK!
Aku meraung-raung setelah mengingat kali terakhir aku sedang mencoba mengangkat kaki Ibu berharap jeratan di lehernya tidak mengetat. Sebelum semuanya gelap sebab kepalaku dipukul dari belakang.
"ANJING KALIAN!"
Terdengar suara tawa khas nasabah prioritas dari belakangku yang lumayan mengagetkanku karena tak menyadari kehadirannya. Dari suaranya, kutebak ia adalah perempuan berumur 75-85 tahun.
"Kaya," panggilnya. Aku tidak asing dengan suara itu.
Benar saja. Ketua partai sapi sialan. "Kaya, Kaya ...." Dia mengelus pipiku perlahan sebelum kemudian menampar-nampar dengan punggung tangannya yang terselip cincin batuk akik besar.
Aku meludah tepat mengenai sepatunya yang tampak baru dipoles.
"Kurang ajar!"
Aku ditonjok. Tentu saja bukan oleh perempuan tua itu, tetapi oleh ajudannya. Kepalan tangannya mengenai perutku, menyusul ke dagu, ke pipi, ke sekujur badanku hingga bahkan ketika aku jatuh bersama kursi, aku tetap diinjak-injak. Aku terbatuk-batuk darah, tetapi sang ajudan tak merasa iba sedikit pun. Ia semakin kesetanan dan lupa diri. Aku merasa hampir mati. Ah, inikah namanya sekarat? Badanku terasa sangat sakit. Begitu sakit hingga pelan-pelan tak merasakan apa-apa lagi.
Tak apa, aku akan menyusul Ibu.
Aku terbangun lagi. Ternyata masih di dunia. Masih di tempat yang sama, tetapi kali ini aku melihat dua orang di depan. Mereka yang kutantang, mereka yang tadi kusumpahi. Muhaemani dan Agista. Mereka duduk sambil ngopi, padahal aku di sini berdarah-darah.
"Sudah bangun?" Sang mantan presiden tersenyum padaku. Ia berdiri kemudian berjalan perlahan.
"Kaya Hutagalung. Lu punya nama unik banget," sahut Agista.
Aku menangis tak tahan dengan sakit yang menggerogoti sekujur tubuh. Ada perasaan takut dan tertindas. Aku takut mati, ya Tuhan. Aku takut mati. Kini aku mengerti mengapa manusia lebih seran daripada setan.
"Nak Kaya, seperti namamu, saya itu pengen kaya. Dulu siapa sih saya? Hanya tukang kayu," kata Muhaemani sambil terkekeh mondar-mandir di depanku. "Saya menjadi pelaku agar tidak bisa dijadikan korban lagi. Pak Agista ini dulu membantu saya membangun ibu kota negara baru dan banyak proyek lainnya. Jika bukan tanpa beliau, mungkin saya hanyalah kacung bagi pemimpin partai sapi perah itu. Saya ingin balas budi, emang gak boleh?"
Darahku rasanya mendidih sampai ke ubun-ubun. Aku di sini hampir mati, tetapi nada bicaranya masih santai dan medok. Memang anjing!
"Sudah, sudah. Mending kasih dia lihat ini." Agista menyela, ia meletakkan laptop di atas pahaku yang berbalut jeans yang sudah robek-robek akibat diinjak-injak tadi.
Layarnya menampilkan sosok yang begitu kukenal. Begitu kusayangi dan kulindungi. Ibu. Perempuan itu tengah menangis, mengucapkan beberapa kata, kemudian terdengar bentakan keras yang dijawab "tidak" oleh Ibu. Sesaat kemudian, Ibu ditarik dan digantung lehernya.
"Oh, Tuhan ...." Air mataku mengucur deras. Kali ini tanpa suara. Namun, siapa pun yang melihat pasti kuyakin melihatku seperti tanpa jiwa.
Agista tersenyum lalu mengangkat daguku. "Asal lu tahu, Kaya. Pagar laut itu cuman awal. Cuman segini," katanya sambil menunjukan jari gestur sedikit.
Aku sudah tak terkejut lagi. Aku bahkan sudah tak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Kepalaku berontak, hatiku menangis, tetapi ragaku sudah remuk. Aku menunjukkan sedikit pergerakan, setidaknya agar laptop sialan itu jatuh. Dan benar saja, benda itu jatuh. Namun, kata-kata terakhir ibuku terus berputar nyaring. Oh, Tuhan ... video itu terus berputar berkali-kali.
Muhaemani kembali ke meja kemudian menyeruput kopinya. "Mungkin besok, kamu akan melihat berita korupsi Pertamina. Fantastis sekali jumlahnya, pecahkan rekor korupsi terbesar di Indonesia. Belum lagi soal Danantara yang punya banyak celah untuk korupsi. Berani sekali Presiden baru itu."
"Dia bukan berani. Dia itu tolol. Anak-anak dikasih makan siang gratis, sedangkan ayah sang pencari nafkah dipecat demi efisiensi. Ya, mana bisa ngasih makan sekeluarga," sahut Agista dengan nada khas Chinese-nya.
"Masyarakat kita itu buruk, Nak Kaya. Meski para pejabat tidak korupsi, masyarakat sendirilah yang korupsi. Korupsi kecil-kecilan yang tetap saja korupsi. Iya, kan? Ada mobil durian jatuh, dijarah. Dibikin pembangunan jembatan, besi-besinya dicuri." Pernyataan Muhaemani barusan sedikit membuatku malu. Ya, tidak dapat disangkal. Masyarakat Indonesia memang bodoh. Tak dapat disangkal bahwa banyak mahasiswa yang ikut-ikutan demo, meski tak tahu masalah apa yang sedang disuarakan.
Aku mengembuskan napas dan bertanya dengan suara lirih. "Saya ada di mana? Siapa saja yang ada di sini, Pak?" Agista dan Muhaemani saling berpandangan. Aku mendapat jawaban berikut dari Agista, "Istana Presiden." Aku mengulang pertanyaan, "Siapa saja? Banyak?" Muhaemani mengangguk dan menjawab bahwa sedang ada pertemuan dengan para pejabat.
Aku tersenyum dan sambil memejamkan mata. Lautan menyapa lewat desiran angin yang mengelus wajah. Aku menatap kosong cakrawala di ujung lautan, melihat pelangi muncul samar-samar. Aku tertawa kecil menyadari bahwa janji Tuhan sepertinya lebih realistis ketimbang janji para pejabat di masa kampanye. Alkitab mengatakan bahwa pelangi merupakan wujud busur Tuhan yang Ia letakkan di langit sebagai pengingat janji-Nya bahwa bumi tak akan dijatuhi air bah lagi.
Di belakangku, Mamak yang mengeluh soal pagar laut. 500 meter dari bibir pantai, terdapat bambu-bambu yang diduga dipasang pada malam hari. Kami melaporkan hal tersebut karena menyebabkan nelayan harus mengambil jalan memutar. Namun, tak pernah ada tindakan. Hingga kutahu bahwa pagar laut tersebut membentang hingga 30 km.
Mamak adakah seorang hebat. Aku tidak pernah diizinkannya untuk ikut mencari ikan. Perempuan itu bersikeras agar aku belajar saja agar kehidupanku terjamin kelak, meski itu artinya ia harus bekerja mati-matian. Sama seperti orang tua suku Batak kebanyakan. Perempuan yang dulunya hamil di luar nikah hingga harus melarikan diri ke Jawa agar tak mendengar cemooh, yang ditinggal kabur oleh pacarnya sebelum aku lahir. Umurnya yang hanya terpaut 17 tahun dariku justru lebih terlihat seperti seorang nenek-nenek. Namun, dengan uang gaji UMR Singapura, aku bisa mewujudkan impiannya kini. Meski awalnya aku harus magang sana-sini hingga sempat dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan, semua itu agar aku dilirik oleh perusahaan luar.
"Kamu itu, bukannya fokus ke kerjaan malah ikut-ikutan demo. Bahaya!" tutur Mamak yang menyadarkanku dari lamunan. Aku berkilah bahwa kita hidup bukan di zaman Orde Baru yang apa-apa bakalan diculik dan tidak pernah kembali. Walaupun dalam hati aku terkadang takut kena timah panas atau suatu saat dibunuh dengan dalih kecelakaan.
"Indonesia ini sudah porak-poranda, Mak. Berantakan." Aku menegaskan sambil berdecak. "Pemerintah menuntut kita taat bayar pajak, taat bayar BPJS, taat mengamalkan Pancasila, tetapi mereka tidak mau kita tuntut demi kenyamanan rakyat." Perkataanku yang terakhir tidak disahut lagi oleh Mamak.
Aku menatap kedua orang di depanku. Melempar sedikit senyuman tipis mengingat benda kecil yang berdetak pelan di cincin tangan kiriku. Aku punya 30 detik setelah menekan secara bersamaan tombol di cincin tangan kanan dan kiriku. Bom dengan bahan peledak nano yang sangat padat dan kuat—yang dipelajari oleh seorang mahasiswa yang belajar teknologi pertukaran pelajar di Amerika—akan menghasilkan ledakan luar biasa.
Aku memejamkan mata sambil memikirkan Mamak.
Kata-kata terakhirnya, "Mamak sayang kamu, Kaya."