Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Danisha Az Zahra | Menyenangkan atau Menyedihkan

Cerpen Danisha Az Zahra



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Konon katanya tinggal di laut itu menyenangkan, mungkin karena kalian bisa menemukan banyak jenis makhluk hidup di dalam sini, salah satunya adalah aku. Hai! Aku Pob, aku adalah seorang ikan yang baru saja memenangkan tanding balap rintang terumbu karang bersama saudara kembarku namanya Kob. Mungkin kalian terheran heran mengapa aku menyebutkan saudara kembarku yang dimana kelihatannya semua ikan itu sama, tapi yang membedakan hanya jenisnya saja, tetapi terkhusus aku dan Kob kami berdua memang kembar, kami dilahirkan hanya beda 2 detik saja kata ibu dan kalau dilihat secara langsung kami seperti hasil copy dan paste, bedanya Kob memiliki mata berwarna merah di sebelah kanannya, sedangkan aku di sebelah kiriku. Sebenarnya yang mengadakan lomba ini sendiri adalah ibu kami. Ibu menyuruh kami melakukan tanding balap terumbu karang untuk menentukan nama yang cocok tergantung hasil tanding itu kepada kami berdua. Aku pun diberi nama Pob karena aku menjadi yang pertama berhasil melewati rintangan terumbu karang dan saudaraku Kob menjadi yang kedua dan terakhir.


Aku hidup dan tinggal bersama Ayah, Ibu, dan Kob. Ayah suka sekali bepergian dengan ikan lainnya untuk mengeksplor daerah-daerah baru di sekitar sini, atau bahkan bisa lebih jauh dari terumbu karang tempat tinggal kami sekarang. Biasanya ayah pulang sesuai hasil temuannya di hari itu, akhir-akhir ini ayah sering pulang terlambat. Ayah sering kali pulang saat aku dan Kob sudah tertidur pulas kata Ibu, dan kembali bepergian saat sinar matahari baru saja terlihat. Awalnya aku mengira bahwa semua itu memang karena Ayah sibuk, sehingga ayah bepergian begitu lama dari pagi hari hingga aku tertidur. Hingga suatu hari Ayah pulang lebih cepat dari biasanya “IBU, POB, KOB ada kabar buruk!” dengan wajahnya yang cemas berhasil membuat aku menjadi khawatir. “Ada apa ayah? Apa yang membuatmu terlihat cemas sekali?” tanya Ibu yang ikut terlihat khawatir. “ Saat ayah dan ikan lainnya sedang menyelami sisi utara kawasan ini, kami menemukan beberapa tiang bambu raksasa berbaris rapi seperti membentuk sebuah pagar raksasa.Pagar itu sengaja dibuat oleh manusia yang hidup di atas sana dan tentu kita tidak tahu mengapa mereka melakukannya, tapi sebaiknya kalian tidak berenang di sekitar pagar raksasa itu! Karena Ayah khawatir apa yang akan manusia lakukan selanjutnya,” suruh ayah kepada aku dan Kob karena kami masih kecil dan lebih baik tetap di sekitar terumbu karang tempat tinggal kami saja.


Waktu kian berjalan seiring ombak berdatangan, pagar raksasa itu kini kian memanjang kata Ayah. Semenjak pagar itu dibuat, ayah semakin sering pulang lebih cepat untuk memastikan keadaan kami. Aku dan Kob hingga sekarang masih belum diperbolehkan Ayah untuk berenang di sekitar pagar itu meskipun terkadang aku dan Kob berusaha untuk pergi ke tempat itu karena kami sangat penasaran bentuk pagar itu, tapi kami selalu ketahuan oleh Ibu setiap kami ingin pergi. “POB, KOB! Apa yang ingin kalian lakukan? Jangan berani berani kalian mendekati kawasan pagar raksasa itu!” tegasnya setiap kami hendak pergi menuju kawasan itu. “Apa yang mereka khawatirkan ya Pob? Padahal kan kita saja sekarang sudah besar,” dan Kob selalu mengeluh setelah kami ditegur oleh Ibu. Kelihatannya saja memang kami sudah besar, tapi pastinya dimata orangtua anak kecil tetaplah anak kecil mau seberapa besar pun kita nantinya. 


Keseharian aku dan Kob pun hanya bermain dengan ikan lainnya sambil berbincang mengenai kabar pagar itu hingga akhirnya kami berdua merencanakan untuk pergi ke kawasan itu. “Kob kira kira apa yang akan terjadi jika kita mendekati kawasan itu ya?” bincangku kepada Kob. “Aku saja tidak terbayang bentuknya seperti apa Pob, bagaimana kalau kita pergi kesana nanti malam?” tanya Kob dengan berharap aku akan menyetujui ajakannya. “Baiklah… mari kita rencanakan itu sekarang.” kataku. Ternyata rencana untuk ‘kabur’ ke kawasan pagar raksasa itu menjadi awal dari cerita ini. 


Rencana itu saja tidak pernah dijalankan selama ini, karena keesokan harinya, saat sinar matahari hampir tersamarkan dengan sinar rembulan suatu kabar buruk yang amat menyedihkan pun datang. “POBB DIMANA IBUMU?” ucap seorang ikan yang biasanya bepergian bersama ayah. “Ibu sedang mengunjungi rumah sebelah bersama Kob, Apa yang telah terjadi paman? Dimana ayah?” tanyaku heran karena biasanya ayah pulang bersama temannya. “Ayahmu Pob… aku merasa sangat bersalah, maafkan pamanmu ini Pob.” ucap paman dengan tersedu sedu. Tak lama paman mengatakan hal itu, Ibu dan Kob pun datang dan langsung menanyakan hal yang sama dengan seperti yang kutanyakan padanya. “Ayahmu.. ayahmu telah terjebak di pagar raksasa itu, kami sudah berusaha mengeluarkannya, kami juga sudah meminta banyak bantuan dari ikan lainnya, tapi sayangnya ayahmu sudah tiada bahkan sebelum kami selesai mengeluarkannya dari himpitan tiang bambu raksasa itu,” jelasnya dengan muka kecewa. Ibu, Kob, dan aku pastinya amat sangat sedih mendengar hal itu ditambah lagi saat paman menjelaskan ketika ayah sudah tak sadarkan diri dan para manusia yang sedang menaiki perahu di atas mereka sedang mencabuti bambu-bambu raksasa itu sehingga membuat mereka mau tidak mau pergi dari kawasan itu. Tak lama setelah mereka pergi mereka kembali lagi ke kawasan itu dengan harap dapat menemukan tubuh ayah, tapi sayangnya mereka tak dapat menemukan tubuh ayah meskipun mereka sudah berenang kesana kemari hasilnya nihil. Dengan susah payahnya paman dan ikan-ikan lainnya akhirnya sepakat untuk kembali dan paman yang mengusulkan diri untuk menyampaikan kabar menyedihkan ini kepada kami.   


Setelah kejadian itu para ikan-ikan yang tinggal disekitar kami pun berkunjung dan ikut berduka dengan kepergian ayah. Kalau kalian menanyakan bagaimana kabar ibu sekarang, ibu menjadi tidak seaktif sebelumnya, ibu hanya melamun entah sekosong apa pikirannya saat ini. Aku dan Kob sudah beberapa kali berusaha untuk membuat ibu tertawa dan melupakan kejadian itu dan berharap ibu sudah menerima kenyataan bahwa ayah telah tiada, tapi keseharian kami memang begitu sepi tanpa ayah. 


*** 


Tak terasa tubuh kami sekarang sudah sebesar tubuh ayah, bahkan bisa dibilang tubuh kami lebih besar dibandingkan tubuh ayah kala itu. Ibu sudah lama tiada, mungkin ibu memang sangat tidak bisa hidup tanpa ayah beberapa malam setelah ibu hanya bersedih, melamun, dan bahkan sampai tidak makan, ibu akhirnya menemui ayah di atas sana. Pastinya aku dan Kob saat itu yang dibilang anak kecil enggan yang dibilang dewasa segan ini sangat sedih karena ibu telah tiada, tapi kami pun senang karena ibu dapat bertemu dengan ayah dan tidak merasa kesepian lagi. Ya setidaknya aku masih punya Kob hingga sekarang dan kabarnya esok hari kami akan mendatangi kawasan pagar raksasa itu. Tempat dimana ayah menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya.


Sinar matahari bersinar Kob langsung menghampiriku dengan mata berbinar. “Ayo Pob ini saatnya kita dapat melihat pagar raksasa itu, ayolah bangun dan segera bersiap!” ajak Kob, padahal dia saja semalam tidak bisa tidur karena sangat semangat untuk mengunjungi pagar raksasa itu. Setelah selesai beberes rumah dan bersiap kami pun memulai perjalanan bersama beberapa ikan lainnya menuju pagar raksasa itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi disana, tapi firasatku rasanya aneh sekali, entah apa yang akan terjadi aku hanya berharap kami berdua dan ikan-ikan lainnya dapat kembali ke rumah kami masing-masing setelah mengunjungi kawasan itu.


Sesampainya disana, dari kejauhan kami sebenarnya bisa melihat barisan pagar bambu ini meskipun tidak sejelas saat mendekatinya langsung. Bentuk tiang bambunya sangat besar dengan jumlahnya yang banyak tersusun rapi layaknya barisan prasmanan saat siang hari di kantin dekat rumah kami. “Wahh besar sekali ya Pob bambunya, pantas saja dulu ayah melarang kita kesini, nanti kita bisa bisa terjebak di dalam bambunya dan tidak bisa keluar,” ucap Kob yang masih terlihat semangat. “Iya Kob, aku juga malas karena pasti saat kita kecil berenang ke sini amat sangat melelahkan,” jawabku. Tanpa kami sadari, para manusia dengan perahunya mulai mendekati tempat kami. “HATI HATI PARA MANUSIA MULAI BERDATANGAN SEMUANYA KEMBALI BERKUMPUL DAN BERSIAP UNTUK KEMBALI KE RUMAH MASING MASING!” seru seekor ikan yang dari awal menjadi tour guide kami, tapi sayangnya letak titik kumpul itu jauh dari tempat aku dan Kob berbincang. Hingga hal yang tak terbayangkan pun terjadi. Para manusia dengan perahunya sudah berada diatas kami, aku segera mendekati Kob, tapi sayangnya sesuatu terjadi. “POB PERGILAH TANPA AKU! SIRIP KU TERLUKA AKU TIDAK BISA MELANJUTKAN PERJALANAN INI,” teriak Kob yang terlihat sedang kesakitan dan jauh tertinggal dibelakangku. “TIDAK KOB, AKU TIDAK MAU MENINGGALKANMU DISINI, KITA HARUS KEMBALI KE RUMAH BERSAMA!” jawabku dengan cemas sambil berenang ke arahnya berharap dia masih bisa melanjutkan perjalanan ini. 


Aku hanya punya Kob sekarang, aku tidak boleh meninggalkannya, aku harus selalu bersamanya, kami harus bisa kembali ke rumah sekarang. Aku takut, aku amat takut kehilangan Kob, aku sekarang hanya tinggal bersamanya, jika dia pergi aku bagaimana?


Pikiranku berkecamuk, aku menghampirinya. “BANGUN KOB! KAMU PASTI BISA! AYO KEMBALI BERSAMA,” ucapku dengan sedih dan khawatir akan keadaan Kob sekarang. “Aku tidak bisa Pob… aku tidak bisa berenang lagi, sirip ku patah pulanglah kerumah dengan ikan-ikan lainnya,” kata Kob dan tiba-tiba TAKK TAKK TAKK, manusia diatas kami mulai menancapkan satu demi satu tiang bambu raksasa mengarah ke tempat kami. “AYO KOBB PARA MANUSIA ITU DATANG,” tegasku kembali kepada Kob yang sampai sekarang tidak beranjak dari tempatnya. Tiang-tiang bambu itu semakin dekat ke arah kami. “PERGILAH POB SELAMATKAN DIRIMU!” tegas Kob, tentu aku tidak ingin meninggalkannya. Hingga sebuah tiang bambu menancap ke arah Kob, TAKK. “KOBB KOBB DIMANA KAMU? APAKAH KAU MASIH BISA MENDENGARKU? KOBB!” aku pun panik, aku mulai memanggilnya namun tak ada balasan apapun.