Cerpen Deeby
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Desa Bahari sudah lama hidup berdampingan dengan laut. Bagi penduduknya, laut bukan sekadar hamparan air asin, tetapi rumah, sumber kehidupan, dan bagian dari identitas mereka. Sejak dahulu, nelayan bebas berlayar, mencari ikan, dan menyandarkan perahu di tepi pantai tanpa takut diusir. Namun, semuanya berubah ketika pagar-pagar besi mulai berdiri di sepanjang pesisir.
“Pembangunan ini untuk kemajuan desa,” kata seorang pejabat saat pertemuan di balai desa. “Investasi ini akan membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan ekonomi kalian!”
Tapi bagi warga, itu bukan kemajuan. Itu perampasan.
Ayu berdiri di tepi pantai, memandang ke arah pagar-pagar tinggi yang kini memagari laut yang dulu terbuka luas. Besi-besi itu berbaris kokoh, membatasi langkah mereka yang sejak lahir hidup dari gelombang. Ayahnya, seorang nelayan tua, hanya bisa menghela napas panjang.
“Laut ini dulu milik kita, Ayu,” katanya dengan suara bergetar. “Sekarang, kita harus membayar untuk bisa menyentuhnya.”
Ayu mengepalkan tangan. Beberapa bulan lalu, perusahaan datang membawa janji-janji manis. Mereka bilang, kawasan ini akan dijadikan resor mewah, tempat wisata yang akan menarik banyak turis. Para pejabat desa, yang entah sudah berapa kali diundang makan malam oleh investor menyebut ini sebagai “peluang emas.” Tapi peluang bagi siapa?
Bagi Ayu dan warga lainnya, ini adalah pengusiran. Nelayan kehilangan tempat bersandar. Tak ada lagi ruang untuk menjual ikan di tepi pantai. Para perempuan yang biasa mengolah hasil laut kini harus berjalan lebih jauh, bahkan membayar sewa di tempat yang dulunya milik mereka sendiri.
Dan ketika ada yang berani protes? Mereka diancam.
Malam itu, sekelompok pemuda berkumpul di rumah Ayu. Mereka bukan aktivis, bukan orang-orang berpendidikan tinggi yang sering bicara soal keadilan agraria di layar televisi. Mereka hanya pemuda desa yang ingin mempertahankan tanah dan laut mereka.
"Kita harus melawan," ujar Rian, dengan mata membara.
"Lawan bagaimana? Kita tak punya uang, tak punya kuasa," sahut yang lain.
"Kita punya suara," jawab Ayu tegas. "Dan kita punya keberanian."
Esok paginya, mereka berdiri di depan pagar laut, membawa spanduk, berteriak menuntut hak mereka. Media mulai meliput, berita tentang konflik ini menyebar. Pejabat mulai panik. Investor mulai gelisah.
Tapi pertanyaannya, akankah suara mereka cukup kuat untuk menembus pagar besi yang dibangun atas nama kemajuan? Atau justru suara itu akan tenggelam, seperti riak ombak yang pecah di tepi pantai, perlahan menghilang tanpa jejak?
Aksi protes itu menjadi perbincangan. Beberapa jurnalis datang, mengambil gambar dan mewawancarai warga. Ayu dan Rian berbicara lantang tentang bagaimana pembangunan ini merampas hak nelayan, menggusur warung-warung kecil, dan menutup akses mereka ke laut.
Namun, tak butuh waktu lama sebelum aparat datang. Mereka datang dengan seragam, dengan tameng dan pentungan.
“Kami hanya ingin mempertahankan tanah kami!” teriak seorang ibu yang biasa menjual ikan di pinggir pantai.
Tapi jawaban mereka adalah perintah pembubaran. Bentrokan pecah. Rian ditangkap, beberapa warga lain didorong mundur. Ayu melihat seorang nelayan tua terjatuh, tubuhnya terguling di pasir yang basah.
Laut yang selama ini memberi mereka kehidupan, kini menyaksikan anak-anaknya dipukul, diusir, dipaksa tunduk pada kekuatan yang tak memedulikan mereka.
Malamnya, rumah Ayu didatangi orang tak dikenal. Beberapa pria berjaket gelap berdiri di depan rumahnya, mengetuk pintu dengan kasar.
“Berhenti membuat keributan, atau kalian akan merasakan akibatnya,” kata salah satu dari mereka sebelum pergi.
Ayu menggigit bibirnya. Ini bukan hanya tentang kehilangan laut. Ini tentang bagaimana mereka dipaksa untuk diam.
“Kita harus cari cara lain,” gumamnya.
Malam itu, mereka menyusun rencana. Jika suara mereka tak cukup kuat untuk menembus pagar besi, mereka akan mencari cara agar suara itu bergema lebih jauh.
Mereka menghubungi organisasi lingkungan, mengirim video tentang bagaimana proyek ini merusak ekosistem laut. Mereka mengirimkan surat ke media nasional, meminta lebih banyak orang untuk meliput.
Dan perlahan, suara mereka mulai didengar.
Beberapa minggu kemudian, tekanan publik semakin besar. Proyek itu dipertanyakan. Perusahaan mulai gelisah, takut citra mereka rusak. Sejumlah pejabat mulai menghindar dari wartawan, tak ingin terseret lebih jauh.
Tapi pertarungan belum usai.
Ayu tahu, mereka mungkin tak bisa menghancurkan pagar besi itu dalam semalam. Tapi mereka telah membuat retakan pertama. Dan selama mereka terus bersuara, selama mereka terus berjuang, pagar itu tak akan selamanya berdiri.
Desa Bahari kini menjadi sorotan. Media nasional mulai menyoroti konflik ini, mengangkat kisah nelayan yang kehilangan lautnya dan warga yang diusir dari tanah mereka sendiri. Tagar #SelamatkanBahari viral di media sosial, didukung oleh aktivis lingkungan dan mahasiswa yang turun ke jalan di kota-kota besar.
Namun, semakin besar perlawanan, semakin keras pula tekanan yang mereka terima.
Suatu malam, rumah Rian dilempari batu. Jendela pecah, suara benda jatuh terdengar di dalam rumah. Ketika Ayu dan beberapa warga datang, mereka menemukan dinding rumahnya dicoret dengan kata-kata mengancam: Diam, atau menghilang!
“Kita sudah terlalu jauh,” gumam salah satu warga dengan ketakutan.
Tapi Rian, dengan luka kecil di dahinya, justru tersenyum pahit. “Kalau mereka mulai pakai cara ini, berarti mereka takut.”
Ayu tahu dia benar. Mereka sudah mengguncang pihak-pihak yang selama ini merasa aman di balik pagar laut.
Namun, apakah cukup?
Beberapa hari kemudian, perwakilan perusahaan akhirnya menggelar konferensi pers. Dengan suara tenang, mereka mengumumkan bahwa proyek pembangunan resor tetap akan berjalan, tapi dengan ‘penyesuaian’. Mereka menjanjikan kompensasi untuk para nelayan dan menawarkan ‘solusi terbaik bagi semua pihak’.
Tapi Ayu dan warga lainnya tahu itu hanya akal-akalan. Mereka tak butuh kompensasi. Mereka butuh laut mereka kembali.
Maka mereka mengambil langkah yang lebih besar.
Dengan bantuan pengacara pro bono, mereka mengajukan gugatan hukum. Mereka mengumpulkan bukti bahwa proyek ini melanggar hak masyarakat pesisir dan merusak lingkungan. Mereka membawa kasus ini ke meja hijau, menghadapi kekuatan uang dan kekuasaan dengan kebenaran yang mereka pegang teguh.
Perjuangan itu panjang. Bertahun-tahun berlalu, dan banyak yang menyerah di tengah jalan. Tapi Ayu tetap bertahan.
Hingga akhirnya, keputusan pengadilan keluar. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang konflik agraria di negeri ini, pagar itu roboh.
Desa Bahari mendapatkan lautnya kembali. Tidak seluruhnya, tidak semudah itu. Tapi mereka telah membuktikan bahwa suara yang kecil pun bisa menggetarkan tembok yang paling kokoh jika mereka cukup berani untuk terus bersuara.