Cerpen Depri Ajopan
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Tengah malam bulan purnama, diam-diam lelaki tua itu turun dari rumah tanpa sepengetahuan istri dan anaknya. Ia membawa tasbih dan sebuah tongkat mengkilat yang ia pegang erat. Ia berdiri di bibir pantai yang berjarak dekat dari rumahnya. Ia menatap lurus ke tengah samudera. Setelah ia membaca selawat, dan beristigfar berkali-kali, sambil memutar-mutar tasbih, ia melantunkan ayat suci. Kemudian ia mengetuk-etukkan tongkatnya ke tanah yang berpasir. Wajahnya yang cekung tetap fokus memandang ke tengah lautan yang diterangi cahaya rembulan. Ombak laut yang bergemuruh terhempas keras menghiasi tepian pantai. Lelaki tua tahu ombak laut itu lagi bercakap-cakap. Sebelumnya juga, ia yang baru pindah rumah, memilih tinggal di pinggir pantai, sudah mendengar dari kamarnya, beberapa malam ini ombak laut yang cerewet berbicara, entah apa yang dikatakannya. Suara ombak laut yang menyerupai bisikan tak jelas itu, mengganggu konsentrasinya ketika melakukan ibadah malam. Ia tak tahu apa yang dikatakan ombak laut, dan dengan siapa ia bicara. Mungkin dengan bebatuan yang ada di bibir pantai. Atau mungkin ia bicara pada dirinya sendiri, Ia berdiri malam itu memposisikan dirinya sebagai seorang penyelidik kata-kata, dan aksinya berhasil. Ia mendengar apa yang diucapkan ombak laut.
“Wahai penguasa jagad, izinkan aku menenggelamkan hamba-hambamu di daratan itu. Sudah lama aku bermohon kepadaMu, tapi Kau belum mengabulkan permintaanku,” ombak laut bersujud, lama sekali. Setelah itu pelan-pelan ia tertengadah, kepalanya yang berharap mendongak ke langit. Melihat itu Tuhan pun tersenyum, yang membuat ombak laut menarik setitik kesimpulan, ia pun senang. Doaku pasti terkabul, pekiknya dalam hati yang terus berdenyut.
“Wahai ombak laut, kenapa kau berkata sesadis itu, terus apa jawab Tuhan?” tanya lelaki tua, membuat ombak laut terkejut. Ia menatap terus lelaki tua berjubah putih itu.
“Kau mengerti bahasaku lelaki tua, dan bisa bicara denganku?”
“Jika Tuhan berkehendak, tidak ada yang sulit baginya.”
“Berarti kau tahu bunyi doaku tadi lelaki tua?”
“Tentu saja ombak laut. Tak mungkin Tuhan mengindahkan permohonanmu yang brutal itu,” lanjut lelaki tua.
“Tuhan tak berkata apa-apa wahai lelaki tua. Dia hanya tersenyum, dan aku tahu arti senyum itu. Apa kau tak melihat Tuhan tadi tersenyum?” Lelaki tua geleng-geleng kepala, dan memutar-mutar tasbihnya, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya.
“Kau tahu sendiri ombak laut, aku tidak bisa melihat Tuhan.”
“He…he…..he….Aku juga tidak bisa melihat Tuhan, sama sepertimu lelaki tua. Aku melihatnya yang tersenyum dengan hatiku.”
Sebenarnya lelaki tua khawatir sekali, kalau Tuhan mengabulkan permohonan ombak laut, yang sifatnya mencederai hamba, bahkan bisa membunuh. Apakah berarti senyum Tuhan, pertanda terkabulnya doa, seperti yang dikatakan ombak laut? tanyanya dalam hati yang berbisik sendiri. Ia ingin bertanya langsung pada Tuhan arti senyum itu, tapi sayang ia takbisa berbicara dengan Tuhan. Ia harus waspada, dan melakukan sesuatu demi keselamatan penduduk.
“Terus, kalau kau melihat Tuhan tadi tersenyum, setelah meminta padanya, apa makna senyum Tuhan itu?” Lelaki tua menampakkan wajah penasaran. Ia tidak mau ombak laut yang baru tertawa menyimpulkan sembarangan.
“Artinya, Tuhan membolehkan aku menenggelamkan sebagian mereka, termasuk wargamu,” ombak laut yang terus pasang berkicau sambil ia terhempas ke daratan mengenai kaki lelaki tua itu.
“Apa kau ingin jadi pagar buat mereka lelaki tua? Apa yang harus kau laukukan buat melindungi mereka?” lelaki tua tak menjawab.
“Jadi kau tega menenggelamkan hamba-hamba Tuhan yang berada di daratan ini?” Lelaki tua terlihat panik, ia mencabut tongkatnya yang tadi ia tancapkan di atas tanah yang berpasir, lalu memukul ombak laut itu keras. Ombak laut menjerit kesakitan, ia tidak tahu minta tolong pada siapa, ia hanya bisa minta ampun pada lelaki tua itu.
“Ampuni aku wahai lelaki tua, jangan pukul aku lagi. Aku melakukannya karena jijik melihat tingkah manusia itu, mereka telah banyak melakukan maksiat, dan aku sudah meminta pada Tuhan sejak ratusan tahun yang lalu untuk menenggelamkan mereka. Apalagi belakangan ini ada yang buat tingkah baru, mereka telah memagarku,” ombak laut bermohon-mohon, merapatkan kedua tangannya, lelaki tua menatap ombak laut dengan tajam.
“Kau bilang ingin menenggelamkan mereka karena banyak maksiat, dan di antara mereka ada yang memagarmu. Bagaimana dengan mereka yang beriman, dan tidak memagaramu?”
“Oh, aku tak berpikir sejauh itu, tugasku menenggelamkan mereka yang aku temui di mana saja. Tak mungkin kutanya mereka satu persatu, mereka orang beriman atau tidak? Apakah mereka termasuk kelopmpok orang-orang kerdil yang ikut memagarku?”
Jawaban yang egois dari ombak laut membuat lelaki tua naik darah. Apa pun alasannya, lelaki tua tidak setuju mereka yang didaratan ditenggelamkan. Walaupun karena dosa-dosa mereka sudah menumpuk karena sering maksiat, atau karena ada oknum yang bersalah. Ia yakin akan ada perubahan pada hati orang-orang kerdil itu. Ia minta waktu pada ombak laut, untuk satu tahun ini ia diberi kesempatan berdakwah keliling kampung. Jika tidak ada perubahan ke arah positif, barulah ombak laut akan berjalan ke daratan menenggelamkan orang-orang itu, ia pun tidak bisa lagi jadi pagar pelindung buat mereka. Ombak laut mengabulkan permintaan lelaki tua.
Lelaki tua meninggalkan ombak laut, lalu bergegas menuju masjid, shalat dua rakaat. Setelah itu ia duduk berzikir di shaf terdepan menunggu azan dikumandangkan. Pikirannya yang ingin menyelamatkan orang-orang dari sergapan ombak laut terus menjalar di kepalanya. Ia punya kesempatan berdakwah menyadarkan orang-orang cuma satu tahun. Jika tidak ada perubahan positif, sesuai perjanjian, ombak laut akan membesar menenggelamkan orang-orang yang penuh maksiat, dan tentu orang-orang baik juga akan ikut terseret arus air. Ia berpikir dan terus berpikir apa yang harus ia lakukan, sampai kepalanya mau pecah, tapi belum menemukan solusi yang tepat. Karena ia bukan seorang ahli pemidato, tidak mungkin ia mengumpulkan umat di beberapa tempat, lalu berdakwah di atas mimbar seperti nabi dengan suara menggelegar menyerupai halilintar. Atau barang kali ia iming-imingi warga, jika mau menaati Tuhan ia beri sesuatu yang berharga, seperti uang tunai dengan jumlah yang menggiurkan. Tak sanggup ia lakukan sebagai orang yang hidup pas-pasan. Lagian tidak dibenarkan dakwah seperti itu. Ia terbayang kepada kisah nabi-nabi yang menyeru umat yang takpeduli. Ada yang dilempari dengan batu, kotoran unta, diusir dari kampung halamannya. Bahkan ada yang sampai dibunuh. Di antara mereka kekasih Tuhan itu ada yang berdakwah ratusan tahun, namun yang beriman cuma segelintir orang. Ia makin bergetar menghadapi ujian yang berat, apalagi ia bukan seorang nabi. Ia takut dakwahnya tidak berhasil dan terus ditolak. Ketakutannya dalam masjid itu semakin menjadi-jadi, sampai azan subuh bergema. Selesai ia shalat, rasa takutnya belum pulih, terpaksa ia bawa pulang.
* * *
Hampir setahun sudah berlalu. Banyak tragedi duka yang ia hadapi ketika berdakwah dengan caranya yang lembut. Namun hasilnya mengecewakan. Orang-orang semakin banyak yang maksiat dan mereka yang magar laut semakin bertingakah. Selain dari anak dan istrinya, cuma beberapa orang saja yang mau mengikuti jejaknya. Ia punya kesempatan satu bulan lagi, kalau tidak ada perubahan, ombak laut yang ganas bertugas menyapu orang-orang itu, kemudian meyeretnya ke tengah lautan. Dan bisa jadi riwayatnya pun ikut tamat ditelan gelombang. Lelaki tua semakin sadar akan kelemahannya. Malam harinya setelah selesai tahajud, ia berdiri lagi di bibir pantai seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tapi kali ini ia takmembawa tongkat dan tasbih. Ia berharap ombak laut bisa bertoleransi memberikan dispensasi.
“Aku mohon ombak laut, beri aku waktu satu tahun lagi untuk menyadarkan mereka,” kedua lututnya ia jatuhkan ke atas pasir yang berderai. Kepalanya bersujud, beberapa butir pasir menempel di keningnya, air matanya tertumpah deras.
“Wahai lelaki tua, kenapa kau sujud padaku. Dulu kau menegurku keras, ketika aku memohon kepadamu. Waktu itu kau juga memukulku dengan tongkatmu yang panas itu. Sekarang kenapa kau tidak membawa tongkatmu untuk menakutiku?” Lama ia terdiam dalam sujudnya.
“Kenapa kau tidak menjawabku lelaki tua? Angkat keningmu itu, jangan bersujud padaku,” ombak laut membesarkan suaranya. Lelaki tua bangkit dari sujudnya.
“Kau menangis lelaki tua?”
“Jawab dulu pertanyaanku, maukah kau mengindahkan permohonanku? Beri aku waktu setahun lagi untuk menyadarkan orang-orang itu. Masih bisakan aku jadi pagar buat mereka, agar jangan sampai kau tenggelamkan. Jika tidak ada juga perubahan nanti, kau boleh berbuat sekehendakmu, menenggelamkan mereka sesuka hatimu dalam gulunganmu,” lelaki tua terisak-isak. Ombak laut membesar. Ia heran melihat tingkah lelaki tua itu yang mungkir akan janjinya dan telah mengulur waktu.
“Apakah semua manusia itu bersikap seperti kamu wahai lelaki tua?” tanya ombang laut yang terus pasang.