Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Desinta Zahra Agustina | Sisi Kedua Pagar Laut

Cerpen Desinta Zahra Agustina



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Pagi ini, matahari selalu saja menampakkan sinarnya dari timur. Menyilaukan jendela kamar dan mata, mengesalkan penduduk bumi yang pasti sudah berkali-kali menarik selimutnya. Namun, berbeda dengan pemuda tinggi dan tampan kali ini, yang malah memilih untuk memberikan senyuman pagi pada pemandangan jendela depan kamarnya. Laut membentang bak gurun pasir tapi dengan warna biru menyala. Selalu saja bisa memanjakan mata. Luke merenggangkan badan untuk memulai harinya. Tidak heran, sejak setahunan ini ia sudah dilabeli ‘pengusaha properti sukses’ di mana-mana. Menjadi pengusaha sukses berarti sibuk kapanpun, di manapun. Telepon bahkan berbunyi saat dia baru saja lekas berdiri dari kasurnya, membuat Luke bergegas mengangkatnya. ‘Emot Mengamuk’ nama kontak nomor itu. Mata terbelalak, mulut terbuka, tidak pikir panjang, accept ditarik jari paling panjang.


“Halo, Pak, kenapa, Pak?” Luke sopan dan gugup.


“Pantai PIK itu, bagus kalau kita buka cabang di sana. Kita kerja sama bagaimana, fifty-fifty?” suara lelaki tua yang langsung to the point.


“Ah, iya, Pak, kita lanjut pada hari kerja aja, Pak? Hari ini bukannya hari libur…” Tetttt... Tettt… Bukan pengusaha sukses, tapi proses menjadi pengusaha sukses. Budaya ‘menghormati yang lebih tua’ mendarah daging pada orang dengan kewarganegaraan Konoha dengan maksud ‘profesional’. Aneh tapi nyata, Luke menanggapinya dengan senyuman dan hati tertekan. Bukannya apa, beliau adalah mertua Luke yang sangat dihormati di rumah maupun di tempat kerja. Beliau juga memiliki relasi yang bisa dibilang tak terkalahkan. Role model yang bahkan Luke pun bertatap mata tak tahan.


Menelusuri berbagai tempat PIK yang tentunya Luke prediksi akan disukai pria dengan nama kontak Emot Mengamuk itu. Nihil. Sudah berjam-jam berbicara dengan berbagai pemilik tanah di daerah PIK. Tidak ada waktu untuk pertemuan karena memang saat ini libur Ramadhan. Tidak ada tanah karena memang di sana daerah paling laku dengan harga yang bisa membuat badan kaku. Ah, iya, Luke ingat ia memiliki jam tangan merek Rolex yang seharusnya selalu dia lihat. Sebentar lagi waktunya berbuka puasa. Kringg. Tiba-tiba mertua menelpon mengundangnya untuk makan malam alias buka bersama. Canggung, gugup, dan aneh, seperti pertama kali bertemu beliau pada saat melamar kekasihnya. Saat itu ditemani kekasihnya, tapi kali ini beliau hanya mengajak Luke seorang diri. Setelah menikah juga. Biasanya, bersama keluarga besar. Makanan di meja restoran bintang lima itu cepat habis, bukan karena terlalu enak, tapi karena tak ada topik yang bisa membuat hangat. ‘Never let them know what your next move’ mungkin tren yang cocok untuk beliau. Karena tiba-tiba lagi, beliau mengangkat bibirnya, bercerita tentang Medusa. Perempuan cantik yang dikutuk menjadi ular sebab kesalahan yang bahkan bukan salahnya. Hanya saja kalah ‘kelas’ dari penjahatnya.


“Kekuasaan bisa membuat orang lupa dengan keadilan. Ya?” Penutup beliau yang lanjut makan. Menunggu mertuanya selesai makan, Luke membuka HP melihat berita terkini tentang IKN yang dibangun pemerintah. IKN Kekurangan dana? Judul beritanya.


“Pemerintah butuh uang untuk IKN, dan tadi ada yang minta-minta ke saya. Aneh, dia yang mau, kita yang sulit. Tapi bisa kita manfaatkan. Kamu urus ya,” jelas beliau.


“Oh, baik, Pak.” Respon Luke. Minuman paling enak itu memang ludah sendiri. Luke sebenarnya memandang prihatin pada mertuanya itu, tetapi dengan bibir melebar kanan dan kiri.


Malamnya, Luke bermusyawarah dengan lawan teleponnya. Panitia IKN, mungkin. Terjadilah mufakat, dana akan cair jika sudah dibolehkan reklamasi di PIK.“SHM? Gampang,” kata lawan telepon. Sebenarnya, ini bukan yang pertama kali beliau menyuruh seperti ini. Sebelumnya beliau meminta di wilayah Jakarta, tetapi digagalkan oleh seorang yang menyelesaikan studinya di Ekonomi Kebijakan Publik UGM yang pastinya sulit dilawan.


Laut PIK menjadi rekomendasi mertuanya. Sebelum itu, Luke mengobservasi dulu. Sempurna yang ada di pikirannya hancur setelah melihat banyaknya nelayan yang pergi pada sore hari. Mata pencaharian mayoritas kepala keluarga di sana adalah nelayan. Terlalu banyak nelayan, akan menjadi hambatan untuk dijadikan properti. Solusi, Luke mencari solusi. Lautnya dipagar saja kali ya? Lah, iya. Pagar laut? Bisa menjadi cara agar reklamasi berjalan dengan lancar dan tidak ada gangguan. Berkompromi dengan para nelayan akan sangat menyusahkan dirinya. Apalagi cabang ini akan jangka panjang. Dan, ya… Terealisasilah pagar laut itu. Mulai 2023 sampai selesai. Mulai 400 meter sampai luas tanah yang dia beli. Luke tertawa puas. Kalau berhasil, ia pasti akan mendapat banyak keuntungan.


Tak ada yang tahu kemana perginya waktu setahun ini, tapi ada yang tau kenapa perginya bambu. Karena pagar laut sudah mencapai 20 kilometer!. Aura negara Konoha juga berubah menjadi panas padahal musim hujan. “Pilkada kemarin itu tu yang membuat matahari semakin panas.” “Bukan matahari, tapi temper tiap-tiap rakyat,” obrolan guyon nelayan yang istirahat. Luke tersenyum mendengarnya. Ah, es kelapa memang terbaik, apalagi sambil mengobservasi pagar laut yang sekarang mencapai 20 kilometer.“Kapan ya pencabutan pagar laut habis?” sahut nelayan lain.“Iya ya, penghasilan jadi harus dihemat, tambah efisiensi uang negara. Kasihan anak saya yang dapat beasiswa luar negeri dan jadi harapan keluarga. Takutnya dia malah balik.”“Hah?” Luke memutar kepalanya untuk demi melihat ke arah nelayan. Perbedaan baju antara nelayan dan Luke mencolok mata.“Dicabut?” Luke heran.“Iya, Mas, kemarin TNI dan pemerintah lainnya datang,” jawab salah satu nelayan.


Bergegas, masuk mobil dan menelpon panitia. Tidak aktif. Dia turun jabatan setelah pergantian presiden, prediksi Luke. Dengan muka merah pegas, Luke menghela napas. Luke berbicara langsung dengan orang pemerintah dengan lingkup yang sama. “Akan saya tarik, dana tidak akan cair untuk IKN,” Luke tegas. “Sabar, Pak, kita bisa lanjut kok, Pak,” jawab lawan telepon. “Sudah diberi kemana-mana, dana sudah cair masih bisa bilang begitu? Pena telah diangkat, tinta telah kering.” Luke sudah mencapai temper maks. Mematikan teleponnya, Luke langsung membanting diri ke arah kursi. Dia akan balik ke sini seminggu lagi. Apa yang akan dilakukan pemerintah?


“Bertambah 10 kilometer.” Wow! Mata Luke terbelalak. Tawa puas akhirnya kembali didapatkan Luke setelah seminggu. Di tempat dia menghela napas dengan muka merah pegas. 30 kilometer total? Sedikit lagi. Keluar dari mobil, klotak klotak suara pantofel hitam legam Luke terdengar angkuh. Luke keluar untuk menikmati es kelapa, yang katanya air surga. Aneh, nelayan tetap berguyon tapi bisu tentang pagar laut yang menjadi lebih panjang. Duduk berdampingan juga aneh, ada yang berbeda, baju Luke dengan nelayan sebelahnya tidak terlihat ada perbedaan yang mencolok. Luke tersenyum. Kembali ke kursi mobil. Berpikir. SHM akan dicabut, tapi kapan? Kita di-blacklist, tapi kapan? Bambu akan hilang, tapi sampai kapan? Kekuasaan akan berlaku adil, tapi kapan? Negara maju, tapi kapan? 


“Kapan-kapan,” sahut Luke.